ALAM mensabdakan hujan. Seperti dalam kesempatan yang berbeda ia mensabdakan kemarau, senja, dan terkadang duka. Gemericik air dari talang rumah, atau kodok yang kegirangan di pinggir sungai, dalam sekejap mampu membawa kenangan yang telah lama terpendam. Yang entah karena kesibukan atau karena suasana baru secara mengherankan ia terlupakan. Lalu untuk membangkitkannya ternyata hanya membutuhkan bunyi gemericik air hujan.
Siapapun boleh menafsirkan air hujan yang menggelitik atap rumahmu.
Seperti Shada yang diberhentikan oleh hujan lebat singgah ke rumah ibadah yang di dinding-dindingnya tertulis nama Allah. Ia singgah karena memang benar-benar singgah, bukan karena terpanggil untuk menjalankan ibadah. Ia sudah lama meninggalkannya yang mungkin orang-orang di sekitarnya mengatainya bahwa kekayaan telah membuatnya buta. Tapi setidaknya, hujan ini seperti sedang menghantarkannya pada rumah yang telah lama hilang.
Tepatnya kemarin sore, di tengah perjalan pulang langit menghitam di sepanjang jalan. Tak ada jaminan hujan mampu menahan diri untuk tak turun sebelum Shada sampai rumah. Tak dapat pula ia menahan diri untuk keadaan yang tak pasti seperti ini. Tekad. Maka ia pun beranjak. Di pucuk bukit matahari benar-benar telah disekap. Awan hitam di atasnya hanya menyisakan cahaya temaram. Dan sesekali seperti ada yang marah di balik awan hitam itu karena gemuruh membuat siapapun menjadi ngeri. Orang-orang dibuat kerdil oleh kilatan perak yang kemerahan. Tapi mana mungkin ia berhenti di sini?
Mungkin saja. Hujan telah menghentikan Shada dan ia tak mampu berbuat apa-apa. Hujan tak hanya mendinginkan mesin motor yang di parkir di depan masjid. Asap putih menyembul dari bagian mesin kendaraan—Itu uap dari air hujan menyirami knalpot. Juga sepatu pantopel hitam yang sudah penuh menampung hujan. Shada masih tak bisa berbuat banyak. Sama halnya dengan knopi teras yang besi-besi penyanggahnya mulai keropos. Ia tak lagi mampu menahan hujan menggerayangi muka tubuhnya lalu mengalir melalui serat-serat yang mulai bersela dan menetes tepat di kepalaku.
Setelah hampir setengah jam riuh hujan yang berjatuhan di atas knopi mulai menunjukkan tanda-tanda mereda. Seiring bunyi rintik yang mensunyi dari dalam masjid terdengar riuh lainnya. O, itu bukan riuh tapi koor anak-anak yang duduk memangku turutan baca Alquran.
Di masjid itu, puluhan anak belum baligh ikut berjamaah, lebih banyak dari orang dewasa yang ikut berjamaah. Usai imam shalat membaca doa, anak-anak itu menyalami jamaah lainnya lalu menuju serambi masjid. Anak laki-laki duduk di sebelah selatan dan anak perempuan duduk di sebelah utara. Mereka menyandang kitab tuntunan baca Alquran, ada pula yang membuka Alquran.
Belum ada guru ngaji yang duduk di antara mereka, tapi mereka sudah memulai majlis mereka dengan membaca Al-Fatihah dan beberapa surat pendek lainnya. Shada masih mengamati mereka dari dalam. Melihat mereka yang tadarrus sendiri-sendiri untuk melancarkan bacaan sebelum menghadap guru ngaji.
Shada merasa takjub. Di saat anak-anak lainnya di luar sana berasik ria menonton kartun atau bercengkrama dengan orang tua, justru belasan anak belum baligh itu terbata-bata mempelajari kitab agama. Saat anak-anak seumuran mereka bergulat dengan asiknya teknologi dan keramaian, mereka menyepi melawan keingin mereka sendiri untuk lebih memilih mendekatkan diri pada Ilahi.
Hujan masih rintik-rintik tapi Shada harus pulang sambil terus merenungkan mereka. Semoga mereka mampu bertahan, meskipun di luar sana semakin ramai, semakin riuh. Tapi keramaian dan keriuhan pasti akan menjemukan. Semoga mereka tetap bertahan, meskipun hujan kerap menjadi penghalang. Shada membatin dalam doa.
Oktober 2012
0 on: "SHADA DAN GEMERICIK DALAM MASJID"