Beberapa hari belakangan saya perhatikan ada peningkatan aktifitas di sekolah. Guru-guru kok mempercepat langkah kaki mereka bolak-balik dari meja kerjanya ke perpustakaan, dari main office ke ruang kepala sekolah. Yang seperti ini jarang terjadi. Saya jadi tambah heran dan gemas.
Kepala sekolah mendatangi saya lalu berpesan, nanti kalau ada guru yang minta izin keluar untuk mengurus PPGJ tolong dilihat dulu ada jam mengajar atau tidak. Wah, instruksi pak Kepsek ini menjadi jawaban dari keheranan saya. Pantes saja. Karena yang lalu-lalu, kalau akan ada Moneva aktifitas guru tidak meningkat seperti ini. Tapi ya tetap sibuk mempersiapkan diri.
Jadi, bulan ini akan ada dua agenda penting: Moneva dan PPGJ.
Jadi, bulan ini akan ada dua agenda penting: Moneva dan PPGJ.
Dinas pendidikan di tempat saya mengajar memprogramkan kegiatan Moneva (Monitoring dan Evaluasi) untuk sekolah-sekolah swasta di semester genap. Mereka akan melihat pelaksanaan pembelajaran melalui evaluasi delapan standar pendidikan nasional. Kegiatan Moneva tidak seketat agreditasi. Setidaknya kalau penilaian moneva ini bagus maka untuk agreditasi tahun ajaran 2015—2016 mendatang kami sudah mengerti mana yang mesti diperbaiki dan dipertahankan.
Saya sedikit ragu kalau Moneva ini akan berjalan maksimal karena konsentrasi guru tidak hanya fokus mempersiapkannya tapi juga fokus memenuhi PPGJ (Pelatihan Profesi Guru dalam Jabatan). Tidak semua guru masuk dalam daftar PPGJ tapi jumlahnya cukup lumayan kalau mereka –pada saat yang bersamaan—pamit meninggalkan sekolah untuk ngurusi administrasi PPGJ.
Sertifikasi Guru Profesional
Bagi guru, mendapatkan sertifikat guru profesional adalah titik penting dalam karirnya sebagai guru. Keberadaannya diakui oleh negara. Begitu pula kompetensinya. Karena untuk mendapatkan sertifikat itu guru harus mengikuti serangkaian penyaringan dan tes. Ia harus sudah sekian tahun menjadi guru. Dalam sekian tahun menjadi guru pun ia memenuhi tugas pokok administrasi guru yang dua puluh dua itu. Juga mengikuti tes menggunakan sistem computer based. Sehingga, ketika lulus dan mendapatkan sertifikat seolah-olah ada statemen: Aku bukan sekedar pengabdi kehidupan tapi juga seorang guru profesional. Dan mendapatkan tunjangan dari pemerintah.
Sertifikasi Guru Profesional
Bagi guru, mendapatkan sertifikat guru profesional adalah titik penting dalam karirnya sebagai guru. Keberadaannya diakui oleh negara. Begitu pula kompetensinya. Karena untuk mendapatkan sertifikat itu guru harus mengikuti serangkaian penyaringan dan tes. Ia harus sudah sekian tahun menjadi guru. Dalam sekian tahun menjadi guru pun ia memenuhi tugas pokok administrasi guru yang dua puluh dua itu. Juga mengikuti tes menggunakan sistem computer based. Sehingga, ketika lulus dan mendapatkan sertifikat seolah-olah ada statemen: Aku bukan sekedar pengabdi kehidupan tapi juga seorang guru profesional. Dan mendapatkan tunjangan dari pemerintah.
Pemerintah tampak serius menopang kehidupan guru di negeri ini. Kisah-kisah seperti guru Umar Bakri semoga tak terdengar lagi kelak. Guru benar-benar menjadi garda depan pembangunan bangsa karena di tangan mereka ilmu pengetahuan diwariskan. Guru benar-benar menjadi profesi yang sepadan sehingga untuk menghidupi keluarga dan memenuhi kebutuhannya mereka tak perlu lagi lompat lapangan pekerjaan.
Makanya, pada fase-fase pertama kelahiran ‘sertifikasi guru’ pemerintah mendahulukan guru-guru yang puluhan tahun mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan. Lalu saringan itu diperketat, diperketat, dan terus diperketat. Kalau terus-terusan longgar, tidak menutup kemungkinan sertifikasi guru akan salah sasaran. Hhmm, bukan sertifikasinya yang salah sasaran tapi tunjangan sertifikasi guru yang jadi rebutan.
Permasalahan yang timbul di sekolah saya
Permasalahan yang timbul di sekolah saya
Di sinilah kemudian saya merasa musykil. Untuk mendapatkan sertifikat guru profesional justru tidak diimbangi dengan langkah-langkah yang profesional. Pasalnya, data yang ambil oleh pemerintah adalah data online yang diinput tahun lalu dan pada saat itu guru-guru yang bersangkutan adalah tenaga pendidik di SMP. Sekarang sebagaian guru itu mengajar di SMA.
Bagaimanapun juga, menjadi peserta PPGJ adalah hak guru. Mereka diundang oleh pemerintah. Tidak ada hak sama sekali dari sekolah untuk menghalang-halangi mereka. Yang perlu dipegang adalah norma. Norma untuk menghormati aturan-aturan sekolah dan aturan-aturan pemerintah.
Makanya, saya merevisi Surat Keputusan Kepala Sekolah tentang pembagian jam mengajar guru sehingga beberapa teman yang mengajar di SMA itu terdaftar sebagai guru SMP. Langkah pendek ini bukan tanpa resiko karena kalau teman-teman lulus PPGJ maka harus dilakukan semacam ‘resuffle’ tugas mengajar. Dampak perubahan seperti ini berimbas pada atmosfir hubungan guru.
Ternyata permasalah di atas bukan permasalahan satu-satunya. Pada hari selanjutnya datang beberapa guru mata pelajaran yang tidak memenuhi jumlah jam mengajar. (FYI: Guru profesional harus mengajar minimal 24 jam tatap muka). Luba-lubi, meminta ini itu, lalu jadilah mereka mendapatkan 24 jam mengajar tatap muka. Bagaimana bisa? Caranya adalah saling-silang guru mata pelajaran, meminta atau mungkin merebut jam mengajar. Secara de jure sah mendapatkan 24 jam mengajar, tetapi de facto tidak.
Semua jadi musykil. Perihal yang tadinya untuk kebaikan berubah menjadi begitu semrawut. Alih-alih ingin menjadi guru tersertifikasi, peningkatan pedagogik, profesionalisme, personal, dan sosial sedikit sekali mendapat perhatian. Indikasinya adalah saat pelaksanaan Moneva. Semua administrasi guru dikerjakan secara spontanitas. Ada yang salah menghitung jam perpekan ada pula yang salah menulis institusi tempat mengajar.
Tidak hanya musykil tapi juga naif. Kenaifan yang tak bisa saya ungkapkan secara gamblang di sini. Semoga bisa menjadi pembelajaran.
Februari 2015
0 on: "Paradoks Sergur: Permainan Jam Mengajar"