Karena tiba-tiba saya sendiri di rumah, saya jadi merenung dan kembali menanyakan tentang tujuan hidup saya. Pertama-tama saya menanyakan tentang kemulyaan. Kemulyaan -kalau itu pantas disebut dengan kemulyaan, tapi yang jelas itu adalah anugerah- yang selama ini saya sandang, apakah memang begitu adanya atau hanya pencitraan yang saya munculkan karena gengsi intelektual? Sedangkan penderitaan dan kesengsaraan yang saya jalani selama ini, apakah karena dampak perjuangan dan pengorbanan atau karena sebenarnya saya menjadi korban dari ketidakberdayaan saya memainkan peran dan intelektual?
Lalu saya melihat foto-foto keluarga dan para sahabat. Dari masa lalu itu saya coba keruk kembali tujuan hidup saya. Namun yang saya dapati hanya senyum. Sebuah senyum yang sulit saya maknai. Dan ketika saya mendapati diri saya sendiri di dalam kertas, saya mendapati keluguan dalam mata saya yang menunjukkan bahwa saya tidak punya tujuan sama sekali.
Teman sejawat saya mengusulkan saya supaya saya pergi ke terminal atau stasiun. Saya menemukan ratusan wajah. Melihat sajah mereka saya seperti menemukan sosok diriku sendiri. Ricuh, sengsara, beringas berebut pintu kereta dan bus. Kepucatan wajah pedagang asongan layaknya kepucatan nuraniku yang lama tak tercerahi. Atau keberingasan para pengamen yang seperti batinku yang marah oleh karena terkalahkan zaman.
Ingin sekali mata ini meneteskan air mata. Menangisi diri sendiri yang tidak pernah mau singgah dari perjalanan ini -semacam ketakutan untuk berhenti.
Seperempat abad yang lalu saya terima sebuah tantangan untuk melaju di jalanan ini. Namun saya tidak diberitahu seberapa jauh saya harus pergi. Untunglah ketika saya keluar dari rumah, saya bertemu dengan seseorang yang telah lama berlangla buana. Ia memberiku bekal dan cara melintasi jalanan di depan. Tapi tetap ia tidak memberi-tahuku seberapa jauh saya harus pergi.
Kelelahan itu akhirnya membuatku membuah sub-terminal di sana-sini. Di sekolah, sawah, kebun, pegunungan, bahkan masjid. Saya menduga setiap tempat saya berhenti di sanalah saya akan berhenti selamanya. Ternyata tidak/belum. Dan saya lupa kemana harus pergi.
Kudengarkan campursari, kuhirup wangi parfum, ku tatap warna-warni, dan kuraba wajahku sendiri. Saya melihat visi. Saya harus istirahat. Saya harus mendengar sepi.
Sebenarnya memang sepi yang saya cari. Kebisingan selama ini telah membuat jiwaku takut akan sepi, padahal dalam sepi ditemukan jendela untuk melihat masa lalu tapi tidak lupa dengan tujuan.
Sekian.
Kudengarkan campursari, kuhirup wangi parfum, ku tatap warna-warni, dan kuraba wajahku sendiri. Saya melihat visi. Saya harus istirahat. Saya harus mendengar sepi.
Sebenarnya memang sepi yang saya cari. Kebisingan selama ini telah membuat jiwaku takut akan sepi, padahal dalam sepi ditemukan jendela untuk melihat masa lalu tapi tidak lupa dengan tujuan.
Sekian.
Rumah, 27 April 2009
0 on: "Jangan Lelah Menuju Rumah"