Tuesday, 24 November 2015

GURU SEBAGAI CAHAYA DI DALAM KEGELAPAN


Cara Kita Dididik
Dari semua guru yang pernah mendidik kita, berapa guru yang benar-benar menginspirasi hidup kita—baik karena nasehat-nasehat yang mereka siramkan maupun cerita-cerita mereka yang mencerahkan?

Siapakah mereka yang mendidik kita kala di sekolah dasar? Siapakah mereka yang mulai mengenalkan hal-hal rumit saat kita di sekolah menengah? Siapakah mereka yang telah menjadikan kita sarjana?

Kebanyakan dari kita memiliki pengalaman yang sama dalam belajar padahal kita tidak satu mengenyam pendidikan di sekolah yang sama. Saya menikmati pendidikan yang didominasi dengan pendidikan verbal. Menceramahi murid sehabis-habisnya.

Cara mendidik seperti ini bisa jadi sangat relevan pada saat itu mengingat media informasi di kampung saya hanya melalui televisi dan radio. Gurulah yang kemudian menjadi pintu pembuka wawasan melalui dialog dan diskusi. Namun kebanyakan guru saya memilih berceramah dari pada melakukan eksplorasi melalui praktik dan kegiatan lainnya.

Tapi dari guru yang “banyak bicara” itu jadilah diri saya –juga mungkin kita—yang saat ini; yang masih cadas menyanyikan lagu Gebyar-gebyar, yang membagi bilangan dengan cara porogapit; yang masih terniang-niang nama Harmoko sebagai menteri Penerangan.

Apa yang membuat kita masih mengingat-ingat apa yang kita terima selama pendidikan sepuluh tahun yang lalu? Tidak terbesitkah keinginan supaya anak didik kita, kelak, melakukan hal yang sama dengan kita sekarang?

Cara Kita mendidik

Manusia adalah mahluk mimesis yang sangat cerdas. Masa-masa menjadi mahluk mimesis yang paling efektif adalah pada masa pertumbuhan, saat manusia menjadi “sponge” yang paling haus terhadap air. Lalu ketika kita menjadi guru cara kita mengajarkan tak jauh-jauh dari cara kita mendapatkannya. Silahkan direfleksi.

Saat ini, pendidikan kita mirip dengan apa yang digambarkan oleh Thomas Lickona dalam “Educating for Character: How Our Schools Teach Respect And Responsibility”. Urusan utama sekolah adalah bekerja, beraktifitas dan berkarya sebagai pembelajaran. Sekolah harus merancang rangkaian aktifitas yang dapat membantu siswa memahami kualitas dirinya, mengerjakan sesuatu dengan kemampuan terbaiknya, dan mengembangkan kualitas karakter yang melekat pada dirinya untuk mampu doing the best.

Tapi bagaimana peserta didik kita akan dapat menerima pembelajaran itu kalau sumber cahaya inspirasi mereka masih terbelenggu oleh sistem lama?

Mungkin kita pernah mendengar ungkapan “Yang berkuasa adalah mereka yang menguasai informasi”. Kalau kita tarik dalam perspektif pendidikan yang membedakan antara guru dengan murid adalah penguasaan informasi/materi. Kita dapat menemukan anomali di mana siswa tampak lebih menguasai materi dibandingkan gurunya.

Apa yang terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat kompleks. Nilai-nilai yang ditanam di sekolah diluluhlantakkan oleh dimensi layar flat. Sehingga kalau guru masih mengajar secara konvensional—ceramah, ceramah, dan ceramah lagi—kesempatan untuk memetik hasil yang maksimal dalam pendidikan menjadi sangat kecil.

Guru memang sudah seharusnya memperluas wawasan dan kritis terhadap lingkungan, senantiasa mengasah kemampuan mengajarnya untuk melakukan simulasi dan stimulus pada diri peserta didik. 

Semakin luas dan kaya wawasan guru semakin mungkin ia melakukan inovasi dalam pembelajaran.

Momentum Hari Guru

Sebagai murid dari guru-guru yang telah membesarkan saya, hanyalah untaian doa yang dapat kusenandungkan untuk mereka. Dari sekian banyak bimbingan sedikit sekali yang dapat kuingat—bahkan yang teringat justru kebandelan dan pembangkangan yang saya lakukan. Saya belajar tentang keuletan, tanggungjawab, dan keikhlasan dari mereka bahkan dari guru yang mata pelajarannya tidak saya sukai.

Bukan salah mereka kalau kita harus melahap habis banyak mata pelajaran. Bukan salah kita pula kita harus menyuapi peserta didik dengan sekian banyak mata pelajaran. Kita sadar bahwa kita tidak bisa melahap habis semua. Begitu pula kita menyadari bahwa peserta didik kita tidak bisa mengkonsumsi semuanya.

Lalu, apa yang bisa guru berikan kalau faktanya mereka tidak menyukai materi yang diajarkan?

Guru tidak hanya mengajarkan materi-materi di kelas. Ada proses ‘transfer’ lainnya yang kasat mata dan yang paling kasat mata dalam pembelajaran adalah energi guru menyambar reseptor-reseptor anak didiknya. Seredup apapun cahaya yang kita pancarkan, di dalam ruang gelap cahaya itu menjadi petunjuk dan harapan yang sangat besar.

Untuk itu, dalam momentum Hari Guru ini, alangkah baiknya kita merenungi posisi kita sebagai guru. Posisi yang memiliki derajat kemulyaan yang sangat tinggi. Dengan demikian, kita tidak hanya akan bersyukur dan memperbaiki diri tetapi juga berterimakasih pada mereka, pada guru-guru kita.

Sebagai penutup, saya kutipkan catatan di buku Thomas Lickona:
Saya menghawatirkan jika saya merupakan elemen penentu di dalam kelas … sebagai guru, saya memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membuat kehidupan siswa menjadi yang tidak karuan atau menjadikan mereka gembira. Saya dapat menjadi sebuah alat untuk menyiksa atau menjadi sebuat alat inspirasi. Saya dapat menghina atau bercanda, menyakiti atau menyembuhkan. Dalam segala situasi, sudah merupakan tanggung jawab saya utnuk menentukan apakah sebuah konflik akan dibesar-besarkan atau diselesaikan, dan memperlakukan seseorang anak dengan baik atau tidak.
--------------Haim Ginott

0 on: "GURU SEBAGAI CAHAYA DI DALAM KEGELAPAN"