Tulisan ini saya khususkan untuk lelaki jomblo meskipun tidak ada larangan bagi wanita jomblo untuk ikut membaca.
Pacaran bukanlah sekedar jalan ke sana kemari, bergandengria di ruang publik atau tempat wisata. Pacaran merupakan proses sosialisasi “bilateral” antar dua individu. Mereka diikat oleh komintmen-komitmen untuk saling dukung dan saling menguntung, bukan hanya perkara-perkara yang bersifat fisik dan materi tetapi juga yang terkait dengan psikologis, emosi, bahkan spritual. Makanya, pacaran yang positif akan berlanjut pada pacaran yang produktif.
Sayangnya, statusnya masih sekedar pacar. Selain diikat oleh komitmen-komitmen, mereka juga dibatasi oleh norma-norma. Sekali duakali norma yang berlaku di masyarakat diterabas dan ditabrak dengan mesin ketidaksopanan maka siap-siaplah ditikam oleh mata-mata yang tajam. Karena aktifitas pacaran yang sering kita temui di sekitar kita tidak hanya duduk berhadap-hadapan, tetapi sudah berdampingan dan bersandaran; bukan hanya tangan bertemu tangan tetapi sudah melangkah lebih jauh ke depan; duduk berduaan di teras halaman akan dianggap ketinggalan makanya mereka mencari café-café atau duduk di tempat gelap berdua-duaan.
Maka saran saya, menikahlah.
Menikah juga bukan sekedar penghalal atas ciuman dan pelukan, atau cumbu mesra yang mengenakkan. Menikah lebih menyerupai komitmen absurd dimana kedua belah pihak harus saling mendukung dan berbagi, saling mendukung dan menguatkan, senasib dan sepenanggungan. Hampir mirip dengan perusahaan lah dalam menjalin kerjasama antar instansi. Yang membedakan hanya sesuatu yang sangat absurd yang akan susah dipahami oleh para jomblo. Sesuatu itu bernama cinta.
Menikah adalah sebuah jalan menuju ke kesempurnaan. Si istri mendukung si suami dalam mengarungi hidup karena di luar sana terhampar dunia antah berantah yang kejam dan gelap, hanya semburat cahya kecil yang bermunculan—yang membutuhkan mata yang suci untuk menangkap petandanya, dan si suami membutuhkan dukungan untuk tetap kuat berdiri di dunia yang gelap dan gemerlap ini. Sebagai imbalan, si suami memberikan rasa nyaman dan aman karena itulah yang dibutuhkan oleh para wanita: nyaman membelanjakan penghasilan suami.
Konsep ini susah dipahami oleh lelaki jomblo karena sebenarnya ini bukan konsep tetapi tesis kehidupan. Sifatnya laduni.
Tapi ada sebuah antitesa. Begini: Semua pernikahan adalah cara untuk mencapai kesempernaan hidup, lalu bagaimana kalau ada orang mampu mencapai kesempurnaan itu dengan cara tetap menjomblo?
Kalau mau jujur para jomblolah yang sangat mumpuni mencapai kesempurnaan menjadi manusia super. Dia mampu bertahan di bawah hujan, malam yang gelap. Untuk menikmati pagi, ia cukup ditemi kopi dan sebatang rokok. Teman-teman saya banyak yang tak mampu meningkatkan produktifitasnya karena berada di bawah bayang-bayang “istri menunggu di rumah”.
Betapa menyusahkannya kehidupan dalam ikatan pernikahan. Ada hak dan kewajiban. Bayangkan kalau hak istri tidak dipenuhi? Kecuali kamu tidak takut dosa. Bayangkan kalau ada kewajiban yang tidak ditunaikan?
Sesungguhnya, menjomblo adalah salah satu metode hidup untuk menghindari kezhaliman. Seorang jomblo memiliki jalan sunyi untuk mencapai pencapaiannya dalam kesempurnaan hidup. Mengingat, banyaknya kasus pacaran yang sebenarnya untuk kenikmatan syahwati belaka. Begitu pula dalam pernikahan.
Bagaimana dengan dirimu sendiri? Punya hepotesa sendiri? []
Sayangnya, statusnya masih sekedar pacar. Selain diikat oleh komitmen-komitmen, mereka juga dibatasi oleh norma-norma. Sekali duakali norma yang berlaku di masyarakat diterabas dan ditabrak dengan mesin ketidaksopanan maka siap-siaplah ditikam oleh mata-mata yang tajam. Karena aktifitas pacaran yang sering kita temui di sekitar kita tidak hanya duduk berhadap-hadapan, tetapi sudah berdampingan dan bersandaran; bukan hanya tangan bertemu tangan tetapi sudah melangkah lebih jauh ke depan; duduk berduaan di teras halaman akan dianggap ketinggalan makanya mereka mencari café-café atau duduk di tempat gelap berdua-duaan.
Maka saran saya, menikahlah.
Menikah juga bukan sekedar penghalal atas ciuman dan pelukan, atau cumbu mesra yang mengenakkan. Menikah lebih menyerupai komitmen absurd dimana kedua belah pihak harus saling mendukung dan berbagi, saling mendukung dan menguatkan, senasib dan sepenanggungan. Hampir mirip dengan perusahaan lah dalam menjalin kerjasama antar instansi. Yang membedakan hanya sesuatu yang sangat absurd yang akan susah dipahami oleh para jomblo. Sesuatu itu bernama cinta.
Menikah adalah sebuah jalan menuju ke kesempurnaan. Si istri mendukung si suami dalam mengarungi hidup karena di luar sana terhampar dunia antah berantah yang kejam dan gelap, hanya semburat cahya kecil yang bermunculan—yang membutuhkan mata yang suci untuk menangkap petandanya, dan si suami membutuhkan dukungan untuk tetap kuat berdiri di dunia yang gelap dan gemerlap ini. Sebagai imbalan, si suami memberikan rasa nyaman dan aman karena itulah yang dibutuhkan oleh para wanita: nyaman membelanjakan penghasilan suami.
Konsep ini susah dipahami oleh lelaki jomblo karena sebenarnya ini bukan konsep tetapi tesis kehidupan. Sifatnya laduni.
Tapi ada sebuah antitesa. Begini: Semua pernikahan adalah cara untuk mencapai kesempernaan hidup, lalu bagaimana kalau ada orang mampu mencapai kesempurnaan itu dengan cara tetap menjomblo?
Kalau mau jujur para jomblolah yang sangat mumpuni mencapai kesempurnaan menjadi manusia super. Dia mampu bertahan di bawah hujan, malam yang gelap. Untuk menikmati pagi, ia cukup ditemi kopi dan sebatang rokok. Teman-teman saya banyak yang tak mampu meningkatkan produktifitasnya karena berada di bawah bayang-bayang “istri menunggu di rumah”.
Betapa menyusahkannya kehidupan dalam ikatan pernikahan. Ada hak dan kewajiban. Bayangkan kalau hak istri tidak dipenuhi? Kecuali kamu tidak takut dosa. Bayangkan kalau ada kewajiban yang tidak ditunaikan?
Sesungguhnya, menjomblo adalah salah satu metode hidup untuk menghindari kezhaliman. Seorang jomblo memiliki jalan sunyi untuk mencapai pencapaiannya dalam kesempurnaan hidup. Mengingat, banyaknya kasus pacaran yang sebenarnya untuk kenikmatan syahwati belaka. Begitu pula dalam pernikahan.
Bagaimana dengan dirimu sendiri? Punya hepotesa sendiri? []
0 on: "Ingin Menjadi Sempurna? Menjomblo Bisa Jadi Alternatif"