Tuesday, 7 July 2015

Pandangilah Dirimu dari Kejauhan


Dan kali ini saya ingin berkelakar, berceletuk, meracau tentang wajah-wajah pasi, tentang suara-suara parau, tentang tatapan-tatapan mata penuh curiga. Orang-orang yang berbicara tentang kekalahan, yang menanami hati dengan tendensi-tendensi dan ambisi, yang mereguk air laut untuk menghilangkan dahaga. 

Aku ingin marah. Hanya saja hati kecil yang jarang berteriak -karena lebih sering berbisik- mengirim surat. Rupanya ia mulai malas berbisik. Surat itu menyampaikan pesan: Buat apa kau marah? Ah, percuma kutanyakan itu karena kau selalu punya pembenaran untuk meluapkan bara api. Kuganti saja tanyaku; bagaimana kau akan marah? 

Bangsat! Saya tak bisa jawab itu sekarang; Bagaimana saya akan marah? Bagaimana saya akan unjuk pendapat dan ketidak sepakatan? Bagaiamana bagaimana dan bagaimana. Dan kutanyakan itu karena saya marah. 

"Kau mungkin terlalu lelah bekerja, kawan. Sisakanlah waktu sedikit saja untuk tertawa." 

Ah, memang melihat hamparan sawah justru indah dari kejauhan. Pandanganmu memang luas ketika kau ada di seberang. Bukan karena teman yang terusik karena pergaulan. Bukan karena pekerjaan yang tak juga sampai di terminal pemberhentian. Tagihan-tagihan dan hutang-hutang itu tak mengusik sedikit pun. 

Lalu apa. Itu tanyamu.

Batin. Jalan hidup, kehidupan dan penghidupan, kesepian di tengah keramaian, begitu juga kerinduan pada kesunyian. 

Februari, 2012

0 on: "Pandangilah Dirimu dari Kejauhan"