Gambar: maspaeng.blogspot.com |
Mendidik membutuhkan kesabaran yang tinggi. Begitu pula untuk menjadi orang yang terdidik. Sudah banyak loh metode mengajar ditemukan, dipaparkan, dan diseminarkan. Datanglah ke toko buku terdekat dan tengoklah etalase bagian pendidikan. Puluhan buku dengan berbagai judul yang membahas teori pendidikan termutakhir. Banyak kan?
Memiliki tekad yang kuat tidaklah cukup sebagai modal. Seorang pendidik semestinya memiliki kekayaan lain sehingga ia mampu menjadi pembimbing bagi para muridnya. Kemampuan pedagogik yang baik, profesional dalam menjalankan profesinya, memiliki hubungan yang baik dengan rekan sejawat, dan ‘inner beauty’ yang matang sebagai seorang pendidik.
Hmm, saya pingin pamer sebentar. Sejak kecil saya sudah terlibat dalam pendidikan. Semasa sekolah di tingkat menengah sudah membantu orangtua untuk membimbing adik-adik di TPA. Meskpun bukan bergelar sarjana pendidikan untungnya saya ditakdirkan menjadi pendidik. Pernah mengajar di sekolah dasar sampai menengah atas. Kalau dinilai dari sisi profesionalisme guru, tentu saya berada di tempat yang sangat jauh untuk menjadi guru profesional. Tetapi saya belajar banyak sekali dari pengalaman itu.
Saya mengenal teman-teman saya adalah guru yang profesional. Mulai dari latar belakang kependidikannya sebagai guru sampai pada ketuntasan administrasi guru. saya kalah telak. Makanya saya belajar banyak dari teman-teman saya. Saya belajar cara membuat perangkat pembelajaran, cara mengevaluasi pencapaian siswa, cara menghadapai walimurid yang gundah gulana, dan masih banyak lagi. Tapi masalah satu ini saya belajar dari sang guru saya.
Yang saya maksud dengan ‘satu ini’ adalah tentang kesabaran. Hmm, menjadi guru harus sabar. Sabar dalam mengajar, mendidik, dan membimbing. Godaan menjadi guru itu besar sekali.
Saat ini kaum brahmana berada di level yang paling rendah padahal pada masa lalu, kaum brahmana itu manusia luhur yang dipanuti. Brahmana itu ya guru (terlepas dari makna guru secara terminologis dan filosofis), orang-orang yang mengajari kita mengerti kehidupan. Dan kini mereka terjungkal, kata-katanya tak didengarkan. Siapa yang didengarkan?
Sekarang, kebanyakan orang lebih memilih mendengarkan orang yang memiliki uang. Semakin kaya semakin didengarkan. Sekarang, kebanyakan orang lebih memilih memiliki uang dari pada memiliki ilmu pengetahuan. Covernya ia belajar, tapi hatinya mencari kiat menjadi kaya.
Di sinilah guru-guru menghadapi godaannya. Saat orang lain berkendara mewah membelanjakan uang, ia harus berpanas-panasan di ruang kelas mengajarkan calistung. Di saat orang lain makan enak, ia justru tirakat makan ala kadarnya karena gajinya tak cukup untuk membeli daging sekilo. Kalau saja para guru itu tak memahami bahwa dari dalam dirinyalah cahaya Ilahi memancar; bahwa mereka menjadi wakil Adam as. mengenalkan ciptaan-ciptaan Ilahi dan kandungan hikmahnya; maka jatuhlah moralnya.
Tak dipungkiri, banyak pelajar-pelajar saat ini hanya mencari legalitas keilmuan bukan menggali ilmu pengetahuan, mencari angka-angka bukan memaknai nilai-nilai. Pada mulanya, nurani mereka tak menginginkan hal demikian, tetapi orangtua dan lingkungan, tontonan dan pergaulan, memaksanya meredupkan cahya nuraninya sehingga uanglah segala-galanya. Guru yang telah jatuh moralnya akan melihat ini sebagai peluang memperkaya diri.
Maka, saya sering merenungi diri saya sendiri. Sambil merenung sambil berdoa. Rasa-rasanya selama ini saya mengajar tidak baik. Lah, sudah capek-capek mengajar, tapi anak-anak tidak juga pinter. Gregetan tidak juga mencapai standar minimal. Apa yang salah dengan saya? Apa yang salah dengan teman-teman yang senasib dengan saya?
Singkatnya, saya berdiskusi dengan teman dan saya coba reduksi tanggapan beliau. Dari mana kau mengukurnya? Dari angka-angka itu atau dari persepsimu? Atau malah jangan-jangan dari peraturan-peraturan pemerintah?
Menjadi guru adalah menjadi tangan langit. Sedangkan ukuran-ukuran yang dibuat adalah ukuran-ukuran bumi. Seharusnya, dikembalikan kepada langit melalui kepasrahan akan hasilnya. Dan hasil bukan jadi konsern manusia. Yang menjadi konsern manusia adalah prosesnya. Proses yang kontinyulah yang akan menentukan baik buruk manusia menjadi tangan langit. Proses akan putus di tengah jalan kalau tidak dibarengi dengan kesabaran.
Kesabaran seseorang akan tumbuh subur kalau ia mengetahui akar dan sumber masalah yang dihadapi. Mungkin karena kuatnya keyakinan yang ada dalam diri kita kalau orang bekerja maka hasilnya kaya, kalau orang belajar maka hasilnya pintar, sampai-sampai melupakan asal muasal segalanya. Mengapa tidak dimantapkan saja dengan berucap basmalah untuk mengajar yang baik, yang tulus, yang penuh pengharapan dan kepasrahan, lalu menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Mengetahui. Karena kita sudah ditempatkan sebagai guru, maka mendidik dan mengajarlah dengan sebaik-baiknya, karena kita ditempatkan sebagai murid maka belajarlah dengan sebaik-baiknya. Bukan hanya sekedar pintar yang dicari di bangku sekolah. Bukan hanya pintar.
Lalu saya terus berdiam diri lalu berkarya.
Memiliki tekad yang kuat tidaklah cukup sebagai modal. Seorang pendidik semestinya memiliki kekayaan lain sehingga ia mampu menjadi pembimbing bagi para muridnya. Kemampuan pedagogik yang baik, profesional dalam menjalankan profesinya, memiliki hubungan yang baik dengan rekan sejawat, dan ‘inner beauty’ yang matang sebagai seorang pendidik.
Hmm, saya pingin pamer sebentar. Sejak kecil saya sudah terlibat dalam pendidikan. Semasa sekolah di tingkat menengah sudah membantu orangtua untuk membimbing adik-adik di TPA. Meskpun bukan bergelar sarjana pendidikan untungnya saya ditakdirkan menjadi pendidik. Pernah mengajar di sekolah dasar sampai menengah atas. Kalau dinilai dari sisi profesionalisme guru, tentu saya berada di tempat yang sangat jauh untuk menjadi guru profesional. Tetapi saya belajar banyak sekali dari pengalaman itu.
Saya mengenal teman-teman saya adalah guru yang profesional. Mulai dari latar belakang kependidikannya sebagai guru sampai pada ketuntasan administrasi guru. saya kalah telak. Makanya saya belajar banyak dari teman-teman saya. Saya belajar cara membuat perangkat pembelajaran, cara mengevaluasi pencapaian siswa, cara menghadapai walimurid yang gundah gulana, dan masih banyak lagi. Tapi masalah satu ini saya belajar dari sang guru saya.
Yang saya maksud dengan ‘satu ini’ adalah tentang kesabaran. Hmm, menjadi guru harus sabar. Sabar dalam mengajar, mendidik, dan membimbing. Godaan menjadi guru itu besar sekali.
Saat ini kaum brahmana berada di level yang paling rendah padahal pada masa lalu, kaum brahmana itu manusia luhur yang dipanuti. Brahmana itu ya guru (terlepas dari makna guru secara terminologis dan filosofis), orang-orang yang mengajari kita mengerti kehidupan. Dan kini mereka terjungkal, kata-katanya tak didengarkan. Siapa yang didengarkan?
Sekarang, kebanyakan orang lebih memilih mendengarkan orang yang memiliki uang. Semakin kaya semakin didengarkan. Sekarang, kebanyakan orang lebih memilih memiliki uang dari pada memiliki ilmu pengetahuan. Covernya ia belajar, tapi hatinya mencari kiat menjadi kaya.
Di sinilah guru-guru menghadapi godaannya. Saat orang lain berkendara mewah membelanjakan uang, ia harus berpanas-panasan di ruang kelas mengajarkan calistung. Di saat orang lain makan enak, ia justru tirakat makan ala kadarnya karena gajinya tak cukup untuk membeli daging sekilo. Kalau saja para guru itu tak memahami bahwa dari dalam dirinyalah cahaya Ilahi memancar; bahwa mereka menjadi wakil Adam as. mengenalkan ciptaan-ciptaan Ilahi dan kandungan hikmahnya; maka jatuhlah moralnya.
Tak dipungkiri, banyak pelajar-pelajar saat ini hanya mencari legalitas keilmuan bukan menggali ilmu pengetahuan, mencari angka-angka bukan memaknai nilai-nilai. Pada mulanya, nurani mereka tak menginginkan hal demikian, tetapi orangtua dan lingkungan, tontonan dan pergaulan, memaksanya meredupkan cahya nuraninya sehingga uanglah segala-galanya. Guru yang telah jatuh moralnya akan melihat ini sebagai peluang memperkaya diri.
Maka, saya sering merenungi diri saya sendiri. Sambil merenung sambil berdoa. Rasa-rasanya selama ini saya mengajar tidak baik. Lah, sudah capek-capek mengajar, tapi anak-anak tidak juga pinter. Gregetan tidak juga mencapai standar minimal. Apa yang salah dengan saya? Apa yang salah dengan teman-teman yang senasib dengan saya?
Singkatnya, saya berdiskusi dengan teman dan saya coba reduksi tanggapan beliau. Dari mana kau mengukurnya? Dari angka-angka itu atau dari persepsimu? Atau malah jangan-jangan dari peraturan-peraturan pemerintah?
Menjadi guru adalah menjadi tangan langit. Sedangkan ukuran-ukuran yang dibuat adalah ukuran-ukuran bumi. Seharusnya, dikembalikan kepada langit melalui kepasrahan akan hasilnya. Dan hasil bukan jadi konsern manusia. Yang menjadi konsern manusia adalah prosesnya. Proses yang kontinyulah yang akan menentukan baik buruk manusia menjadi tangan langit. Proses akan putus di tengah jalan kalau tidak dibarengi dengan kesabaran.
Kesabaran seseorang akan tumbuh subur kalau ia mengetahui akar dan sumber masalah yang dihadapi. Mungkin karena kuatnya keyakinan yang ada dalam diri kita kalau orang bekerja maka hasilnya kaya, kalau orang belajar maka hasilnya pintar, sampai-sampai melupakan asal muasal segalanya. Mengapa tidak dimantapkan saja dengan berucap basmalah untuk mengajar yang baik, yang tulus, yang penuh pengharapan dan kepasrahan, lalu menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Mengetahui. Karena kita sudah ditempatkan sebagai guru, maka mendidik dan mengajarlah dengan sebaik-baiknya, karena kita ditempatkan sebagai murid maka belajarlah dengan sebaik-baiknya. Bukan hanya sekedar pintar yang dicari di bangku sekolah. Bukan hanya pintar.
Lalu saya terus berdiam diri lalu berkarya.