Aku terlahir dan tumbuh di sebuah desa. Yang kuingat dua puluh lima tahun silam, ketika mulai kumasuki masa-masa remaja, adalah embun yang membutir di atas dedaunan bunga-bunga di depan rumah, rumput jepang yang memaku telapak kaki telanjang, puncak gunung dan perbukitan yang berselimut awan salju, suara eyang bungkuk mengumandangkan tilawah pagi.
Ketika fajar menyingsing aku harus sudah membersihkan halaman, membuang dedaunan yang gugur diterpa angin malam atau rontok karena sambaran kelelawar, mematikan lampu dian yang hitam menjelaga.
Sedangkan di jalan yang lama tak ditambal jua anak-anak, yang entah karena kesadarannya atau takut pada cambuk orangtuanya, pulang belajar membaca huruf-huruf bangsa Semitik, tak takut pada anjing yang pulang berburu anak ayam atau kelinci, tak bergeming oleh dingin yang menyergap bersama kabut.
Lalu aku pergi dan kini kumerindukannya.
Aku ingat pula ketika musim panen sebagian dari kami bermain layang-layang di sawah dengan leluasa, mencari jamur di tumpukan damen yang basah dan lembab, atau membakarnya begitu saja hingga asapnya yang kuning tebal tak memberi celah untuk melihat siapa di seberang sana.
Dan desaku terus tumbuh. Ekonomi terus tumbuh. Seperti yang dinyanyikan Iwan Fals, desa adalah kekuatan ekonomi. Padi, kopi, kakau, cabe, sawi, tomat, dan hasil bumi lainnya menghidupi warga. Ketika Rajaban atau Maulidan, yang tersaji di atas piring adalah makanan-makan hasil bumi sendiri, hasil tangan sendiri, yang berbeda nada berbeda suara (baca: beda bentuk beda rasa).
Aku seperti sekarang ini adalah buah dari ketelatenan orangtua menyisihkan uang untuk belajar. Begitu juga dengan teman-teman sebayaku yang pergi meninggalkan kampung halaman, menuntut ilmu dengan iringan doa para tetua. Ketika satu persatu para pengembara itu kembali, aku tetap belum berani menampakkan diri.
Mereka sangat berani dengan keyakinan yang tinggi. Menjunjung ilmu pengetahuan sebagai cahya dari ilahi takkan menjadikannya mati terkapar lagi kelaparan di muka bumi. Anugerah-Nya akan menetes dari awan yang ada di atas kepalanya, terjatuh di atas tanah tepat di depan kakinya berpijak. Ketulusan yang semakin tersamarkan belakangan ini.
Aku paham nilai-nilai itu. Derma dan anugerah memang datang beriringan tapi tak selalu harus bersatu. Bekerja dan menghasilkan uang sering datang bersamaan tapi tak selalu harus datang beriringan. Belajar dan kepintaran memang sering datang berdampingan tapi tak selalu harus datang bergandengan.
Aku terlalu sering melihat orang-orang modernis, orang-orang kapitalis, orang-orang borjuis yang dalam keberuntungannya yang melimpah lalu beranggapan bahwa tiada yang lebih berarti dari rupiah. Perlahan menjalar ke setiap urat saraf para pelajar.
Aku rindu kampungku. Aku rindu kemesraan dan kepolosannya seperti waktu itu.
Atau mungkin karena aku masih terlalu lugu.
April 2014
0 on: "Gusti Pangeran dan Sepercik Kemesraan"