Ilustrasi |
Salah satu aktifitas massal yang menarik di bulan puasa adalah mudik. Selain sebagai aktifitas yang menarik, mudik hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang tahu tempat asal-muasalnya, oleh orang-orang yang pergi entah kemana dan tiba-tiba merasak kerinduan untuk kembali.
Mudik mungkin berasal dari kata udik—yang konotasi maknanya sangat bersebrangan dengan modernitas. Tapi orang-orang modern di kebanyakan justru mereka yang secara gagah berani berangkat menjauh dari udiknya, mencari dunia baru entah di mana. Lalu mereka terikat oleh rasa yang, rasa rindu. Rasa rindulah yang membawa mereka untuk kembali
Ada berbagai macam orang mudik. Ada yang menganggap mudik sebagai aktifitas bersama yang rutin dilakukan di waktu-waktu akhir Ramadan. Mudik adalah aktifitas komunal untuk berduyun-duyun kembali ke tanah kelahiran. Mereka menganggapnya tak jauh beda dengan berduyun-duyun pergi ke tempat kerja di pagi hari. Sehingga, ketika melihat kemacetan di perjalanan mudik mereka melihatnya sebagai keruwetan jalanan menuju kantor.
Orang-orang seperti ini sebagian ruang batinnya tersiksa, tertekan, dan jauh dari nikmat perjalanan mudik. Ujung-ujungnya yang dihitung adalah untung rugi, besaran biaya yang dikeluarkan untuk pulang kampung: biaya ongkos di jalan, biaya oleh-oleh, biaya hidup di rumah yang dulu melindunginya di waktu siang dan malam. Semoga kita—para pemudik—terjauh dari perasaan yang demikian ini.
Ada pula orang yang menganggap mudik sebagai perjalanan rekreatif. Mudik adalah waktu senggang untuk menarik nafas ‘bebas’ dari rutinitas kerja yang membelenggu. Mereka tak memiliki ruh ‘pulang kampung’ karena perjalanan sebenarnya bukan miliknya tapi milik isterinya. Maka kalau mudik hanya dimaknai sebagai perjalanan mengantar istri pulang kenapa tidak dijadikan ajang rekreasi saja.
Sekembalinya dari kampung halaman mereka mendapatkan rasa semangat yang ‘ter-refresh’. Sumber semangat barunya adalah pertemuan dengan banyak orang yang tidak ditemui dalam keseharian.
Akan tetapi ada orang yang jauh-jauh hari telah merencanakan perjalan mudik. Mereka adalah orang-orang yang sudah sangat ingin mengobati rasa rindu di lubuk hati. Kerinduan pada tempat pernah menampungnya sementara waktu tetapi pada hakekatnya tempat itu tidak pernah menjadi tempat yang sementara.
Mereka yang dari tempat jauh melakukan perjalan untuk kembali dalam rangka berucap terimakasih, menapak-tilasi masalalu supaya sekembalinya dari kampung kembali teringat untuk apa dulu ia pergi, sehingga kembali kuat dan teguh hati.
Mereka yang menempatkan biaya mudik di urutan yang kesekian. Yang ada di pandangan matanya adalah besarnya kasih sayang orang-orang yang akan ditemuinya, besarnya nikmat silaturrahim dengan handataulan dan sanak famili, doa-doa yang saling terucap ketika tangan bersalaman.
Terlepas dari pemudik-pemudik itu, kita semua sedang melakukan perjalanan mudik. Perjalanan yang dimiliki oleh semua orang, baik yang lebaran ataupun tidak, yang selama Ramadan ikut berpuasa ataupun tidak, yang memiliki kampung halaman ataupun tidak. Mudik ini sering dilupakan, yaitu mudik kepada sang Pencipta.
Desak-desakan yang dihadapi di loket-loket pembayaran tidak sebanding dengan perjalan mudik besar ini. Biaya yang dikeluar setiap tahun untuk pulang kampung tidak sebanding dengan biaya bekal yang harus disiapkan dalam perjalanan mudik besar ini. Kalau dari para pemudik pernah merasakan indivualitas yang tajam saat di atas kapal penyebrangan, di bangku-bangku antrian, di terminal-terminal, akan ada individualitas yang lebih tajam lagi karena setiap orang khawatir dengan dirinya sendiri.
Mudik pulang kampung secara mental mengajarkan kita pada mudik besar yang akan dihadapi oleh semua orang. Tapi jangan terlintas bahwa mudik besar akan terasa sama mudahnya dengan mudik pulang kampung.
Dalam mudik pulang kampung, yang membuat hati teguh atas keruwetan perjalanan adalah rasa rindu untuk bertemu kekasih. Begitu pula dengan mudik besar nanti, kerinduan pada Kekasihlah yang menjadi penguat hati.
Dalam pulang kampung, yang kita temui adalah para kekasih yang telah membesarkan kita. Begitu pula dalam mudik besar nanti, kita merindukan pertemuan dengan Kekasih yang dulu pernah kita temui sebelum melakukan perjalanan duniawi ini.
Dalam pulang kampung, kita singgah di terminal-terminal. Meskipun menunda pertemuan, rasa bahagia dapat menahan kegundahan. Begitu pula dengan perjalanan mudik besar nanti, kita akan melalui terminal-terminal yang membuat hati resah.
Rasanya, kalau terbayang pada bekal perjalanan untuk mudik besar nanti, masih ingin menunda-nunda di terminal dunia ini. Ada banyak bekal yang masih perlu dipersiapkan. Tetapi kalau terbayang pada pertemuan dengan sang Mahakasih, rasanya ingin segera beranjak dari terminal dunia ini.
Siapa pun dari kita yang mudik ataupun tidak mudik. Semoga perjalanan kita dianugerahi keselamatan dan kebahagiaan; termasuk dalam perjalanan mudik besar nanti.[]
Mudik mungkin berasal dari kata udik—yang konotasi maknanya sangat bersebrangan dengan modernitas. Tapi orang-orang modern di kebanyakan justru mereka yang secara gagah berani berangkat menjauh dari udiknya, mencari dunia baru entah di mana. Lalu mereka terikat oleh rasa yang, rasa rindu. Rasa rindulah yang membawa mereka untuk kembali
Ada berbagai macam orang mudik. Ada yang menganggap mudik sebagai aktifitas bersama yang rutin dilakukan di waktu-waktu akhir Ramadan. Mudik adalah aktifitas komunal untuk berduyun-duyun kembali ke tanah kelahiran. Mereka menganggapnya tak jauh beda dengan berduyun-duyun pergi ke tempat kerja di pagi hari. Sehingga, ketika melihat kemacetan di perjalanan mudik mereka melihatnya sebagai keruwetan jalanan menuju kantor.
Orang-orang seperti ini sebagian ruang batinnya tersiksa, tertekan, dan jauh dari nikmat perjalanan mudik. Ujung-ujungnya yang dihitung adalah untung rugi, besaran biaya yang dikeluarkan untuk pulang kampung: biaya ongkos di jalan, biaya oleh-oleh, biaya hidup di rumah yang dulu melindunginya di waktu siang dan malam. Semoga kita—para pemudik—terjauh dari perasaan yang demikian ini.
Ada pula orang yang menganggap mudik sebagai perjalanan rekreatif. Mudik adalah waktu senggang untuk menarik nafas ‘bebas’ dari rutinitas kerja yang membelenggu. Mereka tak memiliki ruh ‘pulang kampung’ karena perjalanan sebenarnya bukan miliknya tapi milik isterinya. Maka kalau mudik hanya dimaknai sebagai perjalanan mengantar istri pulang kenapa tidak dijadikan ajang rekreasi saja.
Sekembalinya dari kampung halaman mereka mendapatkan rasa semangat yang ‘ter-refresh’. Sumber semangat barunya adalah pertemuan dengan banyak orang yang tidak ditemui dalam keseharian.
Akan tetapi ada orang yang jauh-jauh hari telah merencanakan perjalan mudik. Mereka adalah orang-orang yang sudah sangat ingin mengobati rasa rindu di lubuk hati. Kerinduan pada tempat pernah menampungnya sementara waktu tetapi pada hakekatnya tempat itu tidak pernah menjadi tempat yang sementara.
Mereka yang dari tempat jauh melakukan perjalan untuk kembali dalam rangka berucap terimakasih, menapak-tilasi masalalu supaya sekembalinya dari kampung kembali teringat untuk apa dulu ia pergi, sehingga kembali kuat dan teguh hati.
Mereka yang menempatkan biaya mudik di urutan yang kesekian. Yang ada di pandangan matanya adalah besarnya kasih sayang orang-orang yang akan ditemuinya, besarnya nikmat silaturrahim dengan handataulan dan sanak famili, doa-doa yang saling terucap ketika tangan bersalaman.
Terlepas dari pemudik-pemudik itu, kita semua sedang melakukan perjalanan mudik. Perjalanan yang dimiliki oleh semua orang, baik yang lebaran ataupun tidak, yang selama Ramadan ikut berpuasa ataupun tidak, yang memiliki kampung halaman ataupun tidak. Mudik ini sering dilupakan, yaitu mudik kepada sang Pencipta.
Desak-desakan yang dihadapi di loket-loket pembayaran tidak sebanding dengan perjalan mudik besar ini. Biaya yang dikeluar setiap tahun untuk pulang kampung tidak sebanding dengan biaya bekal yang harus disiapkan dalam perjalanan mudik besar ini. Kalau dari para pemudik pernah merasakan indivualitas yang tajam saat di atas kapal penyebrangan, di bangku-bangku antrian, di terminal-terminal, akan ada individualitas yang lebih tajam lagi karena setiap orang khawatir dengan dirinya sendiri.
Mudik pulang kampung secara mental mengajarkan kita pada mudik besar yang akan dihadapi oleh semua orang. Tapi jangan terlintas bahwa mudik besar akan terasa sama mudahnya dengan mudik pulang kampung.
Dalam mudik pulang kampung, yang membuat hati teguh atas keruwetan perjalanan adalah rasa rindu untuk bertemu kekasih. Begitu pula dengan mudik besar nanti, kerinduan pada Kekasihlah yang menjadi penguat hati.
Dalam pulang kampung, yang kita temui adalah para kekasih yang telah membesarkan kita. Begitu pula dalam mudik besar nanti, kita merindukan pertemuan dengan Kekasih yang dulu pernah kita temui sebelum melakukan perjalanan duniawi ini.
Dalam pulang kampung, kita singgah di terminal-terminal. Meskipun menunda pertemuan, rasa bahagia dapat menahan kegundahan. Begitu pula dengan perjalanan mudik besar nanti, kita akan melalui terminal-terminal yang membuat hati resah.
Rasanya, kalau terbayang pada bekal perjalanan untuk mudik besar nanti, masih ingin menunda-nunda di terminal dunia ini. Ada banyak bekal yang masih perlu dipersiapkan. Tetapi kalau terbayang pada pertemuan dengan sang Mahakasih, rasanya ingin segera beranjak dari terminal dunia ini.
Siapa pun dari kita yang mudik ataupun tidak mudik. Semoga perjalanan kita dianugerahi keselamatan dan kebahagiaan; termasuk dalam perjalanan mudik besar nanti.[]
0 on: "Macam-macam Orang Mudik"