Tuesday, 7 July 2015

Identitas Baru

Bukan ilustrasi sebenarnya.

Beberapa minggu lalu, saya melakukan perjalanan dinas ke sebuah negeri yang dikenal sebagai negeri dengan masyarakat yang arogan. Kota nan cantik di salah satu negeri itu masih saja kelihatan kotor, termasuk kotoran anjing yang terlihat di mana-mana. Bau menyengat di stasiun kereta bawah tanahnya sama seperti saat sepuluh tahun lalu saya mengunjunginya.

Seperti Cermin

Kalalu saya bercerita demikian, saya tak sedang menghakimi sebuah negeri. Saya malah sedang mendapat pelajaran dan sejuta pertanyaan dari perjalanan dinas itu. Pertanyaannya adalah demikian. Susahkan berubah itu, terutama kalau perubahan itu ke arah yang lebih baik? Mau atau malaskan manusia berubah ke arah yang baik itu? Takutkah manusia akan perubahan dari arogan menjadi rendah hati? Dari kotor menjadi bersih? Gamangkah kalau tak bisa kotor lagi, tak bisa tinggi hati lagi? Takutkah manusia memiliki kepribadian baru meski yang baru itu menjadi lebih baik?

Perjalanan terbesar yang saya petik adalah perilaku manusia itu bisa mengubah manusia lain. Menjadi lebih baik atau menjadi lebih jahat. Singkatnya, perilaku manusia adalah cermin seberapa lingkungan meninggalkan pengaruhnya.

Sejak tujuh tahun lalu, saya memutuskan untuk sedikit berubah karena berubah banyak saya tidak mampu. Saya realistis saja karena biasanya sangat jauh dari menjadi realistis. Saya mau mengubah sikap tinggi hati saya menjadi rendah hati, termasuk lebih menguasai diri dan mengampuni. Meski belum signifikan, perubahan itu nyata dan sudah melahirkan komentar bahwa taring saya sudah tumpul. Tulisan saya sudah tidak lagi ada gregetnya, terlalu baik dan sok suci.

Meski mulut saya masih berkicau dan menggelegar, kicau dan gelegarnya sudah jauh berkurang meski masih saja ada yang terkaget-kaget. Perubahan-perubahan selama tujuh tahun ke arah yang lebih baik yang saya lakukan dengan energi nyaris terkurang menjadi sia-sia, bahkan nyaris hilang selama kunjungan dinas yang berdurasi satu minggu itu.

Ini contohnya. Setiap kali naik taksi, setiap kali saya berteriak. Sampai teman saya yang sudah kelelahan mau naik taksi saya rayu supaya tidak naik taksi lagi. Bukan saya tidak mau mengeluarkan dana, bukan saya tidak berani menghadapi si sopit taksi, saya mencegah supaya saya tidak lebih menjerit lagi dan membuat hati jadi panas seperti kompor.


Seperti Valium
Saat makan siang, pesanan saya dan teman datang lama sekali. Kami menunggu nyaris setengah jam lamanya. Saya kemudian bertanya soal pesanan kami. Salah satu pelayan muda nan tampan berkata begini, “Maaf bisakah anda menunggu karena chef kami hanya satu?” Saya menjawab, “Kalau anda punya chef hanya satu itu masalah anda, saya sudah menunggu dari 20 menit yang lalu.”

Akan ada segudang cerita yang membuat naik pitam dan saya tidak perlu membeberkan semuanya. Karena di Jakarta kejadian macam itu juga saya alami. Tak hanya dengan sopir taksi dan pegawai rumah makan, tetapi juga dengan PR yang arogan, pegawai mal yang arogan, atau staf kantor yang mulutnya seperti setrum yang menyengat.

Kebiasaan buruk itu menghancurkan kondisi baik, dan seperti anda dan saya ketahui, yang negatif itu cepat memberi efek, lebih cepat dari MLM. Maka, yang bisa mencegah agar perilaku buruk itu tak makin memburuk hanyalah saya seorang.

Saya tidak kalah kalau saya tidak membalas dengan jeritan dan kearoganan. Kalah karena tidak menjadi juara arogan, tidak menjadi juara menjerit, itu sebuah kemenangan yang telak. Itu menandakan bahwa saya mengontrol emosi dengan baik, dan mereka yang menjerit dan arogan sejujurnya sedang membutuhkan pertolongan.

Pada saat saya memutuskan untuk berubah ke arah yang lebih baik, saya seperti memasuki dunia yang baru dan asing. Bayangkan saja, dari suara menggelegar ke suara yang separuh menggelegar.
Itu seperi anak kecil belajar berjalan. Gamang karena biasanya memancing amarah dan ketersinggungan, sekarang belajar membuat orang menjadi tenang. Saya harus seperti valium yang menenangkan orang yang tak saya sukai. Itu beratnya setengah mati!

Mungkin, ini hanya mungkin, kalau kehilangan separuh gelegar dan arogan itu akan menakutkan. Karena acap kali wibawa dicari denan menggunakan gelegar guntur dan kilat yang menyambar. Maka, daripada gamang, kehilangan taring dan wibawa, sebaiknya tak perlu memiliki ideintitas baru. Saya ini memang begitu. Suka diterima, nggak suak ya….., ke laut aja.

Itu hak setiap orang berkata demikian. Saya hanya menyarankan untuk mencoba sebuah pengalaman baru untuk tidak korupsi lagi, tidak arogan dan menjerit lagi. Kalaupun dulu anda pernah tidak demikian dan sekarang anda menjadi demikian, anda membutuhkan pertolongan.

Karena solusi mau kaya bukanlah korupsi, solusi mau berwibawa bukan dengan menjaerit dan menjadi arogan. Anda keliru besar! Negatif bukanlah solusi untuk menjadi positif.[]

Tulisan di atas adalah tulisan Samuel Mulia yang saya sadur dari Kompas edisi Minggu, 23 Oktober 2011

0 on: "Identitas Baru"