Maraknya berita tentang perilaku remaja akhir-akhir ini membuat hati siapapun menjadi teriris. Sedih. Selain merasa empati kepada korban juga merasa sedih karena merekalah yang kelak akan menahkodai bumi pertiwi ini. Selain menunjukkan betapa rendah nilai etika moral para pelaku juga menunjukkan betapa pendidikan kita belum menyentuh dunia mereka.
Kalau sudah seperti ini, siapa yang dipersalahkan? Siapa yang mau bertanggungjawab?
Kita lah yang bertanggungjawab atas lingkungan tempat tinggal kita. Kita sebagai bagian dari kehidupan sosial. Kita sebagai klaster dari masyarakat yang disebut dengan keluarga.
Dari kasus-kasus menurunnya nilai moral anak bangsa itu semua kembali kepada diri kita untuk bangkit, saling peduli satu sama lain, tidak lagi opurtunis mencari kenikmatan hidup sendiri. Kita harus kembali pada dunia saling menyapa, pada dunia tanpa curiga.
Remaja-remaja kita adalah pemiru ulung. Mereka akan re-create apa yang dilihatnya dan diaktualisasikan dalam berbagai bentuk. Kita, sebagai bagian dari masyarakat, lah yang melakukan pendampingan.
Saya sering merasa kegeeran ketika seseorang bertanya tentang aktifitas atau kreatifitas yang saya lakukan, tak jarang justru spirit saya meledak, karena pertanyaan-pertanyaan yang positif menimbulkan energi positif. Jangan sampai under estimate dengan istilah kepo (knowing every particular object) justru kita enggan bertanya. Kalau yang dilakukan adalah perihal positif kepo justru menjadi penyalur energi.
Eh eh, kok muluk-muluk amat cita-cita hamba ini. Masyarakat—kebanyakan masyarakat—sudah sibuk mengurusi perut keluarganya. Saya dan juga mereka sibuk membanting tulang dan peras keringat. Bahkan ada, yang tidak hanya suami, istrinya pun diseret-seret untuk ikut menguli.
Barangkali sikap seperti ini timbul karena urusan moral dan etika sudah sangat dipercayakan kepada lembaga pendidikan.
Lalu, lembaga pendidikanlah yang bertanggungjawab. Mereka sudah mendaulat diri mereka untuk menjadi bagian dari lembaga yang akan mencerdaskan anak bangsa. Melalui kurikulum dan skenario pembelajaran anak-anak bangsa ini ditempa menjadi pribadi yang berkarakter dan relijius.
Lihatlah muatan pelajaran anak-anak kita. Ada lebih dari sebelas mata pelajaran mereka lahap setiap minggu. Ada ribuan aktifitas yang dikemas untuk menggembleng mereka yang tadinya hanya gabah hingga bisa menjadi nasi.
Ada pelajaran tentang tata negara, agama, seni dan budaya. Ada pelajaran tentang olahraga dan bahasa. Ada pelajaran tentang logika, matematika, hingga kimia. Lengkap sudah yang dipelajari anak-anak kita di sekolah.
Saat ini, sekolah pun telah melakukan banyak inovasi dalam pendidikan. Ada sekolah dengan konsep belajar sehari penuh (fullday school) atau sekolah yang bernuanda dan berbasis agama, seperti sekolah islam terpadu.
Sekolah-sekolah seperti ini semakin diminati karena sekolah-sekolah reguler dinilai kurang memberikan jawaban atas tantangan zaman perihal etika/moral. Selain itu, sekolah-sekolah seperti ini menjadi ‘baby sitter’ karena kedua orangtua mereka sibuk dalam berkarir.
Selain keluarga, sekolah adalah lembaga yang paling berperan dalam membentuk karakter anak. Di sekolahlah mereka belajar nilai kedisiplinan dan saling menghargai, berfikir kritis dan akademis, mengasah kepekaan sosial dan spiritual.
Jadi, kalau di luar sana terjadi aksi untuk menunjukkan eksistensi yang keluar batas norma masyarakat dan norma hukum, tentu kita bisa melihat bahwa ada yang salah dengan proses pendidikan di keluarga dan di sekolah.
Barangkali pemimpin negeri inilah yang perlu instropeksi. Seluruh jajarannya harus kembali melihat ke dalam diri sendiri.
Karena uang dan jabatan kah mereka mencari kedudukan atau karena keiginan untuk mengabdi kepada pertiwi?
Pertanyaan naif dan paradoks. Padahal semua sudah tahu sama tahu. Sedikit sekali orang yang benar-benar ingin merawat negeri ini.
----------------------------
Untuk memenuhi tantangan #MenulisApaSaja.
Kalau sudah seperti ini, siapa yang dipersalahkan? Siapa yang mau bertanggungjawab?
Kita lah yang bertanggungjawab atas lingkungan tempat tinggal kita. Kita sebagai bagian dari kehidupan sosial. Kita sebagai klaster dari masyarakat yang disebut dengan keluarga.
Dari kasus-kasus menurunnya nilai moral anak bangsa itu semua kembali kepada diri kita untuk bangkit, saling peduli satu sama lain, tidak lagi opurtunis mencari kenikmatan hidup sendiri. Kita harus kembali pada dunia saling menyapa, pada dunia tanpa curiga.
Kita mulai menyapa siswa-siswi yang ada di mall, perempatan jalan, rental play station, warnet, dan tempat lainnya di saat jam aktif belajar. Barangkali mereka membolos. Karena dengan begitu kita menunjukkan pedulian dan keprihatinan.
Remaja-remaja kita adalah pemiru ulung. Mereka akan re-create apa yang dilihatnya dan diaktualisasikan dalam berbagai bentuk. Kita, sebagai bagian dari masyarakat, lah yang melakukan pendampingan.
Saya sering merasa kegeeran ketika seseorang bertanya tentang aktifitas atau kreatifitas yang saya lakukan, tak jarang justru spirit saya meledak, karena pertanyaan-pertanyaan yang positif menimbulkan energi positif. Jangan sampai under estimate dengan istilah kepo (knowing every particular object) justru kita enggan bertanya. Kalau yang dilakukan adalah perihal positif kepo justru menjadi penyalur energi.
Eh eh, kok muluk-muluk amat cita-cita hamba ini. Masyarakat—kebanyakan masyarakat—sudah sibuk mengurusi perut keluarganya. Saya dan juga mereka sibuk membanting tulang dan peras keringat. Bahkan ada, yang tidak hanya suami, istrinya pun diseret-seret untuk ikut menguli.
Barangkali sikap seperti ini timbul karena urusan moral dan etika sudah sangat dipercayakan kepada lembaga pendidikan.
Lalu, lembaga pendidikanlah yang bertanggungjawab. Mereka sudah mendaulat diri mereka untuk menjadi bagian dari lembaga yang akan mencerdaskan anak bangsa. Melalui kurikulum dan skenario pembelajaran anak-anak bangsa ini ditempa menjadi pribadi yang berkarakter dan relijius.
Lihatlah muatan pelajaran anak-anak kita. Ada lebih dari sebelas mata pelajaran mereka lahap setiap minggu. Ada ribuan aktifitas yang dikemas untuk menggembleng mereka yang tadinya hanya gabah hingga bisa menjadi nasi.
Ada pelajaran tentang tata negara, agama, seni dan budaya. Ada pelajaran tentang olahraga dan bahasa. Ada pelajaran tentang logika, matematika, hingga kimia. Lengkap sudah yang dipelajari anak-anak kita di sekolah.
Saat ini, sekolah pun telah melakukan banyak inovasi dalam pendidikan. Ada sekolah dengan konsep belajar sehari penuh (fullday school) atau sekolah yang bernuanda dan berbasis agama, seperti sekolah islam terpadu.
Sekolah-sekolah seperti ini semakin diminati karena sekolah-sekolah reguler dinilai kurang memberikan jawaban atas tantangan zaman perihal etika/moral. Selain itu, sekolah-sekolah seperti ini menjadi ‘baby sitter’ karena kedua orangtua mereka sibuk dalam berkarir.
Selain keluarga, sekolah adalah lembaga yang paling berperan dalam membentuk karakter anak. Di sekolahlah mereka belajar nilai kedisiplinan dan saling menghargai, berfikir kritis dan akademis, mengasah kepekaan sosial dan spiritual.
Jadi, kalau di luar sana terjadi aksi untuk menunjukkan eksistensi yang keluar batas norma masyarakat dan norma hukum, tentu kita bisa melihat bahwa ada yang salah dengan proses pendidikan di keluarga dan di sekolah.
Barangkali pemimpin negeri inilah yang perlu instropeksi. Seluruh jajarannya harus kembali melihat ke dalam diri sendiri.
Karena uang dan jabatan kah mereka mencari kedudukan atau karena keiginan untuk mengabdi kepada pertiwi?
Pertanyaan naif dan paradoks. Padahal semua sudah tahu sama tahu. Sedikit sekali orang yang benar-benar ingin merawat negeri ini.
Hanya karena tanah air ini pernah dikelolah layaknya sebuah perusahaan, bukan berarti kita putus asa untuk bangkit dan menjadikannya benar-benar sebuah negara.
----------------------------
Untuk memenuhi tantangan #MenulisApaSaja.
yang tidak pernah selesai adalah siapa membela siapa ,
ReplyDelete