Kalau kamu melintas jalan Rajabasa—Kotaagung maka akan kamu dapati beberapa masjid yang sedang dibangun. Sekilah dapat terbayang betapa megah masjid yang sedang dibangun itu kalau sudah sempurna kelak. Kita bisa menerawangnya dari rencana pembangunannya, dari denah dan blue print-nya, yang dipampang tepat di depan masjid.
Supaya masjid yang menjadi impian kekhusyu’an beribadahnya di dalamnya cepat terealisasi maka warga sekitar berembug lalu bersepakat untuk memasang kotak amal di tepi jalan karena kalau mengandalkan dari sedekah jariyah warga dana ratusan juta atau mungkin milyaran itu takkan kunjung tercapai. Dan saya kira, hal seperti ini terjadi, sangat lumrah terjadi, di mana-mana.
Tak sampai setahun, pembangunan masjid yang dulu sempat membuat jalan macet sudah berdiri tegak dan megah. Kalau kamu pernah memasukkan uang lembaran seribu atau sepuluh ribu ke dalam kotak amal itu, maka sempatkanlah sesekali mampir untuk menjalankan shalat di sana. Ada sedekah jariahmu di padasan air wudlu, di pegangan pintu masuk, di karpet empuk, juga di pendingin ruangan masjid. Kalau kamu turut shalat di sana, kamu menyelamatkan hidupmu juga orang-orang yang telah memasukkan lembaran uang seribu atau sepuluh ribu sepertimu.
Selain masjid dekat rumahmu, masjid mana lagi yang sering kamu singgahi? Banyak kah atau justru tidak pernah sama sekali? Bagaimana keadaan masjid-masjid itu, karpet dan kamar mandinya, soundsystem dan lampunya?
Masjid-masjid sekarang tidak ada lagi yang seprihatin dahulu, di kala pak Smiling General masih aktif menjadi kepala negara, bahkan sampai ke beberapa penggantinya. Tak banyak masjid yang memiliki menara yang bagus, toa-toa masih menempel di kubah, bahkan ada yang hanya shaf depan saja yang menggunakan karpet dan sisanya menggunakan tikar plastik.
Masjid-masjid sekarang sudah makmur. Tuhan pasti nyaman di sana. Karpet yang empuk, pendingin ruangan, soundsystem yang lembut. Para jamaahnya pasti senang berlama-lama di sana, berdzikir menggelengkan kepala tanpa harus menggibaskan kancing baju, sujud berlama-lama tanpa merasakan pedih di kening, membaca Alqruan di depan mik yang high quality.
Masjid-masjid itu memang seharusnya begitu. Masjid adalah rumah tuhan, ia tidak boleh terlantar dan terpurukkan, ia harus lebih bagus dari rumah para jamaahnya. Meskipun untuk sementara, masjid yang bagus seperti ini baru ada di komplek perumahan orang-orang kaya.
Tapi kemudian sayang-disayang, masjid yang megah itu kembali mulai sepi. Para jamaahnya sungkah datang ke sana. Bukan karena apa-apa, tapi karena mereka tak ingin mengganggu tuhan yang sedang istirahat dengan tentram. Suara tilawah Alquran pun diganti dengan kaset atau mp3 karena tidak ada seorang jamaah pun yang memiliki suara yang bagus, makhrojnya pun tidak fasih, apa lagi langgam bacaannya. Mereka gerogi. Mereka keder.
Di pinggiran kota, di sebuah komplek padat dengan drainase yang buruk, tidak jauh dari pasar, sebuah masjid berdiri. Tak ada pendingin udara di sana sehingga ketika imam mengucapkan salam ia dapati makmumnya langsung ngeluyur keluar dengan keringat di sekujur badan. Tak ada pula soundsystem yang baik di sana, sehingga ketika adzan berkumandang suaranya tak lebih bagus dari soundsystem hajatan di seberang jalan.
Seharusnya tuhan dibuatkan rumah yang bagus di sana. Konon, tuhan senang berdekatang dengan orang-orang tak berpunya, orang-orang miskin. Siapa tahu, kalau tuhan memiliki rumah yang bagus di sana, orang-orang itu akan senang berkunjung dan berlama-lama.[]
Supaya masjid yang menjadi impian kekhusyu’an beribadahnya di dalamnya cepat terealisasi maka warga sekitar berembug lalu bersepakat untuk memasang kotak amal di tepi jalan karena kalau mengandalkan dari sedekah jariyah warga dana ratusan juta atau mungkin milyaran itu takkan kunjung tercapai. Dan saya kira, hal seperti ini terjadi, sangat lumrah terjadi, di mana-mana.
Tak sampai setahun, pembangunan masjid yang dulu sempat membuat jalan macet sudah berdiri tegak dan megah. Kalau kamu pernah memasukkan uang lembaran seribu atau sepuluh ribu ke dalam kotak amal itu, maka sempatkanlah sesekali mampir untuk menjalankan shalat di sana. Ada sedekah jariahmu di padasan air wudlu, di pegangan pintu masuk, di karpet empuk, juga di pendingin ruangan masjid. Kalau kamu turut shalat di sana, kamu menyelamatkan hidupmu juga orang-orang yang telah memasukkan lembaran uang seribu atau sepuluh ribu sepertimu.
Selain masjid dekat rumahmu, masjid mana lagi yang sering kamu singgahi? Banyak kah atau justru tidak pernah sama sekali? Bagaimana keadaan masjid-masjid itu, karpet dan kamar mandinya, soundsystem dan lampunya?
Masjid-masjid sekarang tidak ada lagi yang seprihatin dahulu, di kala pak Smiling General masih aktif menjadi kepala negara, bahkan sampai ke beberapa penggantinya. Tak banyak masjid yang memiliki menara yang bagus, toa-toa masih menempel di kubah, bahkan ada yang hanya shaf depan saja yang menggunakan karpet dan sisanya menggunakan tikar plastik.
Masjid-masjid sekarang sudah makmur. Tuhan pasti nyaman di sana. Karpet yang empuk, pendingin ruangan, soundsystem yang lembut. Para jamaahnya pasti senang berlama-lama di sana, berdzikir menggelengkan kepala tanpa harus menggibaskan kancing baju, sujud berlama-lama tanpa merasakan pedih di kening, membaca Alqruan di depan mik yang high quality.
Masjid-masjid itu memang seharusnya begitu. Masjid adalah rumah tuhan, ia tidak boleh terlantar dan terpurukkan, ia harus lebih bagus dari rumah para jamaahnya. Meskipun untuk sementara, masjid yang bagus seperti ini baru ada di komplek perumahan orang-orang kaya.
Tapi kemudian sayang-disayang, masjid yang megah itu kembali mulai sepi. Para jamaahnya sungkah datang ke sana. Bukan karena apa-apa, tapi karena mereka tak ingin mengganggu tuhan yang sedang istirahat dengan tentram. Suara tilawah Alquran pun diganti dengan kaset atau mp3 karena tidak ada seorang jamaah pun yang memiliki suara yang bagus, makhrojnya pun tidak fasih, apa lagi langgam bacaannya. Mereka gerogi. Mereka keder.
Di pinggiran kota, di sebuah komplek padat dengan drainase yang buruk, tidak jauh dari pasar, sebuah masjid berdiri. Tak ada pendingin udara di sana sehingga ketika imam mengucapkan salam ia dapati makmumnya langsung ngeluyur keluar dengan keringat di sekujur badan. Tak ada pula soundsystem yang baik di sana, sehingga ketika adzan berkumandang suaranya tak lebih bagus dari soundsystem hajatan di seberang jalan.
Seharusnya tuhan dibuatkan rumah yang bagus di sana. Konon, tuhan senang berdekatang dengan orang-orang tak berpunya, orang-orang miskin. Siapa tahu, kalau tuhan memiliki rumah yang bagus di sana, orang-orang itu akan senang berkunjung dan berlama-lama.[]
0 on: "Masjid-masjid itu Harus Lebih Bagus dari Rumah Kita"