Friday, 25 December 2015

CATHALA

- No comments
CATHALA. Di tengah paranoid publik Barat terhadap Islam, walikota Creteil di Prancis melawan arus dengan mengizinkan pembangunan masjid megah di kotanya. Itulah masjid Creteil, masjid pertama dan terbesar yang dibangun di Eropa dalam waktu 100 tahun terakhir.

Di bangun di sebuah bukit kecil, di tepi danau yang tak jauh dari balai kota dan pos polisi, masjid Creteil menelan ongkos US$ 7,4 juta. Tempat salatnya bisa menampung 2.500 jemaah, sementara menaranya ada 81 buah. Dikutip “the Washington Post,” 9 Desember 2007; Molly Moore, periset dari Corinne Gavard menyebut pembangunan masjid di Creteil sebagai “pengecualian” di tanah Eropa.

Creteil adalah kota yang terletak di sebelah tenggara Paris. Di Prancis, Creteil merupakan kota dengan jumlah penduduk muslim paling banyak bahkan mungkin untuk seluruh daratan Eropa. Dari sekitar 88 ribu penduduk di kota kecil itu, 20 persen di antaranya adalah pemeluk Islam. Mereka semua beribadah di sebuah gudang bekas penyimpanan kayu hingga datang tawaran dari Laurent Cathala, walikota Creteil saat itu untuk membangun sebuah masjid.

Dan ketika mulai dibangun [delapan tahun silam], pemerintah daerah Creteil di bawah Cathala tak hanya mendukung, melainkan turut mengongkosi pembangunan kompleks masjid. Cathala bahkan berterusterang dengan semua bantuan keuangan yang disumbangkan untuk pembangunan masjid Creteil, dan hal itu tentu saja menggembirakan Muslim di Prancis di tengah paranoid masyarakat Barat terhadap Islam.

Moore mencatat, Islam di Eropa adalah agama terbesar kedua setelah Nasrani, dan Prancis adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim paling banyak. Dari total penduduk Prancis [2007] 65 juta jiwa, sekitar 5 juta atau 8 persen di antaranya adalah muslim. Sebagian besar dari mereka adalah keturunan kedua, yang lahir, besar dan menjadi warga negara di sejumlah negara di Eropa termasuk Prancis. Tapi hingga masjid Creteil dibangun, pembangunan masjid sangat sulit terwujud di Eropa.

Dari London, Inggris hingga Cologne dan Marseille, Prancis, penduduk dan pemerintah negara-negara Eropa terus disibukkan dengan penolakan pembangunan masjid. Mereka menentang pembangunan masjid karena dianggap bisa mempengaruhi keamanan nasional dan kepribadian mereka.

Di Ibukota Inggris, London, pendirian masjid di dekat taman yang bersebelahan dengan areal Olimpiade 2012, telah ditentang besar-besaran oleh pemerintah dan warga Inggris bahkan ketika masih dalam bentuk proposal. Kaum nasionalis Swiss pernah beramai-ramai menentang pembangunan mesjid di negaranya. Di sebuah bukit kecil bernama Colle Val d’Elsa, di Tuscan, Italia, penduduk setempat melempari pintu utama menuju masjid setempat yang dalam proses pembangunan dengan sosis. Dan Kanselir Jerman, Angela Merkel pun menyerukan para anggota parlemen agar berhati-hati dengan pembangunan masjid di Jerman.

“Kubah-kubah masjid tidak boleh dibangun dengan tinggi melebihi menara-menara gereja,” kata Merkel.

Sebelum pembangunan masjid Creteil, otoritas Prancis juga sudah “berupaya” keras mengembalikan para imam masjid ke negara-negara asalnya. Para anggota DPRD di Creteil yang anti-imigran gencar memprotes penggunaan dana-dana negara untuk pembangunan pusat kebudayaan termasuk untuk masjid Creteil. Sebagian dari mereka kuatir, para wanita mereka tidak bisa lagi menggunakan bikini ketika berenang di danau dekat mesjid itu.

Tapi Moore menyebut Cathala sebagai pengecualian, dan Moore benar. Cathala, anggota Partai Sosialis Prancis yang menjabat walikota Creteil selama tiga dekade, menganggap pembangunan masjid di Creteil sebagai evolusi demografi di kotanya. Dia meyakini hal itu dan mempraktikkannya.

Lalu Senin tempo hari, sekelompok massa yang mengatasnamakan umat Islam Bekasi, Jawa Barat memprotes pembangunan gereja di kota itu. Sembari berteriak-teriak menyebut nama Allah, mereka meminta pemerintah daerah mencabut izin pendirian pembangunan Gereja Santa Clara meskipun semua persayaratan dan izin mendirikan gereja sudah selesai diurus.

Dan ini yang kemudian terjadi: Walikota Bekasi, Rahmat Effendi seperti mengamini protes yang memalukan itu, lalu menyatakan tidak boleh ada aktivitas dan pembangunan gereja sampai ada kekuatan hukum tetap oleh yang berwenang. Status quo, katanya, meski sulit dimengerti, kenapa dan untuk apa.

Gereja Katolik Santa Clara yang ditentang orang-orang Islam di Bekasi adalah gereja yang sudah ada sejak 11 Agustus 1998, dan selama 17 tahun Paroki setempat berupaya mendapatkan IMB. Dan setelah izin keluar [tiga hari sebelum Lebaran, Juli silam], entah kenapa orang-orang Islam di Bekasi kemudian menentangnya, dan perilaku mereka niscaya memalukan. Tak pelak lagi.

Saya lalu teringat Angel, perempuan asal Brastagi, Sumatra Utara yang berjualan buah tak jauh dari rumah saya. Saya dan istri sering datang ke kiosnya, dan sementara istri saya memilih buah, saya sering mengajaknya bicara. Saya memanggilnya Ito, dan dari Ito itu saya tahu, sungguh sulit bagi minoritas untuk mendirikan tempat ibadah.

Ito seorang Nasrani yang setiap Minggu terpaksa beribadah dengan menumpang sebuah aula milik kesatuan tentara. Dan setiap selesai kebaktian, dia bersama kawan-kawannya anggota jemaah gereja, berpatungan mengumpulkan dana agar bisa membayar sewa aula tempat mereka memuji Tuhan. Tak ada keluhan dari nada bicaranya, tapi kembali rumah, saya terisak. Saya malu.

Di mana saja di seluruh dunia, minoritas memang selalu mendapat tekanan termasuk untuk mendirikan tempat ibadah. Mereka dianggap sebagai warga kelas dua, dan selalu dituntut menghormati mayoritas. Kaum mayoritas itu, celakanya sering menyandarkan alasan mereka menekan minoritas, kepada ajaran agama, termasuk yang terjadi di Bekasi, Senin silam.

Mereka tampaknya lupa, bahwa tak ada satu ayat pun di Al Quran, juga ucapan dan tindakan Nabi Muhammad saw. yang mengajarkan untuk melarang penganut agama lain mendirikan tempat ibadah. Tidak pula ada larangan untuk berbeda keyakinan karena Islam adalah agama yang merahmati seluruh alam. Tidak ada ajaran kebencian di sana. Tidak juga diajarkan untuk curiga dan berburuk sangka.

Dan sungguh adalah ironi, bila semua ajaran baik seperti itu, kemudian justru dipraktikkan oleh Cathala, yang delapan tahun lalu mendukung dan memberi ongkos pembangunan masjid di kotanya, Creteil.

Simaklah kemudian yang dikatakan Cathala saat menjawab protes orang-orang yang menentang pembangunan masjid di Creteil itu: “Jika Anda belajar tentang keadilan, Anda tidak bisa hanya mengakui sebagian penduduk dan tidak mengakui sebagian penduduk yang lain, apalagi dalam soal agama dan keyakinan mereka.”

----------------------------------------------------------------------------------------
Artikel di atas saya kutip sesuai dengan aslinya dari islami.co oleh Rusdi Mathar. 
Ilustrasi gambar saya ambil dari situs resmi travelmosquee.
CATHALA. Di tengah paranoid publik Barat terhadap Islam, walikota Creteil di Prancis melawan arus dengan mengizinkan pembangunan masjid megah di kotanya. Itulah masjid Creteil, masjid pertama dan terbesar yang dibangun di Eropa dalam waktu 100 tahun terakhir.
Di bangun di sebuah bukit kecil, di tepi danau yang tak jauh dari balai kota dan pos polisi, masjid Creteil menelan ongkos US$ 7,4 juta. Tempat salatnya bisa menampung 2.500 jemaah, sementara menaranya ada 81 buah. Dikutip “the Washington Post,” 9 Desember 2007; Molly Moore, periset dari Corinne Gavard menyebut pembangunan masjid di Creteil sebagai “pengecualian” di tanah Eropa.
Creteil adalah kota yang terletak di sebelah tenggara Paris. Di Prancis, Creteil merupakan kota dengan jumlah penduduk muslim paling banyak bahkan mungkin untuk seluruh daratan Eropa. Dari sekitar 88 ribu penduduk di kota kecil itu, 20 persen di antaranya adalah pemeluk Islam. Mereka semua beribadah di sebuah gudang bekas penyimpanan kayu hingga datang tawaran dari Laurent Cathala, walikota Creteil saat itu untuk membangun sebuah masjid.
Dan ketika mulai dibangun [delapan tahun silam], pemerintah daerah Creteil di bawah Cathala tak hanya mendukung, melainkan turut mengongkosi pembangunan kompleks masjid. Cathala bahkan berterusterang dengan semua bantuan keuangan yang disumbangkan untuk pembangunan masjid Creteil, dan hal itu tentu saja menggembirakan Muslim di Prancis di tengah paranoid masyarakat Barat terhadap Islam.
Moore mencatat, Islam di Eropa adalah agama terbesar kedua setelah Nasrani, dan Prancis adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim paling banyak. Dari total penduduk Prancis [2007] 65 juta jiwa, sekitar 5 juta atau 8 persen di antaranya adalah muslim. Sebagian besar dari mereka adalah keturunan kedua, yang lahir, besar dan menjadi warga negara di sejumlah negara di Eropa termasuk Prancis. Tapi hingga masjid Creteil dibangun, pembangunan masjid sangat sulit terwujud di Eropa.
Dari London, Inggris hingga Cologne dan Marseille, Prancis, penduduk dan pemerintah negara-negara Eropa terus disibukkan dengan penolakan pembangunan masjid. Mereka menentang pembangunan masjid karena dianggap bisa mempengaruhi keamanan nasional dan kepribadian mereka.
Di Ibukota Inggris, London, pendirian masjid di dekat taman yang bersebelahan dengan areal Olimpiade 2012, telah ditentang besar-besaran oleh pemerintah dan warga Inggris bahkan ketika masih dalam bentuk proposal. Kaum nasionalis Swiss pernah beramai-ramai menentang pembangunan mesjid di negaranya. Di sebuah bukit kecil bernama Colle Val d’Elsa, di Tuscan, Italia, penduduk setempat melempari pintu utama menuju masjid setempat yang dalam proses pembangunan dengan sosis. Dan Kanselir Jerman, Angela Merkel pun menyerukan para anggota parlemen agar berhati-hati dengan pembangunan masjid di Jerman.
“Kubah-kubah masjid tidak boleh dibangun dengan tinggi melebihi menara-menara gereja,” kata Merkel.
Sebelum pembangunan masjid Creteil, otoritas Prancis juga sudah “berupaya” keras mengembalikan para imam masjid ke negara-negara asalnya. Para anggota DPRD di Creteil yang anti-imigran gencar memprotes penggunaan dana-dana negara untuk pembangunan pusat kebudayaan termasuk untuk masjid Creteil. Sebagian dari mereka kuatir, para wanita mereka tidak bisa lagi menggunakan bikini ketika berenang di danau dekat mesjid itu.
Tapi Moore menyebut Cathala sebagai pengecualian, dan Moore benar. Cathala, anggota Partai Sosialis Prancis yang menjabat walikota Creteil selama tiga dekade, menganggap pembangunan masjid di Creteil sebagai evolusi demografi di kotanya. Dia meyakini hal itu dan mempraktikkannya.
Lalu Senin tempo hari, sekelompok massa yang mengatasnamakan umat Islam Bekasi, Jawa Barat memprotes pembangunan gereja di kota itu. Sembari berteriak-teriak menyebut nama Allah, mereka meminta pemerintah daerah mencabut izin pendirian pembangunan Gereja Santa Clara meskipun semua persayaratan dan izin mendirikan gereja sudah selesai diurus.
Dan ini yang kemudian terjadi: Walikota Bekasi, Rahmat Effendi seperti mengamini protes yang memalukan itu, lalu menyatakan tidak boleh ada aktivitas dan pembangunan gereja sampai ada kekuatan hukum tetap oleh yang berwenang. Status quo, katanya, meski sulit dimengerti, kenapa dan untuk apa.
Gereja Katolik Santa Clara yang ditentang orang-orang Islam di Bekasi adalah gereja yang sudah ada sejak 11 Agustus 1998, dan selama 17 tahun Paroki setempat berupaya mendapatkan IMB. Dan setelah izin keluar [tiga hari sebelum Lebaran, Juli silam], entah kenapa orang-orang Islam di Bekasi kemudian menentangnya, dan perilaku mereka niscaya memalukan. Tak pelak lagi.
Saya lalu teringat Angel, perempuan asal Brastagi, Sumatra Utara yang berjualan buah tak jauh dari rumah saya. Saya dan istri sering datang ke kiosnya, dan sementara istri saya memilih buah, saya sering mengajaknya bicara. Saya memanggilnya Ito, dan dari Ito itu saya tahu, sungguh sulit bagi minoritas untuk mendirikan tempat ibadah.
Ito seorang Nasrani yang setiap Minggu terpaksa beribadah dengan menumpang sebuah aula milik kesatuan tentara. Dan setiap selesai kebaktian, dia bersama kawan-kawannya anggota jemaah gereja, berpatungan mengumpulkan dana agar bisa membayar sewa aula tempat mereka memuji Tuhan. Tak ada keluhan dari nada bicaranya, tapi kembali rumah, saya terisak. Saya malu.
Di mana saja di seluruh dunia, minoritas memang selalu mendapat tekanan termasuk untuk mendirikan tempat ibadah. Mereka dianggap sebagai warga kelas dua, dan selalu dituntut menghormati mayoritas. Kaum mayoritas itu, celakanya sering menyandarkan alasan mereka menekan minoritas, kepada ajaran agama, termasuk yang terjadi di Bekasi, Senin silam.
Mereka tampaknya lupa, bahwa tak ada satu ayat pun di Al Quran, juga ucapan dan tindakan Nabi Muhammad saw. yang mengajarkan untuk melarang penganut agama lain mendirikan tempat ibadah. Tidak pula ada larangan untuk berbeda keyakinan karena Islam adalah agama yang merahmati seluruh alam. Tidak ada ajaran kebencian di sana. Tidak juga diajarkan untuk curiga dan berburuk sangka.
Dan sungguh adalah ironi, bila semua ajaran baik seperti itu, kemudian justru dipraktikkan oleh Cathala, yang delapan tahun lalu mendukung dan memberi ongkos pembangunan masjid di kotanya, Creteil.
Simaklah kemudian yang dikatakan Cathala saat menjawab protes orang-orang yang menentang pembangunan masjid di Creteil itu: “Jika Anda belajar tentang keadilan, Anda tidak bisa hanya mengakui sebagian penduduk dan tidak mengakui sebagian penduduk yang lain, apalagi dalam soal agama dan keyakinan mereka.”
- See more at: http://islami.co/feature/511/8/cathala.html#sthash.6QqZBnFG.dpuf

Thursday, 24 December 2015

MAULID NABI DAN EKSPRESI MASSAL KECINTAAN KEPADA RASULULLAH

- No comments
Sumber: http://www.madeenah.com/

Memperingati maulid nabi adalah bentuk ekspresi kecintaan secara massal kepada junjungan tercinta, Rasulullah Saw.

Tidak sedikit yang mengatakan bahwa peringata seperti ini adalah bid’ah. Bahkan ada yang tega menanyakan dalilnya. Maka saya katakan kepada mereka: Ya, ini memang bid’ah. Terus kenapa?

Pemaknaan saya atas kata bid’ah adalah kreatifitas. Acara memperingati kelahiran nabi tercinta yang dipenuhi dengan bacaan shalawat, senandung syair yang romantis dan menggetarkan hati, cerita-cerita tentang Rasulullah yang menyentuh, adalah bentuk kreatifitas yang sangat agung dalam rangka mengekspresikan cinta pada Rasulullah.

Seperti dalam Hari Guru, kita memanfaatkan momentum ini untuk mengenang guru-guru kita yang sangat banyak jasanya membentuk kepribadian kita hingga menjadi seperti ini. Tak cukup dengan mengenang mereka, kita pun—adakalanya—mengunjungi mereka atau setidaknya merapalkan doa-doa kepada mereka, doa yang mereka ajarkan kepada kita. Begitu juga dalam hari Ibu, hari Pahlawan, dan peringatan hari-hari lainnya.

Apakah untuk melakukannya harus di hari yang ditentukan itu? Tentu tidak. Kita bisa melakukannya kapan saja. Hari itu hanyalah momentum untuk me-recharge. Seperti halnya Ramadhan sebagai momentum untuk me-recharge diri kita menghadapi sebelas bulan setelahnya.


Ada yang cemburu kepada para pecinta Rasulullah seperti kita ini. Mereka cemburu bagaimana bisa orang mencintai dengan begitu tulus dan romantis, merasakan kerinduan yang mendalam? Dan kita bisa melihat para pecemburu itu, mereka akan melakukan banyak hal karena posesifitasnya sehingga mereka tega melontarkan kata bid’ah.

Kalau ditanya mana dalilnya? Mana anjuran atau perbuatan yang merujuk pada pelaksanaan peringatan Maulid?

Untuk mengungkapkan rasa cinta kau tak perlu dalil, seperti ketika kau inign menolong seseorang tak perlu kau tanyakan apa agamanya. Dalil-dalil hukum itu jauh berada di bawah tataran etika. Kau bicara dalil hukum maka kau bicara tentang benar dan salah. Kau bicara nilai etis maka kau bicara baik dan buruk.

Lagi pula, maulid nabi bukanlah ibadah (ubudiyyah). Ini adalah bentuk budaya halus para ummat yang merindukan kehadirannya. Acara maulid nabi tidak jauh beda dengan menara (manaroh) yang diadopsi dari Persia yang Majusi itu. Acara maulid nabi tidak jauh beda dengan kubah yang diadopsi dari bangunan-bangun gereja di Romawi yang Nasrani itu. Apa salahnya?

Padahal ada satu jurus jitu supaya aktifitas yang tampak biasa-biasa saja bisa berubah menjadi nilai ibadah yang luar biasa.

Kita membersihkan halaman rumah, menyapu misalnya, pekerjaan ini kan menjadi pekerjaan biasa saja. Tetapi kala kita mengawalinya dengan membaca basmalah maka jadilah aktifitas menyapu ini menjadi nilai ibadah. Sebalik, yang tampak seperti ibadah kalau tak diawali dengan basmalah maka jadilah ia sekedar aktifitas buang-buang tenaga.

Ah, mereka yang terbiasa berbuat sesuatu di atas dalil-dalil tentu tahu dalil—sabda nabi—tentang basmalah ini.


Saya melihat terdapat paradoks dalam mengekspresikan relijiusitas kita. Ada yang mengaku mencintai Rasulullah dengan tulus tapi untuk mengikuti sunnahnya masih pilah-pilih. Mengikuti jalan hidup beliau bukan melulu tentang ibadah yang lima waktu itu, atau tentang rukun islam yang lima itu. Masih ada yang lain: mencintai kaum dlu’afa dan yatim, hidup bersahaja, ramah kepada sesama manusia.

Bukankah kita pernah membaca kisah menakjubkan Abu Bakar yang ingin meniru jalan hidup Rasulullah ternyata belum ada apa-apanya. Saat ia mendatangi seorang Yahudi buta di pasar, memah roti lalu disuapkan, ia tak habis pikir bagaimana Rasulullah bisa sesabar itu hingga akhir hayatnya, berbuat derma kepada non-muslim meskipun ia memberci dan mencercanya.

Dalam keadaan marah, kadang saya menjawab: Kalau kamu benar mencintai Rasulullah, seharusnya kamu tanggalkan pakaian mewahmu, singkirkan kasur empukmu, miskinkan dirimu hanya dengan mengambil apa yang cukup untuk hari ini saja.

Ada kalanya juga ingin menelisik kadar pengatahuannya, tahukah makna sunnah? Atau jangan-jangan masih menyamakan arti sunnah dan hadits? Kalau demikian, perlulah kita belajar lagi apa sunnah dan hadits, secara terminologis dan juga epistemologis (lughotan wa ishtilahan).

Kok, saya lalu curiga. Jangan-jangan mereka yang membid’ahkan ekspresi cinta ini tidak pernah benar-benar membaca maulid diba’, shimthut dluror, atau lainnya.


Banyak cara mengekspresikan rasa cinta dan kerinduan kepada Rasulullah. Ada yang merindukannya dengan cara mengikuti jalan hidupnya (sunnah) semampunya. Ada yang merindukannya dengan cara memanggil-manggil namanya. Ada pula yang mempelajari sejarah hidupnya.

Allah menyuruh kita untuk bershalawat kepada Nabi karena seluruh alam semesta, bahkan malaikan dan Dirinya sendiri pun bershalawat kepada Nabi. Hanya saja dalam ayat itu tidak dijelaskan apakah bershalawat dengan cara duduk, berdiri, sendiri-sendiri atau berjamaah.

Allohummu sholli álä muhammad.

Saturday, 5 December 2015

MENGANALISA BLOG MELALUI GOOGLE ANALYTIC

- No comments
http://www.whiteboardmag.com/wp-content/uploads/2013/01/analytics.jpg
Google Analytic


Beberapa bulan yang lalu ada teman yang memberi saran supaya saya menggunakan google analytic. Aih... untuk apalah. Begitu tanggapan saya. Dan dua hari yang lalu saya saya tergoda mengklik tautan googel analytic dan langsung sign up. 

Awalnya saya agak kecewa karena saat lihat menu audience ternyata page views saya masih nol. Padahal di dashboard blogger terlihat pengunjung blog sudah ribuan. 

Lalu saya pasang umpan ke berbagai media sosial sambil melihat grafik yang tidak kunjung bergerak. Page views tetap nol. Hati semakin berdebar-debar. Apa yang salah dengan blog saya? Hingga setelah beberapa jam mulailah bergerak dan setelah dua hari ternyata page views baru mencapai angka dua belas. 


Loh, kok cuma dua belas? Kemana larinya angka page views yang tertera di dashboard blogger?

Uji coba kecil-kecilan pun saya lakukan. Saya klik beberapa postingan saya yang lalu-lalu. kemudian me-refresh beberapa kali. Hasilnya, di dashboard terlihat jumlah pengunjung yang meningkat. Sedangkan di google analytic sama sekali tidak ada perubahan.

Penasaran? Ya, saya penasaran sekali. Saya pun mencari beberapa informasi dari blog-blog yang membagikan penggunaan google analytics. Tidak lupa pula mengunjungi laman support dari google. Lalu ada kesimpulan-kesimpulan kecil seperti nyala lilin. Sedikit penerangan meskipun belum terang benderang.

Pertama, google analytic akan menghitung jumlah klik, jumlah pengunjung, lama sesi, dan lainnya sejak pengguna mengaktifkan google analytic, bukan sejak blog dibuat. oh.

Kedua, ada beberapa tipe laporan harus dipahami. Dan saya belum ngeh masing-masing bentuk laporan. Setidaknya saya memahami page views yang menunjukkan jumlah halaman yang dilihat oleh pengunjung; users yang menunjukkan jumlah pengunjung; session yang menunjukkan lama pengunjung membuka laman blog kita.

Artinya, page views boleh banyak tetapi belum tentu users-nya juga banyak karena bisa jadi si pengunjung meng-klik beberapa postingan dalam satu sesi. Silahkan deh dipelajari sendiri.

Fasilitas baru dari google ini memang menyita perhatian saya. Jadi kembali termotifasi untuk menulis, bercerita, dan membagikannya di dunia maya. Selamat menjelajah.

google analytic: dingkelik.blogspot.com

google analytic: dingkelik.blogspot.com