Apa kabar pak Wid? Bagaimana kesan bapak setelah mengunjungi Lampung lagi?
Saya penasaran selain untuk meninjau proyek jalan tol apakah ada obrolan lain dengan pemerintah daerah kami tentang –mungkin—swasembada pangan, proyek perkebunan, atau mungkin bapak berbagi ide bagaimana caranya supaya listrik di Lampung tidak byar pet terus-terusan.
Bapak kemarin lewat jalan mana? Ketemu macet enggak? Beginilah Lampung, Pak. Jalannya gak selebar Jakarta. Sudah begitu, padat oleh mobil dan motor. Bapak tentu tidak merasakan kemacetan karena Paspamres, polisi, dan satpol PP sudah menyisir jalan lebih dulu. Dramatis pak, sama dramatisnya ketika Bapak naik kapal feri Bakauheni-Merak hanya dalam waktu satu jam padahal waktu normal tiga jam.
Sekali lagi, Bapak lewat jalan mana? Ketemu perkebunan kah? Bapak tentu tidak perlu merasakan takut kena begal. Selain bapak dikawal oleh Paspamres, di benak Bapak membayangkan kalau jalanan di sini aman seperti ketika Bapak melewati Alas Roban atau hutan jati di Ngawi.
Padahal, Pak, saya takut sekali kalau melintasi kebun karet atau sawit. Saya takut sekali kena begal. Malu saya berterus terang begini tapi harus saya curhatkan. Saya menyimpulkan dari cerita-cerita teman saya, kejadian pembegalan cenderung meningkat saat harga karet dan sawit turun. Tahu kenapa kan pak?
Kami yang hidup dari buruh perkebunan hanya punya satu sumur mata pencarian. Kalau yang satu-satunya ini sudah menipis apalagi sampai kering, kami harus bagaimana lagi. Yang masih punya iman tentu meyakini kalau Gusti Allah mahakaya. Tapi kan iman itu naik dan turun.
Bapak kan bisnisman tentu tahu betapa pentingnya keamanan bagi pertumbuhan ekonomi. Lampung itu kaya dengan hasil kebunnya pak. Kopi, lada, kakao, sawit, dan karet. Yang air-air juga ada Pak. Tambak udang di mesuji dan rawajitu itu gede banget. Pajaknya sangat potensial untuk mengisi rekening kas negara. Belum lagi pantai-pantainya. Yang masih ramai saat ini adalah pantai-pantai di Pesisir Barat dan Teluk Kiluan.
Kalau masyarakat masih was-was dengan keamanan, bagaimana mereka akan bercocok tanam, mana bisa mereka menjadwalkan liburan pariwisata. Mendingan di rumah, Pak.
Tolong pak, tolong jangan menjawab kalau sudah ada mentri yang menangani sawah dan kebun, sudah ada mentri yang menangani pariwisata, sudah ada ibu cantik yang menangani laut, sudah ada polisi yang menangani keamanan. Jangan sampai jawaban seperti itu meluncur dari bibirmu, Pak.
Kami yang tak punya sawah dan ladang mencoba usaha rumahan. Membuat selendang dan sarung tapis, kripik pisang, sablon, foto kopi, PS, rental internet, jasa ketik, jasa pijet, tukang perbaikan peralatan eletronik, dan lainnya. Tapi apalah arti semua itu kalau listrik byar pet.
Saya malu sekali kalau ada teman dari Jawa singgah di rumah. Teman saya berdecak kagum melihat bendungan Batu Tegi yang diresmikan ibu Bapak, Ibu Megawati. Bagaimana saya tidak malu, sudah punya bendungan pembangkit listrik segede itu tapi tetep saja byar pet. Listriknya malah dialirkan ke Palembang. Lalu, Tarakan bisa apa?
Jadi, kalau kunjungan Bapak kali ini hanya untuk meninjau pembangunan jalan tol, saya katakan Bapak jelas-jelas menjadi pemimpin yang merugi. Maaf, pak, saya harus berterus terang begini.
Saya penasaran selain untuk meninjau proyek jalan tol apakah ada obrolan lain dengan pemerintah daerah kami tentang –mungkin—swasembada pangan, proyek perkebunan, atau mungkin bapak berbagi ide bagaimana caranya supaya listrik di Lampung tidak byar pet terus-terusan.
Bapak kemarin lewat jalan mana? Ketemu macet enggak? Beginilah Lampung, Pak. Jalannya gak selebar Jakarta. Sudah begitu, padat oleh mobil dan motor. Bapak tentu tidak merasakan kemacetan karena Paspamres, polisi, dan satpol PP sudah menyisir jalan lebih dulu. Dramatis pak, sama dramatisnya ketika Bapak naik kapal feri Bakauheni-Merak hanya dalam waktu satu jam padahal waktu normal tiga jam.
Sekali lagi, Bapak lewat jalan mana? Ketemu perkebunan kah? Bapak tentu tidak perlu merasakan takut kena begal. Selain bapak dikawal oleh Paspamres, di benak Bapak membayangkan kalau jalanan di sini aman seperti ketika Bapak melewati Alas Roban atau hutan jati di Ngawi.
Padahal, Pak, saya takut sekali kalau melintasi kebun karet atau sawit. Saya takut sekali kena begal. Malu saya berterus terang begini tapi harus saya curhatkan. Saya menyimpulkan dari cerita-cerita teman saya, kejadian pembegalan cenderung meningkat saat harga karet dan sawit turun. Tahu kenapa kan pak?
Kami yang hidup dari buruh perkebunan hanya punya satu sumur mata pencarian. Kalau yang satu-satunya ini sudah menipis apalagi sampai kering, kami harus bagaimana lagi. Yang masih punya iman tentu meyakini kalau Gusti Allah mahakaya. Tapi kan iman itu naik dan turun.
Bapak kan bisnisman tentu tahu betapa pentingnya keamanan bagi pertumbuhan ekonomi. Lampung itu kaya dengan hasil kebunnya pak. Kopi, lada, kakao, sawit, dan karet. Yang air-air juga ada Pak. Tambak udang di mesuji dan rawajitu itu gede banget. Pajaknya sangat potensial untuk mengisi rekening kas negara. Belum lagi pantai-pantainya. Yang masih ramai saat ini adalah pantai-pantai di Pesisir Barat dan Teluk Kiluan.
Kalau masyarakat masih was-was dengan keamanan, bagaimana mereka akan bercocok tanam, mana bisa mereka menjadwalkan liburan pariwisata. Mendingan di rumah, Pak.
Tolong pak, tolong jangan menjawab kalau sudah ada mentri yang menangani sawah dan kebun, sudah ada mentri yang menangani pariwisata, sudah ada ibu cantik yang menangani laut, sudah ada polisi yang menangani keamanan. Jangan sampai jawaban seperti itu meluncur dari bibirmu, Pak.
Kami yang tak punya sawah dan ladang mencoba usaha rumahan. Membuat selendang dan sarung tapis, kripik pisang, sablon, foto kopi, PS, rental internet, jasa ketik, jasa pijet, tukang perbaikan peralatan eletronik, dan lainnya. Tapi apalah arti semua itu kalau listrik byar pet.
Saya malu sekali kalau ada teman dari Jawa singgah di rumah. Teman saya berdecak kagum melihat bendungan Batu Tegi yang diresmikan ibu Bapak, Ibu Megawati. Bagaimana saya tidak malu, sudah punya bendungan pembangkit listrik segede itu tapi tetep saja byar pet. Listriknya malah dialirkan ke Palembang. Lalu, Tarakan bisa apa?
Jadi, kalau kunjungan Bapak kali ini hanya untuk meninjau pembangunan jalan tol, saya katakan Bapak jelas-jelas menjadi pemimpin yang merugi. Maaf, pak, saya harus berterus terang begini.
0 on: "PAK WID, APA HASIL KUNJUNGAN BAPAK KE LAMPUNG?"