Manusia dibelaki tiga software dasar penyusun rohaniahnya. Kalau bisa mensinergiskan, mengendalikan, dan menjalankan sesuai dengan aplikasi yang benar, maka ia akan mencapai derajat kemanusiaannya. Kalau gagal, maka ia akan runtuh dan tidak ada lagi pembeda antara dirinya dan biantang. Ketiga software itu adalah syahwat, kalbu, dan akal.
Dalam nilai dan budaya kita sekarang ini syahwat sering diartikan dengan dorongan seksual belaka. Padahal, dorongan seksual adalah salah satu output dari syahwat itu sendiri. Kalau dorongan seksual adalah sekedar output maka syahwat adalah sebuah generator yang mampu menghasilkan energi tak terbatas. Kebudayaan dan perkembangan teknologi kehidupan saat ini tidak lain adalah output dari generator yang bernama syahwat.
Salah satu unsur dari generator syahwat ini adalah egosentrisme (ananiyyah), yakni segala sesuatu yang sifatnya ke-aku-an. Bisa juga egosentrisme berarti menempatkan diri sendiri sebagai pusat. ‘Diri sendiri’ di sini bisa dimaknai sebagai perorangan, etnik, golongan, atau lainnya.
Minimal, syahwat memiliki tiga sifat. Pertama adalah penyerap. Ia akan menyerap apapun dari luar untuk dirinya sendiri, tak peduli yang diserap itu bernilai positif atau negatif. Tak peduli daya serapnya memiliki daya merusak atau tidak, yang terpenting kepentingan untuk dirinya sendiri terpenuhi. Semisal Kadir yang melihat seseorang yang sangat dihormati di lingkungannya. Ia melakukan telaah mengapa orang-orang menaruh hormat kepadanya. Ia perhatikan tutur bahasanya, sandang papannya, tingkah lakunya. Hingga akhirnya Kadir memiliki kesimpulannya sendiri bahwa untuk mendapat kehormatan orang lain maka ia harus memiliki kemampuan berbahasa yang begini, sandang papannya yang begitu, dan lainnya. Itulah salah satu bentuk syahwat yang memiliki sifat penyerap.
Kedua adalah menguasai. Menguasai dalam konteks apapun dan pada skala apapun, baik bermakna positif atau pun negatif. Syahwat tanpa sifat menguasai maka hardware-nya (manusia) akan menjadi lemah dan tak berkembang. Tetapi kalau tidak terkontrol maka ia akan menjadi kekuatan yang menghancurkan.
Sedangkan sifat terakhir dari syahwat adalah melampiaskan. Pelampiasan ini bisa dalam bentuk apapun dalam setiap ruang hidup manusia. Tidak hanya soal seksual, tapi segala sesuatu yang mengandung unsur pelampiasan dan kepuasan. Misalnya ketika si fulan sedang menjalankan puasa, seolah-olah ia ingin melahap apapun yang ada di meja: sirup, teh, daging, kolak, dan lainnya. Ketika saat berbuka puasa datang si fulan pun melahap semuanya seperti yang ia janjikan pada dirinya sendiri sebelum berbuka hingga ia kekenyangan dan kesulitan untuk beranjak dan beraktifitas. Maka ia bukannya sedang sangat lapar tapi ia tidak mampu mengendalikan syahwatnya dalam memuaskan diri sendiri.
Keterangan di atas bukan ijtihad saya, tapi sedikit resume dari tulisan Prayogi R. Saputra tentang pemikiran dan perenungan Emha Ainun Najib yang dikemas dalam “Spiritual Journey”.
Buku ini merekam kegiatan Emha dalam pengajian rutin di Jogja yang diberi nama Pengajian Mocopat Syafaat (MS). Dalam MS jamaah Maiyah berinteraksi dan berdiskusi. Tidak hanya Emha yang menjadi penyaji, sesekali tokoh-tokoh nasional, penulis, sineas, habaib, seniman, aktris, atau siapapun diundang untuk memberi sumbangan pemikiran. Bahkan puteranya sendiri, Sabrang –vocalis Neo- menyuguhkan materi yang tak kalah luarbiasanya dengan Emha.
Spiritual Journey merekam kegiatan-kegiatan tersebut. Tidak semuanya dijadikan bahan dalam buku ini, hanya beberapa pertemuan dan tema saja yang ditulis. Tidak hanya tema-teman tasawuf yang jadi bahan perbincangan, tapi juga tentang keindonesiaan, tentang bangsa yang tidak akan tunduk pada kepedihan, tentang masyarakat yang tahan banting meskipun krisis melanda sepanjang tahun.
Seperti ketika penulis merekam obrolan Cak Nun dengan seorang wartawan yang terus-terusan mengejar pembenaran Cak Nun mengenai keterlibatannya dalam pengunduran diri Soeharto dan proses Reformasi. Begitu pula ketika Cak Nun melakukan dialog hangat dan berfilosofis kepada Sabrang sebagai kado pernikahan. Serta beberapa kegiatan Emha lainnya yang kiranya perlu untuk kita renungkan, untuk dijadikan bahan pelapangan hati, dan pengayaan spiritualitas kita dalam menjalani kehidupan.
2012