Davina Cahya Syakira |
Nduk, sewaktu kamu lahir tangismu memekik seperti --dalam lagu Ebiet G Ade-- seruling bambu yang merayap ke langit. Sayangnya, karena kelahiranmu terjadi di siang hari, serulingmu terganggu suara desing kendaraan bermotor.
Tuh kan, baru lahir saja kamu sudah diribeti. Meskipun hanya tangis. Selain itu, nduk, bukan hanya kamu yang nangis siang itu. Bapak dan eyang utimu juga ikut nangis. Menangis bahagia.
Ngomong-ngomong tentang bahagia, banyak rumus yang dapat membuat kita bahagia. Cara paling mudah merasakan bahagia adalah dengan memuasi keinginan diri sendiri. Seperti kamu di awal-awal kehidupanmu ini: lapar minta nenen, kamu nangis; popok basah minta diganti, kamu nangis; mati lampu dan pengap, kamu juga nangis.
Suatu saat nanti, kamu akan merasakan bahagia bukan dengan memuasi apa yang kamu inginkan. Kamu bisa merasakan kebahagiaan dengan cara memberi. Memberi bukan karena kewajiban tetapi memberi karena kamu senang melakukannya. Hanya saja tidak mudah. Eh, inget, yang tidak mudah itu bukan berbarti tidak bisa dilakukan. Bisa, nduk, bisa. Hingga kalau sudah terbiasa semuanya jadi benar-benar terasa mudah.
Nduk, kamu lahir di saat yang tepat, meskipun bak kamar mandi kering karena kemarau, di saat ibumu perlu teman mengobrol di rumah kontrakan, di saat bapakmu masih saja malas pulang cepat dari kantor dengan sederet alasan.
Kehadiranmu memang jadi pengikat, nduk.
Saya pingin ceritakan tentang namamu, nduk, supaya kamu tidak bertanya-tanya kenapa bapak dan ibumu sepakat untuk menyematkan nama Davina Cahya Syakira. Dan juga cerita lucu ketika eyang utimu tanya, "terus manggilnya apa?".
Tapi saya ceritakan lain kali saja ya, nduk. Bapak mau menghabiskan kopi dulu.