Desa Gedong Pakuon yang terletak di kecamatan Baradatu, Way Kanan, akan menjadi destinasi kami. Siswa-siswi kami, sebanyak tiga puluh dua siswa, akan tinggal di sana untuk sepekan mulai 22 sampai 26 Februari 2016. Mereka akan berbaur dengan warga, membuat gula merah, jajanan kelanting, dan juga menderes batang pohon karet.
Kami menyebutnya The Villager. Program yang kami rancang bagi kelas selebas supaya mereka belajar berbaur dengan masyarakat, terlibat dalam kegiatan keseharian. The Villager diharapkan menjadi triger bagi kepekaan sosial peserta didik.
Bermula dari keprihatikan kami melihat intensitas peserta didik dengan teknologi, kurang aware terhadap lingkungan, dan besarnya hasrat konsumtif sehingga perlahan mengikis kepekaan terhadap kehidupan sosial dan juga lingkungan. Permasalahan yang sebenarnya tidak hanya dialami oleh peserta didik kami, tetapi secara menyeluruh generasi muda kota ini mulai bergeser ke arah sana.
Mengapa harus ke desa? Sebelum menjawabnya, saya teringat pada kisah Halimatus Sa’diyyah yang menjadi ibu asi bagi Nabi. Suku-suku pedalaman Arab membutuhkan dukungan dan perlindungan dari suku-suku besar Arab untuk menjaga keamanan mereka dan sebaliknya suku-suku pedalaman dibutuhkan untuk mendidik anak-anak mereka. Suku baduwi adalah “penjaga” bagi keaslian bahasa Arab karena sebagai kota metropolis, Makkah sudah terkontaminasi oleh berbagai suku dan bangsa.
Kita menyadari bahwa kota ini sudah cukup terdesak oleh konsumtif warganya yang sejalan dengan pertumbuhan perekonomian. Disadari atau tidak, gaya hidup para remajanya banyak yang keluar dari jalur etik masyarakat Timur. Hal yang dulu terasa tabu kini menjadi begitu fulgar dipertontonkan.
Di sekolah kami mengajarkan nilai-nilai religi supaya kesadaran ubudiyyah peserta didik terus meningkat. Di sekolah pun kami mengajarkan nilai-nilai muámmlah supaya kepekaan intrapersonal mereka tetap tumbuh. Akan tetapi, yang susah payah kami bangun itu kerap sekali runtuh oleh satu atau dua momen yang mendatangi mereka melalui televisi, terutama internet.
The Villager adalah jeda, spasi yang memisahkan satu momen dengan momen lainnya, kekosongan yang menjadi pemicu tumbuhnya nilai-nilai baru. Meskipun jeda ini terlalu sebentar tetapi sama sekali tidak menyurutkan optimisme kami.
Saat briefing dengan peserta didik saya sampaikan kepada mereka bahwa The Villager bukanlah momen rekreasi, bukan ajang bersenang-senang. Ada target afektif dan kognitif yang harus dicapai. Secara diam-diam atau langsung tentu saja kami akan melakukan penilaian. Meskipun sebagai ajang trial bukan berarti kalian menjadikan kegiatan ini sebagai beban. Kita masih bisa tertawa, bercanda, dan bahagia.
Kami berharap bahwa pencapaian kegiatan ini dapat diraih secara maksimal.[]
Kami menyebutnya The Villager. Program yang kami rancang bagi kelas selebas supaya mereka belajar berbaur dengan masyarakat, terlibat dalam kegiatan keseharian. The Villager diharapkan menjadi triger bagi kepekaan sosial peserta didik.
Bermula dari keprihatikan kami melihat intensitas peserta didik dengan teknologi, kurang aware terhadap lingkungan, dan besarnya hasrat konsumtif sehingga perlahan mengikis kepekaan terhadap kehidupan sosial dan juga lingkungan. Permasalahan yang sebenarnya tidak hanya dialami oleh peserta didik kami, tetapi secara menyeluruh generasi muda kota ini mulai bergeser ke arah sana.
Mengapa harus ke desa? Sebelum menjawabnya, saya teringat pada kisah Halimatus Sa’diyyah yang menjadi ibu asi bagi Nabi. Suku-suku pedalaman Arab membutuhkan dukungan dan perlindungan dari suku-suku besar Arab untuk menjaga keamanan mereka dan sebaliknya suku-suku pedalaman dibutuhkan untuk mendidik anak-anak mereka. Suku baduwi adalah “penjaga” bagi keaslian bahasa Arab karena sebagai kota metropolis, Makkah sudah terkontaminasi oleh berbagai suku dan bangsa.
Kita menyadari bahwa kota ini sudah cukup terdesak oleh konsumtif warganya yang sejalan dengan pertumbuhan perekonomian. Disadari atau tidak, gaya hidup para remajanya banyak yang keluar dari jalur etik masyarakat Timur. Hal yang dulu terasa tabu kini menjadi begitu fulgar dipertontonkan.
Di sekolah kami mengajarkan nilai-nilai religi supaya kesadaran ubudiyyah peserta didik terus meningkat. Di sekolah pun kami mengajarkan nilai-nilai muámmlah supaya kepekaan intrapersonal mereka tetap tumbuh. Akan tetapi, yang susah payah kami bangun itu kerap sekali runtuh oleh satu atau dua momen yang mendatangi mereka melalui televisi, terutama internet.
The Villager adalah jeda, spasi yang memisahkan satu momen dengan momen lainnya, kekosongan yang menjadi pemicu tumbuhnya nilai-nilai baru. Meskipun jeda ini terlalu sebentar tetapi sama sekali tidak menyurutkan optimisme kami.
Saat briefing dengan peserta didik saya sampaikan kepada mereka bahwa The Villager bukanlah momen rekreasi, bukan ajang bersenang-senang. Ada target afektif dan kognitif yang harus dicapai. Secara diam-diam atau langsung tentu saja kami akan melakukan penilaian. Meskipun sebagai ajang trial bukan berarti kalian menjadikan kegiatan ini sebagai beban. Kita masih bisa tertawa, bercanda, dan bahagia.
Kami berharap bahwa pencapaian kegiatan ini dapat diraih secara maksimal.[]