Tuesday, 25 August 2015

Ruang Sunyi

- No comments
Ruang Sunyi

 Terciptanya ruang dan waktu dalam kehidupan manusia telah memberi banyak kesempatan bagi manusia untuk menimang dan merencanakan apa yang akan dilakukan. Adanya ruang dan waktu menjadikan manusia mampu membuat tolok ukur keberhasilan dan target-taget. Dalam ruang dan waktu manusia membaca dan menciptakan sejarah masing-masing.

Ternyata, bukan hanya jasad dan fisik yang membutuhkan ruang dan waktu, namun juga jiwa, psikis manusia, pun membutuhkan sebuah "ruang sunyi". Dalam "ruang sunyi" itu ia beristirahat. Dalam ruang sunyi itu ia menangkap spirit dari pengalaman indrawi jasadi.

Sekarang, era millenium, manusia telah berhasil membongkar dan melipat ruang dan waktu. Lonjakan besar dalam dunia materi membuat semua orang(-awam) terpana. Lonjakan-lonjakan sain, teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah pola hidup dan kultur budaya manusia. Sekaligus lonjakan-lonjakan tersebut mengukuhkan pandangan materialisme dan kapitalisme. Dunia mengalami perkembangan yang tidak mentolelir. Kreasi yang menindas. Orang semakin banyak yang stress. Moral tidak lagi jadi pijakan. Agama tidak mampu memberi jawaban. Spiritual yang dulunya dijadikan jalan hidup, kini jadi komoditi produk karen aspiritual jadi pelarian yang nikmat. Budaya konsum membabat habis rasa empati dan memunculkan persaingan baru.

Jiwa manusia melayang entah kemana. Ia tidak lagi punya ruang di dalam jasad yang dihuninya. Ia tidak bisa lagi membaca. Jasad tubuh tidak lagi menjadi manusia sebagai khalifah -hasil perjanjian antara Khaliq dan ruh untuk menyebarkan kemashlahatan di muka bumi- dan memilih menjadi budak fikiran dan teknologi yang berhasil dikembangkannya.

Padahal, kematangan spiritual -spiritual bukan agama- yang mampu mengendalikan keneringasan jasad dan nafsu. Spirituallah yang mengajarkan dan menuntun kaki berpijak. Manusia lelah. Jiwanya pun lelah. Yang dilihat kasat mata ini hanyalah pelarian bodoh; frustasi.

Ada sebuah kisah. Seorang nenek yang beristirahat dari aktifitasnya dengan membersihkan halaman masjid. Setiap sore ia menyapu seluruhnya hingga tidak ada lagi sampah di sana. Ia melakukan itu sudah sangat lama. Suatu hari, seseorang mencari pengganti untuk membersihkan halaman masjid karena menurut orang tersebut, nenek itu sudah terlalu renta untuk melakukan tugas itu. Nyatanya, nenek tersebut menangis, sedih, karena "ruang" yang ia butuhkan selama ini telah diambil orang lain.
"Ruang sunyi" itu yang kini kita butuhkan. [ ]
 
Selasa, 6 Mei 2009

Ingin Menjadi Sempurna? Menjomblo Bisa Jadi Alternatif

- No comments

Tulisan ini saya khususkan untuk lelaki jomblo meskipun tidak ada larangan bagi wanita jomblo untuk ikut membaca. 

Pacaran bukanlah sekedar jalan ke sana kemari, bergandengria di ruang publik atau tempat wisata. Pacaran merupakan proses sosialisasi “bilateral” antar dua individu. Mereka diikat oleh komintmen-komitmen untuk saling dukung dan saling menguntung, bukan hanya perkara-perkara yang bersifat fisik dan materi tetapi juga yang terkait dengan psikologis, emosi, bahkan spritual. Makanya, pacaran yang positif akan berlanjut pada pacaran yang produktif.

Sayangnya, statusnya masih sekedar pacar. Selain diikat oleh komitmen-komitmen, mereka juga dibatasi oleh norma-norma. Sekali duakali norma yang berlaku di masyarakat diterabas dan ditabrak dengan mesin ketidaksopanan maka siap-siaplah ditikam oleh mata-mata yang tajam. Karena aktifitas pacaran yang sering kita temui di sekitar kita tidak hanya duduk berhadap-hadapan, tetapi sudah berdampingan dan bersandaran; bukan hanya tangan bertemu tangan tetapi sudah melangkah lebih jauh ke depan; duduk berduaan di teras halaman akan dianggap ketinggalan makanya mereka mencari café-café atau duduk di tempat gelap berdua-duaan.

Maka saran saya, menikahlah.

Menikah juga bukan sekedar penghalal atas ciuman dan pelukan, atau cumbu mesra yang mengenakkan. Menikah lebih menyerupai komitmen absurd dimana kedua belah pihak harus saling mendukung dan berbagi, saling mendukung dan menguatkan, senasib dan sepenanggungan. Hampir mirip dengan perusahaan lah dalam menjalin kerjasama antar instansi. Yang membedakan hanya sesuatu yang sangat absurd yang akan susah dipahami oleh para jomblo. Sesuatu itu bernama cinta.

Menikah adalah sebuah jalan menuju ke kesempurnaan. Si istri mendukung si suami dalam mengarungi hidup karena di luar sana terhampar dunia antah berantah yang kejam dan gelap, hanya semburat cahya kecil yang bermunculan—yang membutuhkan mata yang suci untuk menangkap petandanya, dan si suami membutuhkan dukungan untuk tetap kuat berdiri di dunia yang gelap dan gemerlap ini. Sebagai imbalan, si suami memberikan rasa nyaman dan aman karena itulah yang dibutuhkan oleh para wanita: nyaman membelanjakan penghasilan suami.

Konsep ini susah dipahami oleh lelaki jomblo karena sebenarnya ini bukan konsep tetapi tesis kehidupan. Sifatnya laduni.


Tapi ada sebuah antitesa. Begini: Semua pernikahan adalah cara untuk mencapai kesempernaan hidup, lalu bagaimana kalau ada orang mampu mencapai kesempurnaan itu dengan cara tetap menjomblo?

Kalau mau jujur para jomblolah yang sangat mumpuni mencapai kesempurnaan menjadi manusia super. Dia mampu bertahan di bawah hujan, malam yang gelap. Untuk menikmati pagi, ia cukup ditemi kopi dan sebatang rokok. Teman-teman saya banyak yang tak mampu meningkatkan produktifitasnya karena berada di bawah bayang-bayang “istri menunggu di rumah”.

Betapa menyusahkannya kehidupan dalam ikatan pernikahan. Ada hak dan kewajiban. Bayangkan kalau hak istri tidak dipenuhi? Kecuali kamu tidak takut dosa. Bayangkan kalau ada kewajiban yang tidak ditunaikan?

Sesungguhnya, menjomblo adalah salah satu metode hidup untuk menghindari kezhaliman. Seorang jomblo memiliki jalan sunyi untuk mencapai pencapaiannya dalam kesempurnaan hidup. Mengingat, banyaknya kasus pacaran yang sebenarnya untuk kenikmatan syahwati belaka. Begitu pula dalam pernikahan.

Bagaimana dengan dirimu sendiri? Punya hepotesa sendiri? []

Saturday, 22 August 2015

Sehari(an) Mengajar Blogging

- No comments
Indah Hapsari sedang pusing :D

Kemarin seorang teman meminta saya untuk datang ke journalist club. Jangan dibayangkan kalau klub ini berisi para jurnalis hebat dari media massa. Klub ini adalah kumpulan para pegiat pena di sekolah. Untuk apa saya diminta datang ke sana? 

Saya tidak punya bakat menulis yang baik apalagi bakat jurnalis tapi saya punya sedikit ketekunan nguprek tampilan blog yang tidak dimiliki temen saya ini. Rupanya, ini yang coba dia manfaatkan.

Satu minggu yang akan datang, anak didik teman saya akan mengikuti lomba jurnalistik sekalian blogging competition yang diselenggarakan oleh salah satu sekolah favorit di kota kami. Tidak banyak anak SMA di sekolah kami yang suka dengan blogging dan ketika saya diminta untuk membimbing Indah Hapsari seperti melihat seseorang berjalan di tengah malam membawa obor.

Syukurlah, Indah sudah punya bekal tentang blogging. Syukurlah dia punya kemauan. Jadi tidak perlu lama untuk step by step mengkostumasi template. Dan ketika waktunya praktik dia langsung bisa buat blog ini untuk berekspresi.

Hah, selamat melaksanakan amanat Pramudya. Menulis adalah perjuangan. Bukan hanya memperjuangkan keberanianmu mengutarakan pendapat tapi juga berjuang memahami orang-orang yang memiliki perspektif yang berbeda.