Karena saya mengajar di sekolah Islam maka saya dan juga teman-teman lainnya harus memiliki kemampuan membaca Alquran. Seharusnys tidak hanya karena mengajar di sekolah Islam, mengajar atau tidak, di sekolah Islam atau bukan, tetap saja seorang muslim harus mampu membaca Alqurán.
Teman saya antusias sekali ketika ditunjuk untuk membimbing anak-anak dalam membaca Alqurán. Tak cukup sampai di situ, teman saya ini membawa-bawa saya supaya turut membantunya mengajar. “Bacaannya bagus. Saya pernah mendengarnya membaca Alquran sekali.”Begitu kata temannya saya.
Maka, mulai tahun ini saya mengajar—sekaligus membimbing—anak-anak dalam membaca Alqurán. Tapi saya mengajukan satu syarat: jangan panggil saya dengan sebutan ustadz.
Dua hari pertama, saya melakukan orientasi. Saya bingung bagaimana cara mengajari anak-anak membaca Alqurán. Saya bingung, anak-anak lebih bingung. Aha!! Saya siram dulu ah pake ice-breaking: cerita.
Saya ceritakan bagaimana kitab suci yang ada di tangan mereka ini dulu disusun; bagaimana Rasulullah dengan susah dan payah menerima dan menyampaikan wahyu; bagaiamana Zaid bin Tsabit dengan berat hati menerima perintah untuk mengkodifikasi mushaf-mushaf Alqurán yang tercecer di tangan-tangan sahabat; bagaiamana enam salinan Alquran dibagi ke gubernur-gubernur yang memegang tampuk kepemimpinan yang strategis; bagaimana dulu Alqurán ditulis tanda tanda-tanda harokat.
Antusias Anak Sebelum Setoran |
Sekarang kita tinggal membaca dan mempelajari Alquran, maka tekunilah dua aktifitas ini.
Saya menghidari peran sebagai ustadz, tapi ternyata berceramah ala ustadz menyenangkan. Pastas kalau tiba-tiba banyak bermunculan ustadz-ustadz. Dan saya menjadi ustadz SK. Maksud saya, saya jadi ustadz karena menerima SK dari pemimpin saya. Artinya, gelar ini bisa kapan saja dicabut.
Mumpung belum dicabut saya cerikan pengalaman asyik menjadi ustadz dadakan ini.
Ada anak yang hafalan juz amma bagus sekali. Tak hanya bagus tapi juga fasih. Saya manggut-manggut, semacam malu karena mengukur diri, melihat ketrampilan anak menghafal. Ini hasil jerih payah orangtua atau guru TPA di lingkungannya?
Ketika dulu saya belajar baca Alquran ya hanya baca Alquran. Pernah juga disuruh hafalan tapi tidak mau menghafal. Makanya kalau saya menjadi imam shalat, saya hanya bisa membaca surat qul saja. Itu lho tiga surat terakhir.
Karena ini baru bagi saya makanya saya mengajar seperti dulu saya menerima pelajarannya. Talaqqy. Satu persatu anak-anak maju membaca lembaran Iqro’. Kalau salah saya berdehem, kalau benar saya bilang guuud.
Saya sering dibuat GR oleh anak-anak. Pernah suatu hari saya tidak masuk kelas dan digantikan oleh guru lain dengan mata pelajaran lain. Mereka langsung huuuuu tidak antusias. Pernah saya menyela pelajaran baca Alquran dengan pelajaran menulis Arab dengan baik dan benar. Mereka pun langsung huuuu tidak antusias. Mereka lebih memilih belajar baca Alquran.
I’m surprised. Senang bukan main tapi saya juga penasaran kenapa mereka begitu antusias lebih memilih belajar baca Alquran. Jawaban mereka pun bikin saya mesem-mesem: “Kalau yang lain ngaji kita kan bisa mainan, pak.”Oh!
Tidak hanya itu, saya juga pernah dibuat tertawa kecil. Tentu sambil saya gelengkan kepala bukan kepalang. Dia baca hakyimi. Saya koreksi sampai tiga kali tapi tetep saja baca hakyimi. “Bukan hakyimi tapi hakiimi.”Kata saya. “Ya tah?!!”kata anak saya seperti tidak percaya.
Bagaimana pun juga pelajaran ini tetap harus berjalan. Namanya juga anak-anak. Saya dulu lebih nakal. Jadi, saya anggap ini cicilan karma. Mungkin kalau saya jadi ustadz ujian kesabaran saya akan lebih besar. []
0 on: "Menjadi Ustadz SK"