Setiap kali senja datang beriringan dengan gerimis, dan pohon rambutan di halaman rumah juga berbuah ranum, aku kembali teringat padamu. Sejujurnya aku benci mengingatnya kembali; saat kau dan ibu duduk di pelataran rumah ini.
Seharusnya memang kubuang jauh-jauh peristiwa itu, tetapi tetap saja ia menemukan celah jalannya untuk kembali ke kepalaku. Seperti angin malam yang selalu menemukan lubang dinding geribik dapurku. Adakah kau merasakan getir seperti yang kurasakan dari hari ke hari, sejak peristiwa itu.
Kusuguhkan secangkir teh untuk masing-masing; kau dan ibu. Lalu kusempatkan mencuri pandang, mencari tahu apa yang telah dibicarakan. Kutatap wajahmu sedikit lebih lama—butir keringat dikeningmu mengalir pelan seperti binatang melata yang kelaparan. Selama ini tak pernah kulihat keringat seperti itu mengalir di keningmu.
Dan ibu, wajahnya yang selalu terlihat ayu, tampak sayu. Letih pada tubuhnya tak pernah ia tampakkan lewat raut wajahnya. Bahkan kepedihan demi kepedihan yang kami lalui tak pernah tampak di mata. Wajahnya yang seperti saat ini pernah kutemui sekali ketika ayah meninggalkan kami untuk selamanya empat tahun yang lalu. Setelah sekian lama tersembunyi kini tiba-tiba tergurat kembali di wajah ibu, dan itu ia tampakkan padamu, bukan padaku.
Aku menahan diri tak segera undur diri. Di samping ibu aku duduk. Namun tak lama aku diusir.
“Ratih, tolong kau angkat jemuran. Awan di timur sepertinya mendung.”
Ibu tak pernah berkata apa adanya. Maka kupahami maknanya kalau aku tak pantas duduk di antara kalian berdua. Kau yang diam saja pun setuju dengan ibu.
/1/
“Tidak bisa ditunda lagi, Ratih.” Desakmu kala itu.
Kau jadi begitu lain dari yang kukenal selama ini. Tiba-tiba kau begitu keras, begitu memaksakan kehendak. Setan apa yang telah merasukimu. Meskipun matamu tak memerah tetapi ucapanmu lebih panas dari api.
“Apakah kau menghendaki lelaki lain?”
Aku kehilangan diriku sendiri dan juga tak mengenal siapa lelaki yang ada di depanku saat ini. Peringaimu sungguh berbeda. Kelembutan yang selama ini memanjakanku telah tercabut entah oleh apa. Atau begitulah sejati dirimu dan yang kau tunjukkan selama ini adalah kepura-puraan untuk meluluhkanku, dan juga ibu.
Kau berdiri tepat di depan wajahku. Kau tundukkan sendiri nafasmu dan kau kendurkan tulang pipimu. Sepertinya kau menyesalkan ucapanmu yang tadi.
“Tidak ada yang buruk dalam pernikahan. Perkara baik tidak seyogyanya ditunda-tunda.”
Perihal pernikahan yang kita rencanakan itu, bukannya aku tak ingin segera menjalaninya. Aku punya alasan yang membuatku harus menundanya. Tidakkah kau bisa mengerti seperti yang lalu-lalu. Aku mengkhawatirkan ibu. Beberapa hari ini ada orang datang ke rumah. Berbicara tentang masa lalu yang tak pernah kuketahui. Perihal tamu-tamu itu pun ibu selalu bungkam. Tetapi melihat gelisah nafasnya saat tidur, aku tahu ia ketakutan bahkan dalam mimpinya.
“Kalau begitu biar aku yang berbicara langsung dengan ibu, Ratih.”
Kukira kau sedang menanyakan pendapatku tapi nyatanya tidak. Kau sedang memberitahuku.
/2/
Ibu belum selesai menyampaikan semuanya ketika tiba-tiba Ratih datang dengan nampan plastik hitam bermotif kembang-kembang. Ia suguhkan dua cangkir hangat. Aromanya sedap sekali. Ia tahu aku menyukai teh tubruk seperti itu dan aku yakin takarannya pasti tepat seperti biasanya. Ingin kuseruput sedikit-sedikit untuk mengendurkan urat tubuhku yang menegang. Tapi entah mengapa semuanya terasa kaku untuk digerakkan.
Aku sudah utarakan maksud dan tujuanku datang kemari. Tekadku sudah bulat. Termasuk mendengar jawaban ibu yang sarat dengan isyarat-isyarat. Bahkan aku siap dengan hardikan halusnya karena menganggapku tidak sopan menyampaikan perihal seperti ini seorang diri.
Lain yang dipersiapkan lain pula yang dialami. Ibu tak banyak meminta, justru untuk kali ini ia ingin bercerita. Bagaimana ia mau bercerita, putri kembangnya tiba-tiba datang lalu duduk di dekatnya. Aku bersyukur mendung di langit timur memberi petanda, hingga ia pun bergegas meninggalkan kami berdua.
“Sudah bulat tekadmu untuk menikahi Ratih?”
Ibu mengulangi dari awal, “Iya, Bu.”
“Sebelumnya saya ingin mengisahkan satu cerita dari bapak sebelum ia meninggal empat tahun lalu. Bapak punya seorang teman yang waskita. Mengetahui yang halus dan yang kasar. Ia memiliki seorang putri pula, hanya seorang putri, sama seperti kami.”
Aku menyimak karena menurutku ini tentang sejarah keluarga. Pikirku bagaimana bisa aku memasuki sebuah keluarga baru tanpa mengetahui sejarah kehidupannya.
“Lima tahun lalu mereka bertemu. Entah apa yang mereka bicarakan. Lalu keduanya berjabat erat seperti sedang menukar janji, tidak hanya janji tetapi juga sebuah cendramata. Bapak menerima ini –ia menunjukkan cincin keemasan—dan saya tidak tahu apa yang diberikan bapak padanya.
Baru menjelang wafat bapak bercerita tentang pertemuan itu. Kepada saya bapak berpesan supaya kelak, lelaki yang akan menikahi Ratih, terlebih dahulu harus menemui teman bapak itu, Ki Buyung. Minta ia untuk menyerahkan cincin ini dan dari Ki Buyung ia akan menerima yang lain.
Hanya lelaki yang membawa cincin dari Ki Buyung lah yang boleh menikahi Ratih.”
“Tekadku sudah bulat, Bu. Mohon restumu untuk melawati ujian ini.”
Kemudian aku pergi ke Madiun setelah mendapatkan berkah dan restu dari ibu. Juga setelah berat hati harus berpamitan dengan Ratih. Dari Madiun kutelusuri jejak Ki Buyung ke Klaten lalu ke Magelang dan berakhir di Jepara. Di sana kulihat seorang perempuan yang begitu anggun. Aku begitu mengenalnya. Aku heran bagaiamana ia bisa datang lebih dulu di rumah Ki Buyung. Namun rasa heranku redup oleh cahaya emas cakrawala: Ratih sudah sampai di sini menungguku.
/3/
Malam belum begitu larut. Angin yang bertiup pelan menghantarkan lantunan al-Barzanji dari rumah di sebrang jalan. Ternyata tidak hanya lantunan syair-syair yang berkisah tentang sang Nabi yang datang. Seseorang telah dihantarkan oleh angin malam ke teras yang mengetuk pintu tak begitu keras. Aku musykil karena selama ini tak pernah ada tamu datang di malam hari.
Sejak kepergianmu empat puluh hari yang lalu, inilah tamu pertama yang datang. Sejujurnya aku mengagumi ketampanannya; rambut kelamnya, hidung besarnya yang mancung, dan gigi putihnya yang berjajar di balik bibir memagari setiap kata-katanya yang keluar. Ibu menjawab ramah salamnya. Meskipun angin cepat membawanya pergi aku, dan mungkin ibu, takkan pernah lupa ucapan salamnya yang pertama kali ini.
Tamu itu begitu serius dan juga gamang. Beberap kali kuperhatikan ia mencoba menerobos pandangan melalui gorden yang memisahkan ruang tamu denganku. Dan dengan ragu ia menanyakan keberadaan bapak.
“Bapak sudah pergi setahun lalu. Hanya ada kami berdua di rumah ini.” Jawab ibu.
Lelaki itu tampak terkejut, lalu mengucapkan belasungkawa dan beberapa rapal doa yang umumnya diucapkan.
“Lalu, adik ini siapa? Dari mana?”
“Saya Syahidan dari Jepara, mau mengantar ini.”
Ditunjukkannya sebuah kotak antik dari saku baju lusuhnya. Baju itu tentu melekat di badan untuk beberapa hari. Tiga hari, lima hari, atau mungkin satu minggu. Daki yang menempel di kerah bajunya dan juga lipatan-lipatan di ujung baju yang mengangkat menunjukkan pinggulnya yang kekar, tak mampu berbohong meskipun wajahnya bersih tersapu air. Mungkin ia membasuhnya di masjid sebrang jalan.
“Dari Ki Buyung?”
“Betul.”
Tiba-tibu ibu lemas. Tubuhnya yang terhempas ke sandaran kursi menarik perhatianku. Nama ‘Ki Buyung’ dan kotak antik di tangan ibu mencambuk kesadaranku. Ketika kutinggikan tubuhku, menjinjit untuk mengintip dari celah gorden, kulihat cincin keemasan terselip berdiri di dalam kota dalam genggaman ibu. Aku terhenyak. Kalau lelaki itu yang datang, lalu kau di mana?
/4/
Aku, di matamu, adalah lelaki durja. Kusembunyikan satu peristiwa. Aku berhutang budi pada seseorang. Ia telah menyelamatkan keluargaku dalam keterpurukan. Lama aku mencarinya selama sepuluh tahun, namun tak juga kutemui. Kami mengenalnya dengan nama haji Rahmat. Saat ku tiba di sini, di Jepara, mataku terbelalak. Tidak lain ki Buyung itu adalah haji Rahmat. Dalam keramahtamahannya ia meminta satu hal; ia ingin aku menanggung kehidupan putrinya. Dan inilah balas budiku yang harus kubayar.
Ratih, di sini, di langkah pertamaku di pelataran rumah Ki Buyung, kulihat dirimu. Aku yakin itu kamu. Tapi Ki Buyung menjelaskan berulangkali kalau itu, yang harus kutanggung kehidupannya itu, adalah perempuan yang lain. Mungkin benar kata orang, setiap insan diciptakan dengan tujuh kembaran. Dan entah setan apa yang merasukiku, aku melihatnya sebagai dirimu.
/5/
Senja hampir berlalu. Dan semoga kau pergi bersamanya untuk selamanya.
Bandar Lampung, 5 Februari 2014
0 on: "RAUT SEDIH YANG SUDAH BERJALAN LAMA"