Thursday, 26 May 2016

YANG TUMBUH DAN YANG RUNTUH DI MASJID KAMI

- No comments

Di sekolah kami masjid menjadi pusat kegiatan. Mulai dari musyawarah guru sampai pertemuan siswa, dari diskusi kelompok hingga parent gathering, dan kegiatan lainnya.

Setiap Jum’at pagi kami melaksanakan Morning Briefing, pengarahan mingguan dari kepala sekolah. Itu pun kami laksanakan di masjid. Minggu lalu, dalam rangka pemilihan Student of the Year, di babak final para peserta harus mempresentasikan beberapa tema aktual. Itu pun di masjid. Sebelum pembagian rapor, kami biasa melakukan pertemuan walimurid. Itu juga kami lakukan di masjid.

Di masjid sekolah kami sering merasakan haru bersama-sama karena di sana, setelah shalat Dzuhur atau Dhuha, sering diumumkan kejuaran-kejuaran yang kami menangkan. Di masjid sekolah pun kami sering merasakan pilu karena surat keputusan skorsing dan pengembalian siswa ke walimurid dibacakan.

Karena kami sekolah islam kegiatan keagamaan selalu berhubungan dengan masjid. Apalagi memperingati hari besar Islam. Pernah kami memperingati maulid nabi, membaca kitab al-Barzanji, bershalawat hingga hadlroh. Kami pun pernah memperingati tahun baru Hijriyah, membuka acara dengan mengundang penceramah dan dilanjutkan dengan distribusi sembako ke panti asuhan.

Begitulah fungsi masjid bagi kami. Ia bukan sekedar tempat ibadah. Kegiatan-kegiatan kami hadir di sana, langsung mendekat pada-Nya. Barangkali inilah cari kami menjadi ‘lelaki yang hatinya selalu terpaut pada masjid’.

Apalagi kalau ada pertemua mendadak, masjid menjadi akomodasi tempat yang paling strategis. Cukup memberi pengumuman setelah shalat jamaah, semua personil yang dibutuhkan dapat dengan dengan mudah berkumpul.

Barangkali, karena kami terlalu sering melaksanakan kegiatan di masjid, berdiskusi dan berdealek, tertawa dan juga berduka, takut juga bahagia, sampai-sampai kami tidak tahu lagi bagaimana belajar tidak bicara. Menjelang shalat—jeda antara adzan dan shalat—kami merindukan keheningan karena riuh obrolan tak bisa kendalikan. Begitu juga dengan shalawat-shalawat dan pujia-pujian kepada junjungan.

Thursday, 19 May 2016

MENULIS, KEBERANIAN BERTANYA DAN MENJAWAB

- No comments
Hari Kamis.

Bakal terasa tegang hari ini karena belum juga ada ide untuk materi #MenulisApaSaja.

Bukan hari ini saja, sejak tekad #MenulisApaSaja tertanam, hari Senin dan Kamis menjadi hari yang bukan biasa saja seperti lainnya karena di hari itu saya menantang diri sendiri untuk memposting tulisan.

Padahal sering sekali ide sekelibat terlintas di kepala. Seperti saat mandi atau berangkat ke sekolah. Secara teori, kalau ada ide tulis kata kuncinya untuk mengikat ide supaya tidak keluyuran di mana-mana tapi, bro, gak semudah itu.

Yang paling sering, ide datang bersamaan dengan takbirotul ikhrom. Nah. Kalau sudah begini mau bagaimana lagi? Kalau memilih khusyu', ya..., harus merelakan ide cemerlang itu lenyap. Kalau mau ngelunjak, ya... terus saja runut ide itu dari awal sampai akhir. Mulai dari plot hingga isinya. Sialnya, kalau tiba-tiba ide itu lenyap bersamaan dengan salam.

Keseharian saya bergelut dalam pendidikan. Banyak kejadian menarik yang bisa ditulis. Seperti obrolan anak-anak di kamar mandi; sisa-sisa makanan di kantin, riuh obrolan anak-anak menjelang shalat Dzuhur, dan lainnya.

Ada juga keinginan untuk berbagi cerita tentang Davina Cahya Syakira. Sejak Cahya mulai bisa mengucapkan 'ba ba ba' dan 'ta ta ta' hingga kini lebih senang bermainan mulut 'brbrbrbrbr...'

Kadang, yang membuat saya urung menulis/memposting tentang mereka adalah karena ketakutan saya untuk mempertanggungjawabkan tulisan saya. Saya tidak ingin hanya mengungkapkan masalah, tetapi ada keinginan untuk menghadirkan solusi. Imbas dari ketakutan itu adalah tulisan-tulisan itu cukup berhibrenasi di folder laptop saya. Sebegitukah?

Pandangan saya:
Maraknya copy/paste opini akhir-akhir ini menunjukkan semakin besar ketakutan untuk mempertanggungjawabkan opini pribadi. Termasuk saya. Apalagi dalam melakukan copy/paste, repost, share, diawali dengan "dari group sebelah". Sebelah mana? Sebelah empang?

Mirisnya, kalau ada yang tidak setuju lantas memberi sanggahan, eh, justru mendapatkan balasan "Maaf, saya cuma berbagi tulisan. Semoga bermanfaat."

Padahal, kalau copy/paste itu dilanjutkan dengan pandangan pribadi justru akan menjadi penguat--semacam referensi--untuk opini pribadi.

Sudahlah.

Tips: 
Semua yang ditumpahkan dalam sebuah tulisan berangkat dari jawaban atas apa yang terlintas, atau barangkali berangkat dari pertanyaan atas apa yang terlintas di dalam fikiran.

Kalau kita masih mampu mempertanyakan apa yang kita temui di masyarakat sebenarnya kita masih mampu melahirkan sebuah tulisan. Kalau kita masih mampu menjawab permasalahan yang timbul di masyarakat sebenarnya kita masih mampu melahirkan sebuah tulisan.

Hanya saja, berani atau tidak kita mempertanggungjawabkan pertanyaan atau jawaban yang kita tuangkan dalam tulisan? []


----------------------
Untuk memenuhi tantangan #MenulisApaSaja.

Tuesday, 17 May 2016

PENCARIAN AL-MA'MUN DAN PENGETAHUAN YANG HILANG [Bag. 2]

- No comments

Kagandrungan Al-Ma’mun  pada astrologi, tafsir posisi bintang, membuatnya selalu bertanya apa arti posisi bintang tertentu pada dirinya. Pencarian astrologis yang ditugaskannya pada para nujum di istananya itu berbuah berkah yang bisa jadi tak disangka orang: perkembangan ilmu astronomi dan penemuan alat-alat untuk mencandra pergerakan benda-benda langit.

Para ilmuwan ahli bahasa, ahli hitung, ahli ukur, hingga ahli ramal ia pekerjakan untuk sejumlah misi. Mereka berasal dari berbagai bangsa dengan latar belakang agama yang berbeda-beda. Salah satu penerjemahnya yang  paling produktif dan  terkemuka, Hunayn ibn Ishaq adalah seorang yang beragama Kristen Nestorian.

Situasi yang melingkupi al-Ma’mun adalah buah dari ekspansi kekuasaan dinasti islam yang kian meluas. Membentang dari jazirah Arab hingga Spanyol. Menjumpai berbagai pengguna bahasa, kebudayaan, dan agama. Mulai dari Yahudi, Kristen dari berbagai sekte, Hindu, Zoroaster, kaum Sabean pemuja bintang,  dari bangsa Persia, Mesir, Romawi, Cina, dan India. Semua itu berpengaruh pada atmosfer intelektual dunia islam saat itu.

Pada titik ini, al-Ma’mun tahu, bahwa pencariannya pada ilmu pengetahuan mensyaratkan hal yang tidak bisa disangkal: keterbukaan. Tidak gentar pada yang asing. Tidak cemas pada kemungkinan-kemungkinan baru. Sebagai seorang yang memahami kaidah ilmu, ia sangat sadar bahwa upaya pencaraian ilmu pengetahuan akan selalu mengguncang keyakinan dan pengetahuan lama. Karena itu, juga karena menjadi pengikut mu’tazilah yang teguh, dia sangat ingin menjaga keterbukaan dan kebebasan berpikir agar tidak terkungkung pada pengetahuan lama.

Dalam salah satu mimpinya, Ia bertemu seorang bijak bestari, Aristu—lidah Eropa menyebutnya Aristotle—, filsuf bangsa Yunani, yang memberinya nasihat: agama dan ilmu pengetahuan bukan pertentangan dan upayanya mempelajari hal-hal dari bangsa asing bukanlah ancaman buat kaum muslimin yang dipimpinnya.

Di bawah lindungan kuasanya yang bersandar kepada kebebasan berpikir, para intelektual dari berbagai agama itu secara bebas mengeksplorasi berbagai kemungkinan dan kemustahilan. Baghdad menjadi melting pot berbagai tradisi intelektual yang selama berabad sebelumnya terpisah karena pemilahan politis. Di antaranya, mempertemukan Hellenisme dengan tradisi intelektual Hindustan.

Al-Ma’mun dibesarkan dalam lingkungan yang gandrung ilmu pengetahuan, bukan hanya ilmu-ilmu tradisional kaum muslimin tapi juga ilmu-ilmu asing yang lebih luas.

Ia menjaga warisan perpustakaan terbesar di zaman itu dari ayahnnya, mengembangkannya menjadi pusat penerjemahan karya-karya Yunani. Di masa depan—ia mungkin tak menyangka—orang perlu berdebat apakah yang dilakukan generasinya itu sekadar melakukan proyek penerjemahan karya klasik Yunani dan Persia atau juga menambahkan, mengolah, dan mengunyahnya menjadi ilmu pengetahuan baru.

Untuk impian seperti itu, harga yang dibayar pun mahal. Sangat mahal. Bukan hanya ia harus mengeruk kas negara untuk membayar mahal para ilmuwan dan penerjemah yang membuat pusing para bendahara istana, ia pun perlu mengerahkan aparat kekerasan demi memastikan proyek pencarian pengetahuan tidak direcoki oleh perkara-perkara tahayul dan keagamaan.

Sejarah kemudian mencatat peristiwa Mihnah yang diluncurkannya 4 bulan sebelum ia lengser dari kekhalifahan di tahun 833 masehi dan kemudian berkembang tanpa kendali puluhan tahun berikutnya di bawah dua khalifah penggantinya.  Melalui Mihnah ini—yang dicatat sebagai sejarah kelam terutama oleh kalangan ulama sunni—dilakukan pemeriksaan apakah seseorang percaya al-Qur’an adalah mahkluk atau bukan. Mereka yang tak percaya bahwa Al-Quran adalah makhluk akan dihukum.

Ketika semburat merah di langit mulai luntur ia beranjak dari balkon. Langkahnya berat. Tidak jelas, apakah ia sadar jika tiga generasi berikutnya, Bait al-Hikmah yang dibangunnya dengan keringat dan darah itu, luntur dan runtuh di tangan Khalifah al-Mu’tashim yang lebih gandrung kepada kepercayaan berbasis tafsir literal atas al-Qur’an dan Hadis, yang kemudian mengembalikan umat islam kepada kepercayaan tradisional mereka.

Langkah berat al-Ma’mun membawanya masuk ke dalam  perpustakaan raksasanya.   Ia tidak menunggu bulan muncul. Mungkin ia akan menunggunya dan menatapnya dalam-dalam jika ia tahu bahwa sekian abad nanti—atas jasa-jasanya dalam mempelopori pembuatan alat-alat untuk mempelajari gerakan benda-benda langit— para ilmuwan dunia menamai salah satu cekungan di permukaan bulan itu demi mengenang namanya: almanon. [Habis]

--------------------------
Dikutip dari: islami.co

PENCARIAN AL-MA'MUN DAN PENGETAHUAN YANG HILANG [Bag. 1]

- No comments

Al Ma’mun, atau lengkapnya Abū Jaʿfar Abdullāh al-Ma’mūn ibn Hārūn al-Rashīd, khalifah ketujuh dari Dinasti Abasyiah itu berdiri di balkon Bait al-Hikmah yang megah, yang dibangun berdasar saran para ahli nujum dan arsitek terbaik zaman itu. Dinasti Abasyiah tengah berada di puncak kejayaannya setelah  sekitar seabad lalu  berhasil menggulung kekuasaan para keturunan Abu Sufyan.

Di hadapannya membentang kota Baghdad yang sentosa. Orang-orang meriuh lalu lalang. Menara-menara menjulang. Suara azan berkumandang dari kejauhan menandai maghrib yang datang bersama semburat lembayung yang muncul di langit sebelah barat.

Pandangan Al-Ma’mun menatap lurus ke arah gurun besar yang terhampar di sebelah kota Bagdad. Ke sanalah ia mengutus tim ekspedisi khusus yang dibentuknya demi memenuhi ambisi  dan keingintahuannnya yang paling dalam sejak masa kanak: berapa besar sebenarnya ukuran bumi ini?

Dari salah satu kitab yang ditulis Ptolomeus, ia membaca bahwa panjang keliling bumi adalah sekian ribu shades. Tapi apa itu shades? Benarkah klaim Ptolomeus itu? Para ahli bahasa, penerjemah, dan para ilmuwan yang dipanggilnya hanya memberi jawaban yang berbeda-beda dan malah membuatnya semakin bingung.

Tim ekspedisi itu berangkat menuju gurun Sinjar di dekat kota Mosul. Di sana mereka mulai mengerjakan pemetaan bumi, mengukur satu derajat lingkaran bumi,   melanjutkan upaya yang pernah dilakukan ahli matematika Yunani kuno, Eratosthenes, untuk kemudian menghitung panjang lingkaran bumi. Tim ilmuwan itu menyusuri garis meridian sambil membawa alat pengukur berbasis sinar matahari.

Sambil membelai rambut janggutnya yang sebagian sudah mulai memutih, maghrib itu al-Ma’mun menunggu laporan para penelitinya. Sebuah penelitian yang—satu abad kemudian—oleh al-Biruni dianggap sebagai metode usang yang tidak perlu. Mewarisi pengetahuan yang dirangkum di dalam Bait al-Hikmah yang didirikan al-Ma’mun, di sebuah puncak dunung di daratan Hindustan, al-Biruni menemukan cara trigonometrik untuk mengukur keliling bumi tanpa harus berpanas-panasan di atas gurun pasir seperti yang dilakukan para peneliti al-Ma’mun. Hal-hal serupa  temuan al-Biruni inilah barangkali yang diimpikan al-Ma’mun, yang kadang tak sempat dipetiknya sendiri: pengetahuan yang melimpah dan berkembang tanpa batas.

Kegandrungan Al-Ma’mun dan keingintahuannya pada “hal-hal sepele”  (seperti ukuran bumi, letak bintang tertentu, ukuran lintasan matahari, dan semacamnya), membuat proyek ilmu pengetahuan saat itu melampaui apa yang menjadi tugas utamanya.

Jika sebelumnya para ilmuwan  hanya bergelut dengan upaya-upaya teknis pemetaan dan astronomi demi kebutuhan relijius: menentukan arah kiblat yang tepat (ingat, semakin jauh orang islam dari tanah Mekah maka semakin rumit pula mereka menentukan arah kiblat), di bawah perintahnya pencarian pengetahuan menjadi upaya besar untuk meneruskan jejak para bijak Yunani kuno yang dengan konyol dicampakkan bangsa Romawi.

Mata tajam al-Ma’mun di balkon itu masih menatap turunnya Maghrib. Di benaknya tersimpan beribu pertanyaan dan keingintahuan. Kekuasaan besar yang ia raih pada tahun 813 melalui pertikaian penuh darah dengan saudara tirinya—al Amin—ia dedikasikan betul pada upaya-upaya ilmu pengetahuan.

Ia gelontorkan begitu banyak uang demi ambisi intelektualnya,  mendirikan dan mengembangkan Bait al-Hikmah, sebuah institusi ilmu pengetahuan paling maju di zamannya. Ia mengirim satu pasukan khusus menuju Romawi Timur hanya untuk berbelanja buku, termasuk buku bekas.

Di bawah kuasanya, pengetahuan seperti lebih penting daripada hal lain. Pampasan perang berupa buku lebih dihargai daripada pampasan harta benda. Bahkan, konon, buku kuno Almagest karya Ptolomeus, adalah syarat perdamaian dengan Kekaisaran Bizantium. [bersambung]

-------------------------
dikutip dari islami.co

Monday, 16 May 2016

KITA DAN TANGGUNGJAWAB ETIKA/MORAL DI TEMPAT TINGGAL

- 1 comment

Maraknya berita tentang perilaku remaja akhir-akhir ini membuat hati siapapun menjadi teriris. Sedih. Selain merasa empati kepada korban juga merasa sedih karena merekalah yang kelak akan menahkodai bumi pertiwi ini. Selain menunjukkan betapa rendah nilai etika moral para pelaku juga menunjukkan betapa pendidikan kita belum menyentuh dunia mereka.

Kalau sudah seperti ini, siapa yang dipersalahkan? Siapa yang mau bertanggungjawab?


Kita lah yang bertanggungjawab atas lingkungan tempat tinggal kita. Kita sebagai bagian dari kehidupan sosial. Kita sebagai klaster dari masyarakat yang disebut dengan keluarga.

Dari kasus-kasus menurunnya nilai moral anak bangsa itu semua kembali kepada diri kita untuk bangkit, saling peduli satu sama lain, tidak lagi opurtunis mencari kenikmatan hidup sendiri. Kita harus kembali pada dunia saling menyapa, pada dunia tanpa curiga.

Kita mulai menyapa siswa-siswi yang ada di mall, perempatan jalan, rental play station, warnet, dan tempat lainnya di saat jam aktif belajar. Barangkali mereka membolos. Karena dengan begitu kita menunjukkan pedulian dan keprihatinan.

Remaja-remaja kita adalah pemiru ulung. Mereka akan re-create apa yang dilihatnya dan diaktualisasikan dalam berbagai bentuk. Kita, sebagai bagian dari masyarakat, lah yang melakukan pendampingan.

Saya sering merasa kegeeran ketika seseorang bertanya tentang aktifitas atau kreatifitas yang saya lakukan, tak jarang justru spirit saya meledak, karena pertanyaan-pertanyaan yang positif menimbulkan energi positif. Jangan sampai under estimate dengan istilah kepo (knowing every particular object) justru kita enggan bertanya. Kalau yang dilakukan adalah perihal positif kepo justru menjadi penyalur energi.

Eh eh, kok muluk-muluk amat cita-cita hamba ini. Masyarakat—kebanyakan masyarakat—sudah sibuk mengurusi perut keluarganya. Saya dan juga mereka sibuk membanting tulang dan peras keringat. Bahkan ada, yang tidak hanya suami, istrinya pun diseret-seret untuk ikut menguli.

Barangkali sikap seperti ini timbul karena urusan moral dan etika sudah sangat dipercayakan kepada lembaga pendidikan.


Lalu, lembaga pendidikanlah yang bertanggungjawab. Mereka sudah mendaulat diri mereka untuk menjadi bagian dari lembaga yang akan mencerdaskan anak bangsa. Melalui kurikulum dan skenario pembelajaran anak-anak bangsa ini ditempa menjadi pribadi yang berkarakter dan relijius.

Lihatlah muatan pelajaran anak-anak kita. Ada lebih dari sebelas mata pelajaran mereka lahap setiap minggu. Ada ribuan aktifitas yang dikemas untuk menggembleng mereka yang tadinya hanya gabah hingga bisa menjadi nasi.

Ada pelajaran tentang tata negara, agama, seni dan budaya. Ada pelajaran tentang olahraga dan bahasa. Ada pelajaran tentang logika, matematika, hingga kimia. Lengkap sudah yang dipelajari anak-anak kita di sekolah.

Saat ini, sekolah pun telah melakukan banyak inovasi dalam pendidikan. Ada sekolah dengan konsep belajar sehari penuh (fullday school) atau sekolah yang bernuanda dan berbasis agama, seperti sekolah islam terpadu.

Sekolah-sekolah seperti ini semakin diminati karena sekolah-sekolah reguler dinilai kurang memberikan jawaban atas tantangan zaman perihal etika/moral. Selain itu, sekolah-sekolah seperti ini menjadi ‘baby sitter’ karena kedua orangtua mereka sibuk dalam berkarir.

Selain keluarga, sekolah adalah lembaga yang paling berperan dalam membentuk karakter anak. Di sekolahlah mereka belajar nilai kedisiplinan dan saling menghargai, berfikir kritis dan akademis, mengasah kepekaan sosial dan spiritual.

Jadi, kalau di luar sana terjadi aksi untuk menunjukkan eksistensi yang keluar batas norma masyarakat dan norma hukum, tentu kita bisa melihat bahwa ada yang salah dengan proses pendidikan di keluarga dan di sekolah.


Barangkali pemimpin negeri inilah yang perlu instropeksi. Seluruh jajarannya harus kembali melihat ke dalam diri sendiri.

Karena uang dan jabatan kah mereka mencari kedudukan atau karena keiginan untuk mengabdi kepada pertiwi?

Pertanyaan naif dan paradoks. Padahal semua sudah tahu sama tahu. Sedikit sekali orang yang benar-benar ingin merawat negeri ini.

Hanya karena tanah air ini pernah dikelolah layaknya sebuah perusahaan, bukan berarti kita putus asa untuk bangkit dan menjadikannya benar-benar sebuah negara. 

----------------------------
Untuk memenuhi tantangan #MenulisApaSaja.

Monday, 9 May 2016

PETANI KECIL MERAWAT KEBUN KECIL

- No comments

Petani kecil itu bingung harus menanam apa di pekarangan yang ia dapat dari seseorang sebagai hadiah. Melihat beberapa pekarang di sekitarnya yang ditanam jagung, ia pun mencoba menanam jagung. Dibelilah tiga pack bibit jagung lalu ditanam dan disirami dengan seribu harapan dan impian.

Seminggu dua minggu berlalu benih jagung itu tidak mengeluarkan tunasnya sama sekali. Petani kecil itu marah lalu membongkar benih jagung yang telah ditanam beberapa minggu yang lalu. Ia terkejut bukan kepalang. Benih-benih itu sudah tak berisi, ludes dimakan hama yang juga melahap seluruh harapan dan mimpinya.

Ia pulang dengan wajah lesu.

Ia mengambil waktu untuk merenungi diri. Sambil meneguk kopi dan barangkali untuk kembali mengumpulkan energi. Aha… benar saja. Kini ia ingin menanam ubi jalar.

Dari bibit yang ia dapat, ubi jalar itu ditanam dan disirami lebih banyak lagi harapan dan dan impian. Pagi dan sore. Kepada tetangga ia menggadang-gadang kalau ubinya nanti akan dipanen dengan keberkahan dan kebahagiaan.

Namun, sekian hari berlalu batang-batang ubi jalar itu tidak menumbuhkan daun baru. Justru semakin layu dan kering. Akhirnya mati.

Petani kecil malang itu kembali merenungi nasib diri, mengurung harapannya dalam kekecawaan dan kegagalan, lalu menjalani hari-harinya dengan keputusasaan seperti kebanyakan orang ketika ditimpa nestapa. Bahkan bukan hanya harapannya dikurung, tubuhnya pun dikungkung dalam kemalasan.

Pekarangannya dibiarkan begitu saja, ditumbuhi rumput liar yang kian meninggi, sarang semut rang-rang di mana-mana, dan yang mengerikan di semak-semak sudut pekarangan terdapat ular yang telah memangsa ternak tetangga.

Di permulaan senja, ketika langit biru dan putih mulai ditimpa celorot kuning, si petani berdiri di bibir pekarangannya. Ia memandangi pekarangan yang telah menjadi semak belukar itu. Tak hanya ilalang yang tumbuh bahkan tumbuhan lainnya ikut bertunas.

Biji rambutan yang dibuang tetangga bersamaan dengan sampah dapur sudah mengeluarkan tunasnya, daunnya membelah biji menjadi dua. Ada cabai dan tomat. Juga cimplukan yang buahnya asam manis saat ditelan. Termasuk ubi yang dikiranya telah mati dan tak bisa diharapkan.

“Mengapa sesuatu yang alamiah seperti ini justru bisa tumbuh begitu subur?” ucapnya pada hati kecilnya.

Petani kecil malang bertekad kembali menghilangkan kemalangannya. Ia pulang mengambil sabit dan kembali ke pekarangan lalu membabat rumput-rumput liar itu. Sesekali juga bergulat dengan semut dan nyamuk. Ia juga harus waspada kalau-kalau ular yang telah menyerang ternak tetangga juga menyerang kakinya.

Dirawatlah tumbuhan itu dengan suka cita, dengan keikhlasan.

“Untuk apa kau melakukan itu? Kau merawat tumbuhan tidak berguna itu.” Tanya seseorang.

“Apa harus kusebutkan alasan itu kepadamu?”

Petani kecil itu tetap berpegang teguh pada pendiriannya, meskipun petani-petani lain menertawai dan memperoloknya. Hati kecil petani kecil itu berbisik, tidak semua tindakan membutuhkan alasan yang bisa diterima orang lain. Tapi setiap tindakan membutuhkan niat suci di setiap permulannya, dan jagalah sampai penghujungnya.

Namun, bukan berarti ia tidak diserang keragu-raguan. Dalam sepinya ia disergap pertanyaan, apakah pohon itu akan berbuah seperti yang ada di dalam benakmu? []

----------------------
Untuk  memenuhi tantangan #MenulisApaSaja.

Wednesday, 4 May 2016

TANTANGAN MENULIS UNTUK DIRI SENDIRI

- No comments

Saat waktu senggang saya menyempatkan diri untuk membuka beberapa portal yang memuat tulisan-tulisan bernas atau mungkin satir. Juga beberapa situs favorit. Mengapa? Tentu, karena saya ingin belajar. 

Tulisan mereka yang mampang di halaman depan: postingan terbaru, terpopuler, paling banyak dikomentari, sering mengilhami atau setidaknya menjadi cemeti bagi saya untuk menulis. Sering terbesit pertanyaan 'bagaimana mereka bisa menulis seperti itu?' 

Kalau kita membaca How to dan ribuan tips menjadi penulis produktif kita bisa mengambil satu titik temu: sering-seringlah menulis. Menulis apa? Ya apa saja.

Saya yakin, tulisan-tulisan yang dimuat di media masa, portal, atau buku-buku yang bertebaran di galeri toko adalah hasil dari proses panjang nan disiplin. Sama seperti kekhusyuán dalam shalat yang merupakan proses panjang penempaan diri. Bukan hasil bimsalabim

Di antara mereka barangkali telah menulis ribuan kali, mengikuti mentoring menjadi penulis kreatif, ditolak berkali-kali oleh editor, dan pengalaman yang tak terhitung sehingga mereka bisa menjadi seperti sekarang ini. 

Sedangkan saya? 
Saya menulis hanya karena suka. Parahnya lagi karena hanya kalau sempat. Kualitas kedisplinan yang bobrok yang tidak patut ditiru. 

Ketika saya bertekad untuk menyisihkan waktu tiga puluh menit sampai satu jam setelah bel sekolah berdering, membaca beberapa lembar buku, saya berharap isi kepala saya mendapatkan asupan yang baik. Tapi saya kira itu tidak cukup. Saya ingin membuat satu tantangan untuk diri saya sendiri. 

#MenulisApaSaja. Tagar yang saya buat untuk memacu kreatifitas saya dalam menulis apa saja dan harus diposting pada hari Senin dan Kamis. Orang-orang puasa, saya posting tulisan. 

Bibit yang telah ditanam harus terus dirawat.

Tuesday, 3 May 2016

RUMAH

- No comments
Pertikaian berkepanjangan di negeri seribu nabi itu tidak lain adalah masalah tanah. Berita tentang ribuan linang air mata yang menghantarkan genting dan atas seng roboh juga perihal tanah. Drama kekanakan tentang reklamasi itu juga jelas nyata tentang tanah.

Tanah yang nantinya akan ditanami rumah-rumah adalah investasi yang tak ternilai. Harganya tidak pernah surut. Bisa menjual tanah belum tentu bisa membeli tanah dengan ukuran yang serupa. Tetapi orang-orang tidak akan pernah surut untuk mencarinya.

Semenjak Qasidaria melantunkan lagu “Tahun Dua Ribu” sampai sekarang bisnis properti ini tidak menunjukkan tanda-tanda surut. Justru semakin banyak sawah-sawah yang dijarah, hutan-hutan yang dirobohkan, hanya untk membuat cluster-cluster. Para pembelinya pun tidak kalah kalapnya. Dengan cara apa saja ditempuh untuk mereguknya.
Rumah adalah statemen kesabaran, kemandirian, kenyamanan, dan keamanan. Di sisi lain rumah juga bisa menjadi statemen untuk ketamakan, kemegahan, kesombongan, dan kebencian.

Ada yang memiliki rumah dibangun dari butiran keringatnya sendiri, menyisihkan keinginan untuk makan enak atau berpakaian mewah supaya bisa mendirikan bata merah. Tetapi ada juga yang memiliki rumah dengan sekali jentikkan jari yang membikin iri. Bangunannya tinggi-tinggi tetapi oleh tetangga dijauhi.

Ada yang karena tidak mampu membeli rumah, mengontrak rumah pun tak apa. Menyisihkan selembar atau dua lembar gaji supaya tahun depan bisa menyewa rumah lagi. Tetapi ada yang dengan pongahnya membeli rumah di sana-sini, mengontrakkan kepada siapa saja yang membutuhkan, memanfaatkannya sebagai ATM pribadi.

Ada yang hanya mampu tinggal di geribik-geribik, yang lobang dindingnya ditambal dengan plastik, atapnya pun dari asbes atau seng. Kalau datang musim panas, Masya Allah panasnya. Kalau datang musim hujan, Masya Allah beceknya. Tetapi ada yang setiap tahun menghiasi rumahnya dengan perabot serba mewah, memasang pendingin ruangan terbaik. Musim panas dan musim hujan tidak bisa lagi dibedakan.


Semua itu adalah ekspresi kerinduan. Rasa yang tumbuh di dalam sanubari untuk memiliki hunian yang nyaman. Sejujurnya, tidur tidak membutuhkan banyak fasilitas seperti kasur empuk dan lainnya.

Kalau saya mengantuk maka saya menyadari bahwa tubuh saya membutuhkan tidur. Tidak peduli saya tidur di lantai, dipan, atau kasur. Jangan-jangan, fasilitas mewah di kamar tidur itu justru memanjakan tubuh yang seharusnya bangkit malah merebah, yang seharusnya berkarya malah bermalas-malas.

Saya kira tidak hanya saya yang berpikir seperti itu. Ada ribuan atau jutaan orang yang tidak begitu mempedulikan apa yang menjadi alas tidurnya. Konsen hidupnya adalah berbuat baik untuk orang lain. Bekerja untuk memenuhi kewajibannya. Berkarya untuk aktualisasi hidupnya. Dengan begitu, kehidupan berjalan.


Seperti kebanyakan keluarga, akhirnya saya dan kekasih hidup saya sampai pada tema obrolan tentang rumah. Tentu saja dalam obrolan itu terdapat saran dan sanggahan, pertanyaan dan jawaban. Lalu, kesimpulan dari obrolan panjang itu adalah sebuah pertanyaan ‘kapan kita memiliki rumah?’ 

Satu yang ingin saya bagi dari diskusi kami. Saya teringat nasehat guru saya: jar qobla dar: lihatlah lingkungan sebelum kamu memutuskan untuk tinggal.

Karena rumah bukan sekedar tempat meluruskan punggung dan menggeretakkan tulang-tulang sendiri setelah lelah bekerja.

Rumah adalah tempat cinta dan kasih bersemi. Di dalamnya bukan hanya tubuhmu yang terkulai tetapi ada istri dan anakmu yang rapal wirid dan doa-doanya tak pernah berhenti. Nyanyiannya bukan hanya tetesan hujan di atas genting tetapi tangis anakmu dan cerewet mulut istrimu.

Sekolah yang sebenarnya bagi anak-anak adalah lingkungan tempat tinggal. Mereka belajar memilih diksi bahasa dari teman-teman sepermainan. Halaman rumah, pelataran masjid, jalan dan gang adalah pelajaran yang ditulis di papan tulis. Penjual jajan, teman bermain, tetangga, orang-orang di pos kamling, pangkalan ojek, mereka adalah mentor bagi anak-anak kita.

Di sana mereka melakukan elaborasi, di rumah mereka mencari konfirmasi. Tindakan kita, dengan sadar ataupun tidak, sering sekali menjadi konfirmasi bagi pencarian anak-anak. Kalau yang dikonfirmasi yang baik-baik, nah kalau ternyata yang dikonfirmasi adalah yang sebaliknya?


Ternyata, memilih rumah tidak semudah memilih selembar kain.