(1)
Liburan sekolah telah tiba. Sepeda merahku melonjak gembira.
Sambil ngebut di jalan pulang ia meminta:
“Besok aku diajak piknik ya bang. Aku jenuh
tiap hari mengantarmu pergi pulang sekolah.
Aku ingin jalan-jalan ke bukit dan lembah.”
Kuremas gagang stangnya yang kenyal, kuberi ia sepotong janji:
“Tentu aku akan mengantarmu tamasya ke tempat
yang seindah mimpi. Tapi kau tak boleh nakal.
Tak boleh menabrak pantat orang.
Tak boleh nyelonong ke jurang. Dan kalau belok
harus pelan-pelan, jangan malah menambah kecepatan.”
Ah sepeda merahku. Rodanya yang tak pernah baru
kadang menggelinding juga ke halaman tidurku.
Kutepati janji. Di sebuah sore yang hangat dan menggemaskan,
di bawah matahari yang gondrong rambutnya,
aku dan sepedaku pergi melancong ke hutan.
Sepedaku dan aku menyusuri lembah dan bebukitan
seperti dua petualang yang tak peduli pada tujuan.
Memasuki senja, kami tersesat di sebuah lorong cahaya
yang menuju ke cakrawala. Di ujung lorong cahaya muncul
sebuah tangga cahaya. Di atas tangga cahaya tampak
seorang lelaki tua sedang bermain sulap. Oh ia sedang menyulap
segumpal awan menjadi selembar sapu tangan.
Ia melambai dan memanggil: “Ayo lekaslah ke sini, nak.
Mari kusulap sepeda bututmu menjadi sepeda baru.”
Aku mendekat. Ya ampun, wajah tukang sulap itu mirip
wajah kakekku yang hanya pernah kulihat fotonya.
Aku ingin sekali naik ke tangga itu, tapi sepedaku buru-buru
mencegahku: “Ayo pulang, bang. Aku sudah capek dan kedinginan.”
Sampai di rumah, kudapatkan nenek sedang menggigil
di depan tungku, ditemani kucingnya yang montok dan lucu.
Kuhampiri ia dan kuraba keningnya: “Nenek sedang demam ya?”
Dengan lirih dan agak gemetar ia menimpal: “Aku rindu kakekmu.”
(2)
Rencanaku menjenguk teman yang lagi sakit tertunda lagi.
Hujan mengamuk tak henti-henti, wabah flu menyebar
ke seluruh penjuru kampung. Di mana-mana kutemukan
orang berkerudung sarung, seakan-akan negara sedang berkabung.
Sampah hujan menumpuk di sudut halaman, berangsur-angsur
mengeras menjadi es batu. Aku membantu ayah memecah-mecah
bongkahan es hujan. Ayah memasukkan beberapa bongkah
ke dalam kulkas, katanya: “Es batu ini, nak, sangat bagus
untuk bikin es teh atau es jeruk. Bisa sekalian untuk obat.
Nanti kubikinkan ya? Ayah jamin kamu tak akan mudah
pusing, pilek dan demam bila kehujanan.”
Malam itu kulihat ayah banyak minum es hujan. Setelah puas,
ayah mengepalkan tangan dan mengacungkannya, serunya:
“Tubuhku sehat, badanku kuat, walau nasibku semakin gawat.”
Lalu tiba-tiba ayah sempoyongan seperti orang mabuk.
Sejurus kemudian ayah menggelosor dan tertidur di depan televisi.
Dari dalam televisi penyiar mengucapkan salam:
“Selamat tidur, penyair. Selamat mabuk es hujan.”
(3)
Malam-malam aku disuruh ibu membeli kerupuk di warung seberang.
Kerupuk, kata ibu, bisa membuat meja makan yang dingin dan nestapa
jadi cerah ceria. Ibu suka kerupuk yang renyah dan seru bunyinya.
Di jalan remang-remang menuju warung aku berpapasan
dengan seorang adik kelasku yang parasnya lebih dari lumayan.
Kami beradu mata dan saling mengucapkan hai.
Tatapannya telah mengobrak-abrik kesunyian mataku.
Sejenak kami berbasa-basi. Lalu malam membimbing kami
ke sebuah bangku di bawah pohon rambutan di dekat warung.
Kami berbincang hangat tentang seluk-beluk sekolah.
Tentang pelajaran matematika yang membosankan.
Tentang awalan ber- yang membingungkan. Juga tentang bu guru
yang selalu bilang astaga bila ada muridnya yang pecicilan.
Aku pulang sambil bersiul sepanjang jalan. Tidak dengan kerupuk,
tapi dengan beberapa biji buah rambutan yang dipetik adik kelasku itu
dan diberikannya kepadaku, katanya untuk kenang-kenangan.
Malam berikutnya aku pura-pura mau beli kerupuk lagi, siapa tahu
bisa bertemu kembali dengan si dia. Ah, terlambat. Kulihat ia
keluar dari warung bersama entah siapa. Mereka jalan bersama
dengan mesra sambil ketawa-ketawa. Aku bengong, terpana.
Ia menoleh ke aku, matanya melirik dengan cemerlang, tapi tatapannya
tak sanggup lagi menembus mataku, bahkan seyum manisnya
telah mengubah hatiku menjadi sebongkah bara. Lelaki sepantaran aku
di sampingnya juga menoleh, tersenyum, menganggukkan kepala,
tapi aku keburu balik kanan, pulang. Pulang dengan nelangsa.
Menjelang tiba di rumah, kutemukan sajak Chairil berceceran
di pinggir jalan. Kupungut dan kemasukkan ke saku celana.
Di atas meja belajarku ada gambar Chairil sedang merokok
dengan mata disipit-sipitkan. Gayanya tampak agak dibuat-buat,
tapi cukup keren juga. Aku segera mengambil kepingan-kepingan
sajaknya dari saku celanaku, membersihkannya,
kemudian merangkainya menjadi sebuah kalimat, bunyinya:
Ah hatiku yang tak mau memberi, mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Dikutip dari http://jokopinurbo.com
funny u knw
ReplyDeleteinget u wkt lbrn ngengkel ngontel nenk blitar trus cidera
inget crita u wak hmpir kclkaan ma lovely