Friday, 11 September 2015

MATA CERMIN


Saya membenci cermin ini, meskipun awal saya sayang mencintainya. Ia tergantung di dinding yang menghadap kamar mandi. Ketika saya keluar dari kamar mandi, langsung saja kutangkap salinan tubuhku terperangkap di dalam cermin itu.

Dulu saya sangat mencintai cermin ini. Usai menuntaskan mandiku, dan keluar hanya dengan handuk setinggi pusar, salinan tubuhku di sana bergerak sendiri menuju lemari pakaian dan kembali dengan pakaian yang sudah melekat di sekujur badan. Ia selalu menunjukkan apa yang pantas hari itu. Saya pun mengikuti saran cermin itu. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun.

Sesekali saya nekat. Meskipun ada rasa ketir dan malu. Tapi akhirnya saya memberanikan diri. Usai merendam tubuhku dalam kehangatan air bath-tub, saya keluar dalam keadaan telanjang. Mataku tertutup. Malu melihatku sekujur tubuh tidak dililit seutas benang pun. Meskipun hanya dilihat oleh mataku sendiri. Ini pertama kalinya saya telanjang di depan cermin. Perlahan kubuka mataku. Saya terkejut bukan kepalang karena bayangan tubuhku sudah mengenakan kaos-T dan celana jeans. Mungkin ia memakai kaos dan celana itu ketika saya menutup mata.

Keesokan harinya, saya lebih nekat lagi. Kali ini tidak perlu menutup mata, tapi langsung saja kubuka lebar mataku. Anehnya, seluruh cermin itu menjadi buram. Berembun. Hanya seluet bayangan tubuhku yang meliuk-liuk meninggalkan cermin dan tiba-tiba muncul lagi. Setelah ia tegap berdiri, perlahan ia menjadi jernih kembali. Cermin itu tidak mengizinkanku menelanjangi diriku sendiri.

Hingga tiba-tiba cinta itu berubah menjadi kebencian dan kengerian. Cermin itu tidak lagi menunjukkan apa yang pantas, justru sebaliknya.

Mungkin ia cemburu. Karena di sudut cermin itu kuselipkan foto perempuan yang kutemui di persimpangan jalan -kami berkenalan ketika sama-sama menunggu bus yang akan membawa kami pulang. Semenjak itu, bayangan tubuhku terbujur kaku. Ia tidak bisa bergerak meskipun saya lambaikan tangan berulang kali. Bahkan, beberapa kali, ketika saya menatap foto perempuan itu, tiba-tiba bayangan dalam cermin itu menampakkan tubuhku yang terhujam pisau. Tepat di jantung. Ngeri.

Namun, kenapa harus takut dengan bayangan sendiri? Kenapa saya harus mengikuti bayangan itu, bukan sebaliknya? Bukankah ia hanya sebuah bayangan dalam cermin?

Dan hari itu, ketika cermin itu kembali menunjukkan tubuhku yang tertikam pisau, saya menjadi geram dan kalap. Harus ada yang menghakhiri. Harus saya yang mengakhiri. Kuraih pisau itu dan kuhujamkan ke batas antara saya dan bayangan saya. Tapi sebuah kekuatan gaib menepis pergelanganku. Dan pisau itu -dengan sisa-sisa tenaga yang masih mendorongnya- menghujam tepat di ulu hati perempuan di dalam foto itu.

Dua hari saya menginap di kantor. Pekerjaan yang menumpuk ini seperti sebuah pelarian yang tepat untuk mengalihkan pertengkaran antara saya dan cermin di kamar saya. Saya pulang hanya menumpang mandi. Tak kutengok sedikit pun cermin yang memantulkan cahaya mentari ke wajahku. Saya masih merasakan jengkel bukan kepalang. Saya memutuskan untuk cepat-cepat menuju halte di sebrang jalan untuk menemuinya: perempuan yang gambarnya tertikam pisau karena pertengkaranku dengan cermin di kamarku tapi saya tak menemukannya.

Ketika pulang saya menyambar koran yang kusambar dari ruang satpam. Di rumah, kututup seluruh cermin itu dengan koran yang saya ambil tadi. Ternyata ada berita yang membuat sendi sekujur tubuhku melebas tak berdaya. Halaman depan itu memberitakan seorang perempuan dirampok dan dihabisi jiwanya saat pulang kerja. Korban meninggalkan luka pisau di ulu hatinya.

Bandarlampung, 12 Desember 2010

0 on: "MATA CERMIN"