Di zaman sekarang ini apa enaknya nonton jaranan? Pertanyaan serupa mungkin juga pernah terlontar pada awal kemunculan televisi. Apa enaknya nonton televisi?
Jaranan itu seni rakyat. Musiknya cuma ting ting tong ting ting tong teng glung dari gamelan yang susah sekali mencari suara merdunya. Nyanyian sindennya melengking dari toa yang trible dan bass-nya sudah default. Kudanya juga cuma kuda-kudaan. Jadi apa enaknya?
Jaranan biasanya dimulai dari tari-tarian yang kecil-kecil dulu, dari kalangan anak-anak, yang gerakannya ritmis dengan suara gamelan. Terus ke yang lebih dewasa. Semakin lama tabuhan gamelan semakin seru dan cepat sampai akhirnya ada yang kesurupan, makan ini itu yang tidak wajar, tapi tetap mengikuti ritme gamelan. Jadi sebenarnya kesurupan atau tidak?
Konon, ada pawang yang menjaga jin-jin yang merasuki para penari. Berpakaian hitam, berkumis tebal, cincin akik yang menggunung, rokoknya dari tembakau dan cengkeh yang ia racik sendiri. Tangannya memegang kembang mawar. Iya, kembang mawar. Kalau di kebun binatang, pawang-pawangnya memegang cemeti. Kalau di pentas jaranan pawangnya menggenggam kembang mawar.
Nonton jaranan harus kisruh. Bukan penontonnya yang kisruh tapi penarinya. Harus ada yang kesetanan mengikuti ritme gamelan dan suara ye a ye a si pesinden. Kisruhnya justru menghibur. Penonton jadi bersorak riang. Kalau para penari tidak ada yang kesurupan, yang kesurupan justru para penonton. Biasanya kalau ada penonton yang kesurupan di luar ritme gamelan justru akan merepotkan pertunjukan. Jaranan bisa bubar segera.
Semakin kesurupan, semakin makan yang aneh-aneh, penonton semakin bersorak. Tidak hanya pemandu acara dan penabuh gamelan yang semakin kegirangan, jin-jin yang merasuki pun semakin keranjingan.
Ye a… ye a… e… e… e… yaa!!! Penonton bersorak.
Orang-orang di senayan sana pastinya sedang merindukan pertunjukan jaranan. Tapi kan tidak mungkin menggelar jaranan di halaman gedung yang terhormat itu. Bisa-bisa runtuh kehormatannya.
Seni jaranan memang ngangenin. Dari yang kecil sampai yang tua, kalau ada pertunjukan jaranan, pasti ikut menonton. Apalagi kalau semasa muda dulu pernah ikut njathil di balai desa. Ketika jarak masa lalu sudah mentok, maka kerinduannya tidak bisa dibendung lagi.
Ngangeninnya di mana?
Makanya, jaranan dirubah konsepnya. Supaya rasanya sama tapi bentuknya yang berbeda. Ada orang-orang yang memanjangkan kumisnya dan diam-diam menggenggam kembang mawar. Baju hitam pawang bisa diganti dengan jas hitam. Lalu menunggu gung yang tepat untuk memanggil jin supaya merasuk di salah satu penghuni gedung terhormat itu.
Jin zaman sekarang cuma merubah bentuk sedikit saja. Iya, sedikit saja. Yang penting sesaji dalam pertunjukan jaranan tetap dihidangkan. Apa sesajinya? Rakyat kecil.
Kalau rakyat kecil sudah bersorak maka senanglah si pawang jadi-jadian ini. Padahal rakyat kecil bukan bersorak karena kegirangan melainkan karena muak. Hanya saja siap yang bisa menahan dahsyatnya rindu. Makanya, cemoohan itu terdengar bak pujian.
Lama-kelamaan yang mabok kesurupan ini semakin banyak. Yang bersorak semakin ramai. Suaranya semakin sumbang. Yang menabuh gendang semakin tidak terhitung. Sinden berhenti bernyanyi. Bingung dia mau ikut tabuhan yang mana. Tapi yang mengherankan tidak ada satupun yang berhenti kesurupan. Justru semakin banyak.
Si pawang kelabakan karena jin yang sudah merasuk tidak mau diatur. “Enak saja. Saya bukan peliharaanmu! Gak usah ngatur-ngatur!” begitu kata si jin.
Yang kesurupan pun merambah ke televisi. Mereka yang paling seneng kalau ada yang kesurupan dan sekarang mereka yang kesurupan. Meliput sana sini, dapat berita yang laku dijual untuk disorakin. Kalau ternyata gak ada yang bersorak diplintir pun jadi. Ah, orang mabok kesurupan mana tahu baik dan salah, mana sadar benar dan salah.
Orang yang tadinya tidak suka jaranan jadi ikut-ikutan kesurupan. Ya gara-gara televisi ini. Padahal di hari televisi kemarin diingatkan kalau televisi adalah sarana untuk berbagi informasi. Loh, televisi itu untuk berbagi informasi? Iya, tapi itu dulu. Sekarang mereka berjualan.
Sudah!! Sudah!!
Saya kan tadi ingin ngomongin enaknya nonton jaranan di zaman sekarang ini tapi kenapa jadi nyinyir sana sini.
Jaranan itu seni rakyat. Musiknya cuma ting ting tong ting ting tong teng glung dari gamelan yang susah sekali mencari suara merdunya. Nyanyian sindennya melengking dari toa yang trible dan bass-nya sudah default. Kudanya juga cuma kuda-kudaan. Jadi apa enaknya?
Jaranan biasanya dimulai dari tari-tarian yang kecil-kecil dulu, dari kalangan anak-anak, yang gerakannya ritmis dengan suara gamelan. Terus ke yang lebih dewasa. Semakin lama tabuhan gamelan semakin seru dan cepat sampai akhirnya ada yang kesurupan, makan ini itu yang tidak wajar, tapi tetap mengikuti ritme gamelan. Jadi sebenarnya kesurupan atau tidak?
Konon, ada pawang yang menjaga jin-jin yang merasuki para penari. Berpakaian hitam, berkumis tebal, cincin akik yang menggunung, rokoknya dari tembakau dan cengkeh yang ia racik sendiri. Tangannya memegang kembang mawar. Iya, kembang mawar. Kalau di kebun binatang, pawang-pawangnya memegang cemeti. Kalau di pentas jaranan pawangnya menggenggam kembang mawar.
Nonton jaranan harus kisruh. Bukan penontonnya yang kisruh tapi penarinya. Harus ada yang kesetanan mengikuti ritme gamelan dan suara ye a ye a si pesinden. Kisruhnya justru menghibur. Penonton jadi bersorak riang. Kalau para penari tidak ada yang kesurupan, yang kesurupan justru para penonton. Biasanya kalau ada penonton yang kesurupan di luar ritme gamelan justru akan merepotkan pertunjukan. Jaranan bisa bubar segera.
Semakin kesurupan, semakin makan yang aneh-aneh, penonton semakin bersorak. Tidak hanya pemandu acara dan penabuh gamelan yang semakin kegirangan, jin-jin yang merasuki pun semakin keranjingan.
Ye a… ye a… e… e… e… yaa!!! Penonton bersorak.
Orang-orang di senayan sana pastinya sedang merindukan pertunjukan jaranan. Tapi kan tidak mungkin menggelar jaranan di halaman gedung yang terhormat itu. Bisa-bisa runtuh kehormatannya.
Seni jaranan memang ngangenin. Dari yang kecil sampai yang tua, kalau ada pertunjukan jaranan, pasti ikut menonton. Apalagi kalau semasa muda dulu pernah ikut njathil di balai desa. Ketika jarak masa lalu sudah mentok, maka kerinduannya tidak bisa dibendung lagi.
Ngangeninnya di mana?
Makanya, jaranan dirubah konsepnya. Supaya rasanya sama tapi bentuknya yang berbeda. Ada orang-orang yang memanjangkan kumisnya dan diam-diam menggenggam kembang mawar. Baju hitam pawang bisa diganti dengan jas hitam. Lalu menunggu gung yang tepat untuk memanggil jin supaya merasuk di salah satu penghuni gedung terhormat itu.
Jin zaman sekarang cuma merubah bentuk sedikit saja. Iya, sedikit saja. Yang penting sesaji dalam pertunjukan jaranan tetap dihidangkan. Apa sesajinya? Rakyat kecil.
Kalau rakyat kecil sudah bersorak maka senanglah si pawang jadi-jadian ini. Padahal rakyat kecil bukan bersorak karena kegirangan melainkan karena muak. Hanya saja siap yang bisa menahan dahsyatnya rindu. Makanya, cemoohan itu terdengar bak pujian.
Lama-kelamaan yang mabok kesurupan ini semakin banyak. Yang bersorak semakin ramai. Suaranya semakin sumbang. Yang menabuh gendang semakin tidak terhitung. Sinden berhenti bernyanyi. Bingung dia mau ikut tabuhan yang mana. Tapi yang mengherankan tidak ada satupun yang berhenti kesurupan. Justru semakin banyak.
Si pawang kelabakan karena jin yang sudah merasuk tidak mau diatur. “Enak saja. Saya bukan peliharaanmu! Gak usah ngatur-ngatur!” begitu kata si jin.
Yang kesurupan pun merambah ke televisi. Mereka yang paling seneng kalau ada yang kesurupan dan sekarang mereka yang kesurupan. Meliput sana sini, dapat berita yang laku dijual untuk disorakin. Kalau ternyata gak ada yang bersorak diplintir pun jadi. Ah, orang mabok kesurupan mana tahu baik dan salah, mana sadar benar dan salah.
Orang yang tadinya tidak suka jaranan jadi ikut-ikutan kesurupan. Ya gara-gara televisi ini. Padahal di hari televisi kemarin diingatkan kalau televisi adalah sarana untuk berbagi informasi. Loh, televisi itu untuk berbagi informasi? Iya, tapi itu dulu. Sekarang mereka berjualan.
Sudah!! Sudah!!
Saya kan tadi ingin ngomongin enaknya nonton jaranan di zaman sekarang ini tapi kenapa jadi nyinyir sana sini.