Rupanya guru yang telah tersertifikasi harus siap menanggung jam mengajar sebanyak 24 jam tatap muka. Kalau anda mengajar di tingkat SMP maka satu jam pertemuan setara dengan 40 menit. Sedangkan kalau di SMA setara dengan 45 menit. Kalau anda sudah tersertifikasi sebagai guru profesional tetapi tidak mengajar minimal 24 jam tatap muka dalam satu pekan maka anda tidak akan mendapatkan tunjangan sertifikasi. Jadi sanksinya memang itu. Saya tidak tahu apakah ada dampak terhadap keprofesionalan anda yang baru disertifikasi itu atau tidak.
Cukup itu saja pemanasannya.
Setiap awal tahun pelajaran, manajemen sekolah mungkin masih bisa tidur nyenyak karena pembagian jam mengajar didesposisikan kepada wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Maka, wakil kepala sekolah dan gurulah yang susah tidur. Apa gerangan yang menghambat mata terpejam?
Inilah curhat saya. Saya mulai dari hitung-hitungan rasionalisasi jumlah guru. Sekolah akan menentukan jumlah guru berdasarkan jumlah rombongan belajar. Tapi tidak bisa saklek seperti ini. Seperti ini contohnya: Kami memiliki dua belas kelas. Beraapa jumlah guru IPA yang dibutuhkan. Karena jumlah jam IPA adalah 4, maka jumlah untuk dua belas kelas adalah empat puluh delapan. Artinya kami hanya membutuhkan dua guru saja.
Inilah curhat saya. Saya mulai dari hitung-hitungan rasionalisasi jumlah guru. Sekolah akan menentukan jumlah guru berdasarkan jumlah rombongan belajar. Tapi tidak bisa saklek seperti ini. Seperti ini contohnya: Kami memiliki dua belas kelas. Beraapa jumlah guru IPA yang dibutuhkan. Karena jumlah jam IPA adalah 4, maka jumlah untuk dua belas kelas adalah empat puluh delapan. Artinya kami hanya membutuhkan dua guru saja.
Pada kenyataannya, kami dan mungkin juga sekolah-sekolah lainnya tidak bisa sesaklek ini. Ada hitung-hitungan non-matematis seperti ini yang membuat setiap sekolah harus bermanuver meskipun resikonya juga tidak ringan.
Anggaplah, kami memiliki tiga guru IPA. Tentu sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi terkait dengan sertifikasi. Satu guru bisa mendapatkan dua puluh empat jam mengajar, tapi tidak dengan dua guru lainnya. Kalau mereka mendapatkan panggilan untuk mengikuti UKG dan lulus, manuver apa lagi yang akan dilakukan?
Saya teringat pembicaraan dengan orangtua saya. Pernah ada tamu yang datang ke rumah. Maksud dan tujuannya adalah untuk dapat mengajar di sekolah karena di sekolah asal ia tidak memenuhi dua puluh empat jam. Si tamu datang dari kecematan sebelah yang jarah tempuhnya mencapai 25km. Ini baru satu kasus, ditambah kasus rekaan saya tadi, dan ditambah kasus-kasus lain yang tak terberitakan.
Begitulah, sehingga terjadi saling silang jam mengajar antar instansi hanya untuk mendapatkan jam mengajar. Kalau guru yang bersangkutan tinggal di perkotaan, jarak satu sekolah induk dan sekolah non-induk tidaklah jauh, mungkin guru masih memiliki energi untuk mendidik, mengajar, membimbing siswa-siswinya dengan energi positif, bukan sisa-sisa. Tapi bagaimana dengan sekolah-sekolah yang ada di luar kota?
Maka ikhlaskanlah untuk tidak mengikuti sertifikasi guru. Bukan karena tidak mau dinilai keprofesionalannya, tetapi untuk menghindari kekaprahan yang telah jamak terjadi di instansi pendidikan ini.
Sesekali dalam momen mengajar, bawalah kamera atau telepon genggam untuk merekam atau menfoto kegiatan anak-anak. Cetaklah ke dalam ukuran yang wajar, postcard misalnya. Ketika lelah lihatlah wajah mereka. Mungkin akan ada energi yang bisa diserap. Bagaimanapun juga, kelak mereka yang akan membawa anak-anak biologis kita.
Februari 2015
0 on: "Paradoks Sergur: Jam Mengajar yang Musykil"