Thursday, 18 June 2015

Mengurangi Potensi Menjadi Orang yang Merugi



Dalam kancah pewayangan di muka bumi ini, masing-masing dari kita punya peran yang sama penting. Ada yang berperan jadi tuan, ada pula yang jadi hamba. Suatu masa berperan jadi anak, di masa yang lain berperan sebagai orangtua. Dan kalau mau meneliti satu demi satu, dari satu komposisi hidup berpindah ke komposisi lainnya kita menyandang peran yang secara otomatis melekat seperti baju.

Peranan itu bukan peran main-main sehingga kalau dijalankan dengan cara yang main-main imbasnya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga merambat kepada kosmos kehidupan.

Bayangkan kalau kamu seorang guru yang mengajar siswa-siswimu tidak dengan kesungguhan membimbing, mengayomi, mendidik, dan menyampaikan ilmu pengetahuan. Kamu berangkat pagi-pagi sekedar untuk absen di sekolah, menyampaikan pelajaran dengan serampangan, senyum sumringah ketika gajian datang. Kira-kira, produk yang dihasilkan adalah generasi masyarakat yang tak jauh berbeda dengan gurunya. Seharusnya transfer yang terjadi di dalam kelas bukan sekedar definisi ilmu pengetahuan, tetapi juga serat-serat energi yang menjalankan kehidupan. Kalau serat-serat ini diputus atau disambung dengan cara yang tidak benar, maka akan terjadi konsleting.

Ini contoh dari lingkungan sekolah. Bagaimana kalau ditambah dengan konsleting yang ditimbulkan oleh orangtua, oleh teman sebaya, oleh lingkungan? Jangan salah kalau suatu nanti akan terjadi pemadaman cahya kehidupan karena tidak ada lagi energi yang mengalir dengan benar: orang-orang bekerja penuh pamrih, kehormatan orangtua diinjak-injak oleh anaknya sendiri, kasih sayang tidak ada lagi ruhnya.


Kita, disadari atau tidak, adalah produk masa lalu, buah dari peranan-peranan yang telah dijalani oleh orangtua, pemimpin, imam-imam, ustadz, kiai, dan guru kita. Protes atas keadaan saat ini adalah dengan cara menjalankan peranmu secara optimal. Kalau kamu seorang guru, maka mengajarlah dengan baik. Kalau kamu seorang ayah, maka bimbinglah keluargamu dengan baik. Kalau kamu seorang anak, maka tunjukkanlah baktimu dengan baik. Intinya: optimalkan kemanfaatanmu bagi manusia semaksimal mungkin.

Tetapi itu tidak cukup. Ada beberapa hal prinsip yang perlu ditanam kokoh di dalam tubuh kita. Pertama, membangun keyakinan dalam diri untuk apa kita berbuat. Seperti bersandar pada Sesuatu yang Ultima, sesuatu yang di luar diri kita jauh dari frame kekuasaan dan kekuatan manusiawi, sesuatu yang tidak bersifat duniawi. Lebih tepatnya menanam keimanan yang kokoh atas eksistensi Tuhan dan segala yang melekat pada-Nya.

Kedua, nilai-nilai kebaikan yang kita pahami dan yakini takkan sempurna—atau mungkin tiada artinya—kalau tidak terjewantahkan kepada orang-orang di sekitar kita, di lingkungan kita. Industri sudah merasuk sampai ke dalam sendi-sendi kehidupan kita. Industri sudah menanam kebiasaan konsumtif puluhan tahun lalu dan kini kita menuai hasilnya: lingkungan yang tumbuh dalam budaya matrealistis. Money talks too much.
Uang telah banyak berbicara. Hampir semua kehidupan tidak berbarti kalau di sana tidak mengalirkan uang.
Sudah saatnya kita proaktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, peduli pada lingkungan dengan membangun simpati dan empati. Yang dibutuhkan oleh lingkungan kita bukan sekedar perkembangan kognitif yang pada akhirnya melahirkan nilai ‘salah dan benar’, tetapi kita membutuhkan generasi-generasi yang tumbuh dengan nilai-nilai afektif yang akan melengkapi dengan nilai ‘baik dan buruk’.

Ketiga, kita perlu mensyarati hidup kita dengan ilmu pengetahuan. Bagaimana kita dapat melakukan kedua hal di atas kalau tak memiliki ilmu tentang tauhid? Bagaimana kita dapat berperan proaktif dalam kehidupan sosial kalau kita alpa dari ilmu muammalah.

Keempat, menyelimuti hati kita dengan kesabaran. Berbuat baik tidaklah mudah, seperti memungut sampah tidak semudah membuangnya. Jangankan kebaikan yang diperbuat untuk oranglain, kebaikan untuk diri sendiri saja susah bukan main. Butuh ketekunan dan kesabaran untuk menjadikannya sebagai kebiasaan yang melakat.


Dari banyak aktivitas yang kita lakukan dalam sehari, berapa aktivitas yang betul-betul memiliki nilai kemanfaat, baik untuk diri sendiri atau orang lain. Lalu bagaimana dengan seminggu yang lalu, sebulan yang lalu, setahun yang lalu, dan seterusnya? []

0 on: "Mengurangi Potensi Menjadi Orang yang Merugi"