Langit Kresna Hariadi (LKH) sangat piawai dalam memberikan gambaran
sejarah fiksi. Momentum sejarah Indonesia yang luar biasa kembali
dikemas dalam tutur sastra. Sehingga muncul pertanyaan tentang
objektivitas dan validitas data yang terdapat di buku ini.
Memang,
ini adalah fiksi. Deskripsi yang terdapat di dalamnya tidak bisa
ditelan mentah-mentah begitu saja, diharuskan untuk membandingkan
kenyataan sejarah, sebagaimana yang terdapat dalam pengantar bukunya
yang ke-2, LKH mengakui adanya beberapa kesalahan fakta sejarah. Bagi
penikmat fiksi -bukan bagi penikmat sastra, sejarawan, dan kritikus-
yang hanya mencari hiburan, apakah kesalahan ini dimaklumi?
Bagi
saya, itu tidak bisa. Karena disadari atau tidak, fiksi sejarah yang
ditulis dengan mengesampingkan fakta sejarah akan mengubah histori itu
dan -ditakutkan- bahwa kebenaran sejarah tersebut terletak pada novel
fiksi itu.
Sejarah -bagi beberapa orang- memang tergantung pada
siapa yang menulis sejarah tersebut, yang ingin mencari enaknya sendiri
untuk kepentingan pribadi. Namun bagi saya, LKH kok kayaknya tidak punya
ambisi itu ya?
Keperkasaan yang luar biasa yang dimiliki Gajah
Mada dan pasukan Bhayangkara di dalam novel ini akan menumbuhkan mitos
baru dan mengukuhkan mitos lama tentang kedigayaan seorang Gajah Mada
yang hanya seorang Bekel dan meningkat karirnya menjadi seorang
Mahapatih Majapahit. Mitos dan pengelu-eluan itu terlihat pada pasukan
khusus tentara kita yang juga diberi nama sama dengan Bhayangkara.
Lalu bagaimana sikap pembaca?
Tentu
saja setiap pembaca memiliki penilaian masing-masing dalam
mengapresiasi karya sastra. Bagi saya sendiri, Gajah Mada dan juga
buku-buku yang selanjutnya adalah buku yang dipenuhi dengan pelajaran
yang menarik untuk diambil contoh dalam mempertahankan keyakinan,
ketelitian, perhitungan langkah, dan piuritas ambisi.
Awalnya saya benci buku ini, tapi nyatanya saya telah membeli seri berikutnya. Mampus deh gue.**
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 on: "Gajah Mada dalam Guratan Prosa"