Friday, 24 June 2016

SAYA DAN TUHAN PUN BERPUASA

- No comments
SAYA punya hubungan yang absurd dengan buku ini: Tuhan pun Berpuasa. Di hari-hari biasa tiada ketertarikan untuk membuka buku ini. Setelah saya membelinya, menuntaskan bacaannya, lalu menumpuklah ia di antara koleksi buku lainnya. Tetapi kalau bulan puasa menjelang datang, ia seperti melambai-lambai ingin digapai.

Apa istimewanya buku ini?

Bagi kebanyak orang mungkin tidak begitu begitu berarti tetapi bagi saya buku ini seperti alarm yang mengingatkan saya bagaimana bulan puasa kali ini harus dijalani dan bagaiamana bulan-bulan setelahnya harus diarungi.

“Tuhan pun Berpuasa” ditulis oleh Emha Ainun Najib (mbah Nun) dan diterbitkan oleh penerbit Kompas pada tahun 2012. Dan pada tahun yang sama saya membelinya. Dan sampai sekarang saya tidak pernah bosan untuk membaca kembali pengalaman-pengalaman spiritual yang ada di dalamnya.

Mbah Nun (ia bukan lagi seorang “cak”) menunjukkan kepada saya bahwa puasa tidak saja tentang ngrekso dari segala perkara yang meteri. Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menumpahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan.

Mari kita lihat di sekitar kita, betapa banyak orang lebih suka menumpahkan segala-galanya. Kemarahan dan kebahagiaan, suka duka, canda tawa. Semuanya ditumpahkan dalam sebuah media yang inferior. Kalau toh kita temui sedang menahandiri, yang ia tahan adalah aib supaya tidak menyeruak ke permukaan.

Jarang yang kita temui orang yang menahan dirinya, apalagi ucapannya. “Manusia membutuhkan satu tahun untuk belajar berbicara, tapi manusia membutuhkan lima puluh tahun untuk belajar diam”. Diam yang bagaimana? Tentu saja diam yang akan melahirkan emas dalam diri dan lingkungannya.

Di buku ini, saya sering mengulang-ulang beberapa judul. Di antaranya adalah Puasa dalam Syahadat, Shalat, Zakat, Haji; Puasa: Menuju “Makan Sejati”; dan Tuhan pun “Berpuasa”.

Yang pertama, tulisan itu dibuka dengan kalimat begini:

Puasa adalah pilihan atau keharusan untuk ‘tidak’ atas sesuatu yang sewajarnya ‘ya’. Atau sebaliknya: keputusan untuk ‘ya’ terhadap sesuatu yang halal untuk ‘tidak’.

Tidak salah kan kalau saya makan sate dua puluh atau tiga puluh tusuk tiap malam? Atau membeli properti di sana-sini sebagai investasi meskipun saya tidak pernah meninggalinya? Atau keboleh-kebolehan lainnya.

Tetapi kemudian saya memutuskan ‘tidak’ karena dengan ‘tidak’ itu saya dapat menjauhi mudlorot mencapai derajat yang lebih tinggi. Seperti menahan diri untuk mengkonsumsi makanan dan minuman dari subuh hingga maghrib karena dengan begitu saya akan mendapatkan keuntungan yang bersifat jasadiah dan rohaniah.

Saya teringat beberapa kisah para sahabat Nabi dan pelaku sufi yang mempuasakan dirinya dari mengkonsumsi sesuatu padahal secara syariah dihalalkan. Hal ini bukan mengharamkan yang halal tapi dalam rangka penempaan terhadap nafsu, mendidik dan mendewasakan nafsu supaya ia tidak seperti anak kecil yang sudah besar tapi masih ngempeng.

Misal yang lain adalah berpuasa dalam zakat. Secara hukum fikih, zakat fitrah itu hanya satu mud tetapi engkau lebihkan. Hal ini bukan untuk menyalahi hukum fikih tetapi engkau lakukan karena kesadaranmu terhadap fungsi sosialmu.

Pada catatan kedua—Puasa: Menuju “Makan Sejati”—mbah Nun mengajak kita untuk merenungi makanan dan minuman apa yang selama ini kita konsumsi. Beliau mengambil ilmu Kanjeng Nabi, ‘hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang’.

Inilah rahasia kesehatan Rasulullah. Beliau bukan budak perut. Padahal perut hanyalah tempat mampir bagi sejumlah zat yang memberi energi pada kelangsungan hidup fungsi tubuh kita. Perut tidak pernah mempermasahkan apa yang masuk ke dalamnya, apakah pecel dari warung pojok ataukah pecel lele dari pasar malam, apakah pizza ataukah nasi goreng. Justru yang sering mempermasahkan—dan menuntut berlebihan—adalah lidah.

Lidahlah yang membuat kita menjadi feodalis, asosialis, yang membuat makan tidak lagi sejati. Padahal, makan adalah makan. Ketika perut lapar apa saja yang ada di meja akan dilahap. Justru perut yang tidak lapar yang menuntut aneka makan minuman tersedia di atas meja, yang justru tidak semuanya dibutuhkan oleh tubuh.

Kesejatian diri adalah momentum di mana kita mampu menahan diri. Dan puasa adalah langkah awal dan paling dasar untuk dapat menahan diri sendiri. Banyak kisah dan contoh tentang orang-orang yang mampu mencapai kemulyaan dan masing-masing dari mereka berangkat dari ‘puasa’.

Jangankan Rasulullah, Allah pun memberi contoh-contoh dahsyat tentang mengendalikan diri, baik tentang diri-Nya maupun tentang penciptaan-Nya. Dengan setia Allah tetap menerbitkan matahari tanpa peduli apakah manusia menyembah-Nya atau tidak. Dengan Rahmat-Nya Allah menahan diri-Nya untuk marah meskipun manusia tidak pernah bersyukur atas karunia-Nya.

Di sinilah Allah melakukan ‘puasa’. Allah sangat berhak untuk menghukum kita. Bayangkan, betapa sering kita meminta dari pada bersyukur, betapa sering kita mengaduh dari pada bersabar. Betapa sering kita acuh tak acuh terhadap lingkungan dari pada menyantuni fakir miskin.

Bayangkan kalau Allah tidak berpuasa, mungkin kita sudah sedari dulu dilumatnya.


Di buku ini, masih banyak nilai spiritual yang bisa digali. Hanya dari perihal puasa kita bisa membangun kehidupan sosial yang luar biasa.

Menjelang Ramadhan seperti sekarang ini saya seing was-was akankah puasa kali ini lebih bagus secara kualitas dari puasa tahun lalu? Apakah bulan-bulan setelahnya akan lebih baik dari bulan-bulan sebelumnya? Apakah puasa kali ini benar-benar puasa atau sekedar rutinitas untuk melegitimasi kemeriahan lebaran nanti?

Tida usah dijawab… Cukup saya renungkan.


-----------------------------------------
Saya tulis untuk tantangan #MenulisApaSaja sekaligus untuk mengucapkan Selamat Ulang Tahun kepada Emha Ainun Najib (mBah Nun) yang ke-63.