Thursday, 12 February 2015

Berupaya Menjadi Guru yang Sabar

- No comments
Gambar: maspaeng.blogspot.com

 Mendidik membutuhkan kesabaran yang tinggi. Begitu pula untuk menjadi orang yang terdidik. Sudah banyak loh metode mengajar ditemukan, dipaparkan, dan diseminarkan. Datanglah ke toko buku terdekat dan tengoklah etalase bagian pendidikan. Puluhan buku dengan berbagai judul yang membahas teori pendidikan termutakhir. Banyak kan?

Memiliki tekad yang kuat tidaklah cukup sebagai modal. Seorang pendidik semestinya memiliki kekayaan lain sehingga ia mampu menjadi pembimbing bagi para muridnya. Kemampuan pedagogik yang baik, profesional dalam menjalankan profesinya, memiliki hubungan yang baik dengan rekan sejawat, dan ‘inner beauty’ yang matang sebagai seorang pendidik.

Hmm, saya pingin pamer sebentar. Sejak kecil saya sudah terlibat dalam pendidikan. Semasa sekolah di tingkat menengah sudah membantu orangtua untuk membimbing adik-adik di TPA. Meskpun bukan bergelar sarjana pendidikan untungnya saya ditakdirkan menjadi pendidik. Pernah mengajar di sekolah dasar sampai menengah atas. Kalau dinilai dari sisi profesionalisme guru, tentu saya berada di tempat yang sangat jauh untuk menjadi guru profesional. Tetapi saya belajar banyak sekali dari pengalaman itu.

Saya mengenal teman-teman saya adalah guru yang profesional. Mulai dari latar belakang kependidikannya sebagai guru sampai pada ketuntasan administrasi guru. saya kalah telak. Makanya saya belajar banyak dari teman-teman saya. Saya belajar cara membuat perangkat pembelajaran, cara mengevaluasi pencapaian siswa, cara menghadapai walimurid yang gundah gulana, dan masih banyak lagi. Tapi masalah satu ini saya belajar dari sang guru saya.
Yang saya maksud dengan ‘satu ini’ adalah tentang kesabaran. Hmm, menjadi guru harus sabar. Sabar dalam mengajar, mendidik, dan membimbing. Godaan menjadi guru itu besar sekali.

Saat ini kaum brahmana berada di level yang paling rendah padahal pada masa lalu, kaum brahmana itu manusia luhur yang dipanuti. Brahmana itu ya guru (terlepas dari makna guru secara terminologis dan filosofis), orang-orang yang mengajari kita mengerti kehidupan. Dan kini mereka terjungkal, kata-katanya tak didengarkan. Siapa yang didengarkan?

Sekarang, kebanyakan orang lebih memilih mendengarkan orang yang memiliki uang. Semakin kaya semakin didengarkan. Sekarang, kebanyakan orang lebih memilih memiliki uang dari pada memiliki ilmu pengetahuan. Covernya ia belajar, tapi hatinya mencari kiat menjadi kaya.

Di sinilah guru-guru menghadapi godaannya. Saat orang lain berkendara mewah membelanjakan uang, ia harus berpanas-panasan di ruang kelas mengajarkan calistung. Di saat orang lain makan enak, ia justru tirakat makan ala kadarnya karena gajinya tak cukup untuk membeli daging sekilo. Kalau saja para guru itu tak memahami bahwa dari dalam dirinyalah cahaya Ilahi memancar; bahwa mereka menjadi wakil Adam as. mengenalkan ciptaan-ciptaan Ilahi dan kandungan hikmahnya; maka jatuhlah moralnya.

Tak dipungkiri, banyak pelajar-pelajar saat ini hanya mencari legalitas keilmuan bukan menggali ilmu pengetahuan, mencari angka-angka bukan memaknai nilai-nilai. Pada mulanya, nurani mereka tak menginginkan hal demikian, tetapi orangtua dan lingkungan, tontonan dan pergaulan, memaksanya meredupkan cahya nuraninya sehingga uanglah segala-galanya. Guru yang telah jatuh moralnya akan melihat ini sebagai peluang memperkaya diri.

Maka, saya sering merenungi diri saya sendiri. Sambil merenung sambil berdoa. Rasa-rasanya selama ini saya mengajar tidak baik. Lah, sudah capek-capek mengajar, tapi anak-anak tidak juga pinter. Gregetan tidak juga mencapai standar minimal. Apa yang salah dengan saya? Apa yang salah dengan teman-teman yang senasib dengan saya?

Singkatnya, saya berdiskusi dengan teman dan saya coba reduksi tanggapan beliau. Dari mana kau mengukurnya? Dari angka-angka itu atau dari persepsimu? Atau malah jangan-jangan dari peraturan-peraturan pemerintah?

Menjadi guru adalah menjadi tangan langit. Sedangkan ukuran-ukuran yang dibuat adalah ukuran-ukuran bumi. Seharusnya, dikembalikan kepada langit melalui kepasrahan akan hasilnya. Dan hasil bukan jadi konsern manusia. Yang menjadi konsern manusia adalah prosesnya. Proses yang kontinyulah yang akan menentukan baik buruk manusia menjadi tangan langit. Proses akan putus di tengah jalan kalau tidak dibarengi dengan kesabaran.

Kesabaran seseorang akan tumbuh subur kalau ia mengetahui akar dan sumber masalah yang dihadapi. Mungkin karena kuatnya keyakinan yang ada dalam diri kita kalau orang bekerja maka hasilnya kaya, kalau orang belajar maka hasilnya pintar, sampai-sampai melupakan asal muasal segalanya. Mengapa tidak dimantapkan saja dengan berucap basmalah untuk mengajar yang baik, yang tulus, yang penuh pengharapan dan kepasrahan, lalu menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Mengetahui. Karena kita sudah ditempatkan sebagai guru, maka mendidik dan mengajarlah dengan sebaik-baiknya, karena kita ditempatkan sebagai murid maka belajarlah dengan sebaik-baiknya. Bukan hanya sekedar pintar yang dicari di bangku sekolah. Bukan hanya pintar.

Lalu saya terus berdiam diri lalu berkarya.

Friday, 6 February 2015

Paradoks Sergur: Jam Mengajar yang Musykil

- No comments
Rupanya guru yang telah tersertifikasi harus siap menanggung jam mengajar sebanyak 24 jam tatap muka. Kalau anda mengajar di tingkat SMP maka satu jam pertemuan setara dengan 40 menit. Sedangkan kalau di SMA setara dengan 45 menit. Kalau anda sudah tersertifikasi sebagai guru profesional tetapi tidak mengajar minimal 24 jam tatap muka dalam satu pekan maka anda tidak akan mendapatkan tunjangan sertifikasi. Jadi sanksinya memang itu. Saya tidak tahu apakah ada dampak terhadap keprofesionalan anda yang baru disertifikasi itu atau tidak.
Cukup itu saja pemanasannya.
Setiap awal tahun pelajaran, manajemen sekolah mungkin masih bisa tidur nyenyak karena pembagian jam mengajar didesposisikan kepada wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Maka, wakil kepala sekolah dan  gurulah yang susah tidur. Apa gerangan yang menghambat mata terpejam?
Inilah curhat saya. Saya mulai dari hitung-hitungan rasionalisasi jumlah guru. Sekolah akan menentukan jumlah guru berdasarkan jumlah rombongan belajar. Tapi tidak bisa saklek seperti ini. Seperti ini contohnya: Kami memiliki dua belas kelas. Beraapa jumlah guru IPA yang dibutuhkan. Karena jumlah jam IPA adalah 4, maka jumlah untuk dua belas kelas adalah empat puluh delapan. Artinya kami hanya membutuhkan dua guru saja.
Pada kenyataannya, kami dan mungkin juga sekolah-sekolah lainnya tidak bisa sesaklek ini. Ada hitung-hitungan non-matematis seperti ini yang membuat setiap sekolah harus bermanuver meskipun resikonya juga tidak ringan.
Anggaplah, kami memiliki tiga guru IPA. Tentu sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi terkait dengan sertifikasi. Satu guru bisa mendapatkan dua puluh empat jam mengajar, tapi tidak dengan dua guru lainnya. Kalau mereka mendapatkan panggilan untuk mengikuti UKG dan lulus, manuver apa lagi yang akan dilakukan?
Saya teringat pembicaraan dengan orangtua saya. Pernah ada tamu yang datang ke rumah. Maksud dan tujuannya adalah untuk dapat mengajar di sekolah karena di sekolah asal ia tidak memenuhi dua puluh empat jam. Si tamu datang dari kecematan sebelah yang jarah tempuhnya mencapai 25km. Ini baru satu kasus, ditambah kasus rekaan saya tadi, dan ditambah kasus-kasus lain yang tak terberitakan.
Begitulah, sehingga terjadi saling silang jam mengajar antar instansi hanya untuk mendapatkan jam mengajar. Kalau guru yang bersangkutan tinggal di perkotaan, jarak satu sekolah induk dan sekolah non-induk tidaklah jauh, mungkin guru masih memiliki energi untuk mendidik, mengajar, membimbing siswa-siswinya dengan energi positif, bukan sisa-sisa. Tapi bagaimana dengan sekolah-sekolah yang ada di luar kota?
Maka ikhlaskanlah untuk tidak mengikuti sertifikasi guru. Bukan karena tidak mau dinilai keprofesionalannya, tetapi untuk menghindari kekaprahan yang telah jamak terjadi di instansi pendidikan ini.
Sesekali dalam momen mengajar, bawalah kamera atau telepon genggam untuk merekam atau menfoto kegiatan anak-anak. Cetaklah ke dalam ukuran yang wajar, postcard misalnya. Ketika lelah lihatlah wajah mereka. Mungkin akan ada energi yang bisa diserap. Bagaimanapun juga, kelak mereka yang akan membawa anak-anak biologis kita.
Februari 2015

Thursday, 5 February 2015

Paradoks Sergur: Permainan Jam Mengajar

- No comments

Beberapa hari belakangan saya perhatikan ada peningkatan aktifitas di sekolah. Guru-guru kok mempercepat langkah kaki mereka bolak-balik dari meja kerjanya ke perpustakaan, dari main office ke ruang kepala sekolah. Yang seperti ini jarang terjadi. Saya jadi tambah heran dan gemas.
 
Kepala sekolah mendatangi saya lalu berpesan, nanti kalau ada guru yang minta izin keluar untuk mengurus PPGJ tolong dilihat dulu ada jam mengajar atau tidak. Wah, instruksi pak Kepsek ini menjadi jawaban dari keheranan saya. Pantes saja. Karena yang lalu-lalu, kalau akan ada Moneva aktifitas guru tidak meningkat seperti ini. Tapi ya tetap sibuk mempersiapkan diri.
Jadi, bulan ini akan ada dua agenda penting: Moneva dan PPGJ.
 
Dinas pendidikan di tempat saya mengajar memprogramkan kegiatan Moneva (Monitoring dan Evaluasi) untuk sekolah-sekolah swasta di semester genap. Mereka akan melihat pelaksanaan pembelajaran melalui evaluasi delapan standar pendidikan nasional. Kegiatan Moneva tidak seketat agreditasi. Setidaknya kalau penilaian moneva ini bagus maka untuk agreditasi tahun ajaran 2015—2016 mendatang kami sudah mengerti mana yang mesti diperbaiki dan dipertahankan.
 
Saya sedikit ragu kalau Moneva ini akan berjalan maksimal karena konsentrasi guru tidak hanya fokus mempersiapkannya tapi juga fokus memenuhi PPGJ (Pelatihan Profesi Guru dalam Jabatan). Tidak semua guru masuk dalam daftar PPGJ tapi jumlahnya cukup lumayan kalau mereka –pada saat yang bersamaan—pamit meninggalkan sekolah untuk ngurusi administrasi PPGJ.

Sertifikasi Guru Profesional
Bagi guru, mendapatkan sertifikat guru profesional adalah titik penting dalam karirnya sebagai guru. Keberadaannya diakui oleh negara. Begitu pula kompetensinya. Karena untuk mendapatkan sertifikat itu guru harus mengikuti serangkaian penyaringan dan tes. Ia harus sudah sekian tahun menjadi guru. Dalam sekian tahun menjadi guru pun ia memenuhi tugas pokok administrasi guru yang dua puluh dua itu. Juga mengikuti tes menggunakan sistem computer based. Sehingga, ketika lulus dan mendapatkan sertifikat seolah-olah ada statemen: Aku bukan sekedar pengabdi kehidupan tapi juga seorang guru profesional. Dan mendapatkan tunjangan dari pemerintah.

Pemerintah tampak serius menopang kehidupan guru di negeri ini. Kisah-kisah seperti guru Umar Bakri semoga tak terdengar lagi kelak. Guru benar-benar menjadi garda depan pembangunan bangsa karena di tangan mereka ilmu pengetahuan diwariskan. Guru benar-benar menjadi profesi yang sepadan sehingga untuk menghidupi keluarga dan memenuhi kebutuhannya mereka tak perlu lagi lompat lapangan pekerjaan.
 
Makanya, pada fase-fase pertama kelahiran ‘sertifikasi guru’ pemerintah mendahulukan guru-guru yang puluhan tahun mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan. Lalu saringan itu diperketat, diperketat, dan terus diperketat. Kalau terus-terusan longgar, tidak menutup kemungkinan sertifikasi guru akan salah sasaran. Hhmm, bukan sertifikasinya yang salah sasaran tapi tunjangan sertifikasi guru yang jadi rebutan.

Permasalahan yang timbul di sekolah saya 
Di sinilah kemudian saya merasa musykil. Untuk mendapatkan sertifikat guru profesional justru tidak diimbangi dengan langkah-langkah yang profesional. Pasalnya, data yang ambil oleh pemerintah adalah data online yang diinput tahun lalu dan pada saat itu guru-guru yang bersangkutan adalah tenaga pendidik di SMP. Sekarang sebagaian guru itu mengajar di SMA.
 
Bagaimanapun juga, menjadi peserta PPGJ adalah hak guru. Mereka diundang oleh pemerintah. Tidak ada hak sama sekali dari sekolah untuk menghalang-halangi mereka. Yang perlu dipegang adalah norma. Norma untuk menghormati aturan-aturan sekolah dan aturan-aturan pemerintah.
 
Makanya, saya merevisi Surat Keputusan Kepala Sekolah tentang pembagian jam mengajar guru sehingga beberapa teman yang mengajar di SMA itu terdaftar sebagai guru SMP. Langkah pendek ini bukan tanpa resiko karena kalau teman-teman lulus PPGJ maka harus dilakukan semacam ‘resuffle’ tugas mengajar. Dampak perubahan seperti ini berimbas pada atmosfir hubungan guru.
 
Ternyata permasalah di atas bukan permasalahan satu-satunya. Pada hari selanjutnya datang beberapa guru mata pelajaran yang tidak memenuhi jumlah jam mengajar. (FYI: Guru profesional harus mengajar minimal 24 jam tatap muka). Luba-lubi, meminta ini itu, lalu jadilah mereka mendapatkan 24 jam mengajar tatap muka. Bagaimana bisa? Caranya adalah saling-silang guru mata pelajaran, meminta atau mungkin merebut jam mengajar. Secara de jure sah mendapatkan 24 jam mengajar, tetapi de facto tidak.
 
Semua jadi musykil. Perihal yang tadinya untuk kebaikan berubah menjadi begitu semrawut. Alih-alih ingin menjadi guru tersertifikasi, peningkatan pedagogik, profesionalisme, personal, dan sosial sedikit sekali mendapat perhatian. Indikasinya adalah saat pelaksanaan Moneva. Semua administrasi guru dikerjakan secara spontanitas. Ada yang salah menghitung jam perpekan ada pula yang salah menulis institusi tempat mengajar.
 
Tidak hanya musykil tapi juga naif. Kenaifan yang tak bisa saya ungkapkan secara gamblang di sini. Semoga bisa menjadi pembelajaran.

Februari 2015