Di sekolah kami masjid menjadi pusat kegiatan. Mulai dari musyawarah guru sampai pertemuan siswa, dari diskusi kelompok hingga parent gathering, dan kegiatan lainnya.
Setiap Jum’at pagi kami melaksanakan Morning Briefing, pengarahan mingguan dari kepala sekolah. Itu pun kami laksanakan di masjid. Minggu lalu, dalam rangka pemilihan Student of the Year, di babak final para peserta harus mempresentasikan beberapa tema aktual. Itu pun di masjid. Sebelum pembagian rapor, kami biasa melakukan pertemuan walimurid. Itu juga kami lakukan di masjid.
Di masjid sekolah kami sering merasakan haru bersama-sama karena di sana, setelah shalat Dzuhur atau Dhuha, sering diumumkan kejuaran-kejuaran yang kami menangkan. Di masjid sekolah pun kami sering merasakan pilu karena surat keputusan skorsing dan pengembalian siswa ke walimurid dibacakan.
Karena kami sekolah islam kegiatan keagamaan selalu berhubungan dengan masjid. Apalagi memperingati hari besar Islam. Pernah kami memperingati maulid nabi, membaca kitab al-Barzanji, bershalawat hingga hadlroh. Kami pun pernah memperingati tahun baru Hijriyah, membuka acara dengan mengundang penceramah dan dilanjutkan dengan distribusi sembako ke panti asuhan.
Begitulah fungsi masjid bagi kami. Ia bukan sekedar tempat ibadah. Kegiatan-kegiatan kami hadir di sana, langsung mendekat pada-Nya. Barangkali inilah cari kami menjadi ‘lelaki yang hatinya selalu terpaut pada masjid’.
Apalagi kalau ada pertemua mendadak, masjid menjadi akomodasi tempat yang paling strategis. Cukup memberi pengumuman setelah shalat jamaah, semua personil yang dibutuhkan dapat dengan dengan mudah berkumpul.
Barangkali, karena kami terlalu sering melaksanakan kegiatan di masjid, berdiskusi dan berdealek, tertawa dan juga berduka, takut juga bahagia, sampai-sampai kami tidak tahu lagi bagaimana belajar tidak bicara. Menjelang shalat—jeda antara adzan dan shalat—kami merindukan keheningan karena riuh obrolan tak bisa kendalikan. Begitu juga dengan shalawat-shalawat dan pujia-pujian kepada junjungan.
Setiap Jum’at pagi kami melaksanakan Morning Briefing, pengarahan mingguan dari kepala sekolah. Itu pun kami laksanakan di masjid. Minggu lalu, dalam rangka pemilihan Student of the Year, di babak final para peserta harus mempresentasikan beberapa tema aktual. Itu pun di masjid. Sebelum pembagian rapor, kami biasa melakukan pertemuan walimurid. Itu juga kami lakukan di masjid.
Di masjid sekolah kami sering merasakan haru bersama-sama karena di sana, setelah shalat Dzuhur atau Dhuha, sering diumumkan kejuaran-kejuaran yang kami menangkan. Di masjid sekolah pun kami sering merasakan pilu karena surat keputusan skorsing dan pengembalian siswa ke walimurid dibacakan.
Karena kami sekolah islam kegiatan keagamaan selalu berhubungan dengan masjid. Apalagi memperingati hari besar Islam. Pernah kami memperingati maulid nabi, membaca kitab al-Barzanji, bershalawat hingga hadlroh. Kami pun pernah memperingati tahun baru Hijriyah, membuka acara dengan mengundang penceramah dan dilanjutkan dengan distribusi sembako ke panti asuhan.
Begitulah fungsi masjid bagi kami. Ia bukan sekedar tempat ibadah. Kegiatan-kegiatan kami hadir di sana, langsung mendekat pada-Nya. Barangkali inilah cari kami menjadi ‘lelaki yang hatinya selalu terpaut pada masjid’.
Apalagi kalau ada pertemua mendadak, masjid menjadi akomodasi tempat yang paling strategis. Cukup memberi pengumuman setelah shalat jamaah, semua personil yang dibutuhkan dapat dengan dengan mudah berkumpul.
Barangkali, karena kami terlalu sering melaksanakan kegiatan di masjid, berdiskusi dan berdealek, tertawa dan juga berduka, takut juga bahagia, sampai-sampai kami tidak tahu lagi bagaimana belajar tidak bicara. Menjelang shalat—jeda antara adzan dan shalat—kami merindukan keheningan karena riuh obrolan tak bisa kendalikan. Begitu juga dengan shalawat-shalawat dan pujia-pujian kepada junjungan.