Kenapa jadi sesulit ini? Padahal banyak yang bisa diceritakan atau setidaknya yang disimpan dalam bentuk tulisan. Seorang pelupa sepertiku takkan mampu menyimpan banyak kenangan dalam ingatan. Rupa-rupanya sekarang aku menjadi pelupa yang pintar mencari-cari alasan. Hanya karena beralas-alasan atas nama pekerjaan dan kesibukan lantas aku enyahkan aktivitas yang mulia ini: membaca lalu menuliskan.
Seminggu yang lalu, ada pengaduan-pengaduan dan ketidaksetujuan yang kalau dilihat dari kejauhan justru terlihat lucu. Bisa kuterawakan banyak hal dari sudut pandang yang berbeda-beda. Tentu saja mentertawakan diriku yang konyol ini, bukan mentertawakanmu atau mentertawakan mereka. Lantas kenapa tidak ditulis?
Atau obrolan-obrolan lucu di warung samping sekolah yang kalau diangan-angan ulang justru tidak lagi lucu. Bagaimana bisa itu disebut melucu kalau bahan lelocannya adalah keyakinan mendasar seseorang?
Betapa malunya mentertawai sesuatu yang kalau dilihat baik-baik yang ditertawakan justru merasa tidak patut dan justru hancur nilai-nilai kemanusiaannya. Lantas kenapa tidak ditulis?
Ada kalanya keruwetan pribadi yang bisa dibagi untuk orang lain. bukan membagi bebannya, tetapi membagi sudut pandang antara dua sisi yang bersebrangan, sehingga kelak akan ada yang belajar dari pengalaman kecil ini. Tak sengaja terjerumus pada kesalahan tentu saja ‘tak apa-apa’, tetapi lalai sehingga harus terjerumus tentu saja ‘apa-apa’. Lalu kenapa tidak ditulis?
Seperti kebanyakan orang, aku pun merasakan cinta. Ada kalanya menjadi begitu tidak masuk akal, ada kalanya begitu menggairahkan. Ada kalanya begitu menjerumuskan, ada kalanya begitu membangkitkan. Lantas kenapa tidak ditulis?
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan untuk orang lain. Hanya untuk diriku sendiri. Bukankah melalui pertanyaan-pertanyaan kita akan mengetahui kesejatian?
2014