Tuesday, 19 May 2015

RUSMINI


Karena dorongan yang sangat -berasal dari kegelisahan dan harapan- Rusmini berpamitan. Anggrek, mawar, bunga sepatu, dan bunga-bunga lainnya yang tumbuh di pot-pot harus bersiap diri merindukan sentuhan Surmini. Siapapun yang akhirnya menyiram, memupuk, memotong tunas pengganggu, tentu akan dirasa tak selembut tangan Surmini. Surmini -pada senja yang pilu- berucap pada bunga, saya akan kembali.

Kepergiannya tidaklah seberapa. Hanya sebuah pencarian untuk memenuhi jiwanya yang momplong.

Maka ketika Rusmini ditawari untuk menjaga kasir sebuah warung internet ia mengiyakan. Dari sanalah ia bertemu Raden. Lelaki yang dirasa Rusmini bisa memengisi separuh jiwanya itu.

Rusmini mendambakan ketentraman. Di saat teman-teman sebayanya bisa memenuhi kehampaan seperti yang ia rasakan maka Rusmini pun memutuskan untuk mengakhirinya. Saya harus segera menikah. Gumam Rusmini. Keputusan menikah bukan keputusan sembarangan. Ia telah mendapat nasehat dan perenungan. Toh, teman-temannya -termasuk wejangan orangtuanya sendiri- mengiming-imingi.

Dan Rusmini yang tinggal di kamar kost seperti menerima jawaban doa-doanya ketika bertemu Raden. Apalagi Raden memiliki kematangan dan kedewasaan. Sehingga ketika Raden menyatakan cinta Rusmini pun mengiyakan.

Cinta terjalin rapi antara keduanya. Rusmini ingin dicintai, Raden sudi mencintai.

Tapi Raden terkesima, tak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Mas cari perempuan lain saja, saya urung menikah. Kata Rusmini.

Bagaimana bisa kau bilang begitu? Raden kalap. Bukankah sejak awal mereka sudah komit bahwa hubungan mereka akan berakhir pada labuhan pernikahan. Sepuluh kali Raden meminta penjelasan sepuluh kali pula Rusmini menjelaskan dengan diam... Dan tangis.

Maafkan aku mas. Sayangnya permintaan maaf itu hanya terucap di hati.

Ruang lebar, meskipun pepohonan tampak menjulang di sana sini namun cakrawala masih bisa ditangkap mata. Dan Masih tersisa banyak untuk dimasukkan semua ke dalam kornea. Namun tidak di sini, di kota, yang jangan angin sejuk, cakrawala pun sudah habis direnggut. Setiap ruang dipenuhi batu pondasi. Meskipun tidak kunjung selesasi yang penting sudah ada pondasi. Sehingga tidak ada lagi ruang sisa. Semuanya menyempit. Sialnya, Rusmini tinggal di sana.

Tetangganya tanpa diminta sering memberi pertunjukan. Sebuah kemasan. Sialnya lagi pas malam hari. Suara dampratan, makian, dan sesekali meludah. Rusmini tidak menolak untuk tidak mendengar itu. Suami macam apa dia ini. Tidakkah terenyuh mendengar isak tangis isterinya yang mencekik itu, atau tersentuh sedikit saja permohonan ampun dari bibir yang telah mamar itu.

Di situ Rusmini berdiri. Mendengar dan menyaksikan. Dan semua itu melahirkan kengerian di batinnya. Lalu bertanya-tanya. Apakah bapak pernah melakukan hal sama kepada ibu. Mungkin tidak, karena Rusmini selalu melihat ibunya bahagia. Setidaknya di depannya.

Kalau ibu mungkin pernah menjadi korban seperti itu berarti Rusmini pun punya peluang mendapat perlakuan yang sama.

Rusmini menjadi gamang.

Ketika ia harus mengucapkan perpisahan kepada Raden batinnya pun menjerit. Lebih baik menjerit sekarang dari pada perih nantinya.

Dan ia teringat pada bunga-bunganya. Indahnya melihat bunga. Indahnya menjadi bunga. Ya... Menjadi bunga kota.

2011
[full_width]

0 on: "RUSMINI"