Thursday, 29 October 2015

SEMOGA DAVINA LEKAS MEMBACA SURATKU INI

- No comments
Davina Cahya Syakira
Nduk, sewaktu kamu lahir tangismu memekik seperti --dalam lagu Ebiet G Ade-- seruling bambu yang merayap ke langit. Sayangnya, karena kelahiranmu terjadi di siang hari, serulingmu terganggu  suara desing kendaraan bermotor. 

Tuh kan, baru lahir saja kamu sudah diribeti. Meskipun hanya tangis. Selain itu, nduk, bukan hanya kamu yang nangis siang itu. Bapak dan eyang utimu juga ikut nangis. Menangis bahagia. 

Ngomong-ngomong tentang bahagia, banyak rumus yang dapat membuat kita bahagia. Cara paling mudah merasakan bahagia adalah dengan memuasi keinginan diri sendiri. Seperti kamu di awal-awal kehidupanmu ini: lapar minta nenen, kamu nangis; popok basah minta diganti, kamu nangis; mati lampu dan pengap, kamu juga nangis. 

Suatu saat nanti, kamu akan merasakan bahagia bukan dengan memuasi apa yang kamu inginkan. Kamu bisa merasakan kebahagiaan dengan cara memberi. Memberi bukan karena kewajiban tetapi memberi karena kamu senang melakukannya. Hanya saja tidak mudah. Eh, inget, yang tidak mudah itu bukan berbarti tidak bisa dilakukan. Bisa, nduk, bisa. Hingga kalau sudah terbiasa semuanya jadi benar-benar terasa mudah.

Nduk, kamu lahir di saat yang tepat, meskipun bak kamar mandi kering karena kemarau, di saat ibumu perlu teman mengobrol di rumah kontrakan, di saat bapakmu masih saja malas pulang cepat dari kantor dengan sederet alasan. 

Kehadiranmu memang jadi pengikat, nduk

Saya pingin ceritakan tentang namamu, nduk, supaya kamu tidak bertanya-tanya kenapa bapak dan ibumu sepakat untuk menyematkan nama Davina Cahya Syakira. Dan juga cerita lucu ketika eyang utimu tanya, "terus manggilnya apa?". 

Tapi saya ceritakan lain kali saja ya, nduk. Bapak mau menghabiskan kopi dulu.

Monday, 5 October 2015

Kue Lupis dan Kesejahteraan Bangsa

- No comments

Pagi ini saya menemani isteri ke pasar, belanja keperluan untuk anak pertama kami, dan kalian pasti bisa menduga-duga betapa kami menjadi pasangan yang bahagia. Mengagumkan. Tapi ada kekaguman lain yang luput dan saya temukan pagi ini.

Kue ini, di Jawa Timur sana, disebut kue lupis. Berbahan dasar beras ketan yang dikukus terus ditaburi ampas dan disiram gula merah yang dicairkan. Kalian bisa cari resepnya lalu mencoba sendiri di rumah.

Istimewanya di mana? Ada di tengah-tengah pasar Koga, di depan toko plastik diapit antara gudang dan penjual pakaian. Kue ini dijajakan oleh perempuan tua, tak bisa kukira-kira umurnya, dengan kebaya hijau dan bersanggul. Bodohnya saya tidak membawa kamera atau memotret menggunakan handphone.

Politik negeri ini boleh jungkir balik tidak karuan tapi selama yang muda masih bisa menghormati yang tua, yang tua menyayangi yang muda, kita tetap bahagia. Apalagi kalau beras ketan dan gula merah tidak tiba-tiba menghilang. Eyang berkebaya hijau dan bersanggul itu masih bisa membuat lupis dan dijajakkan di pasar Koga.

Ada puluhan, ratusan, dan ribuan manusia di negeri ini yang hidup tak mengaduh. Mereka bekerja (coret kata bekerja dan ganti dengan berkarya) untuk kehidupan. Apa untungnya menjual kue lupis di celah sempit antara gudang dan toko baju, duduk di atas dingkelik dan bermeja anyaman bambu? Kalau kalian pernah memberi dengan tulus maka kalian akan merasakan keuntungan menjual kue lupis.

Pak presiden mungkin memang norak ketika memberi instruksi kepada jajarannya kalau rapat tidak usah beli snack macam-macam, cukup kue singkong saja. Anggaplah pak presiden ingin mengangkat ekonomi menengah ke bawah. Kalau memang begitu sebaiknya langkahnya bukan sekedar memborong produknya saja tapi coba sawah-sawah jangan ditanami beton, bangunlah irigasi supaya subuh ladang dan sawah.

Jangan salah, orang-orang pedesaan yang hidup di lereng pegunungan tak butuh apa-apa dari luar sana. Kalianlah yang butuh mereka. Hanya saja akhir-akhir ini mereka, para petani, ikut-ikutan bingun seperti pada pemimpin di parlemen dan pemerintahan. Mereka dibawa-bawa ke dalam catur perpolitikan dan ngenesnya hanya diatasnamakan saja.

Aha, kemarin undang-undang desa sudah diketok. Kita doakan saja semoga gema ketokannya betul-betul merambat sampai ke pedesaan.

Kue lupis hanya sebagian dari tradisi lama yang semakin tergerus sejak lama. Padahal masih ada klepon, gethuk lindri, otak-otak, dan banyak lagi. Kalau tiba-tiba ada kudeta pemerintahan jajanan ini akan tetep enak dinikmati.