Tuesday, 24 November 2015

AYOK NONTON JARANAN

- No comments
Di zaman sekarang ini apa enaknya nonton jaranan? Pertanyaan serupa mungkin juga pernah terlontar pada awal kemunculan televisi. Apa enaknya nonton televisi?

Jaranan itu seni rakyat. Musiknya cuma ting ting tong ting ting tong teng glung dari gamelan yang susah sekali mencari suara merdunya. Nyanyian sindennya melengking dari toa yang trible dan bass-nya sudah default. Kudanya juga cuma kuda-kudaan. Jadi apa enaknya?

Jaranan biasanya dimulai dari tari-tarian yang kecil-kecil dulu, dari kalangan anak-anak, yang gerakannya ritmis dengan suara gamelan. Terus ke yang lebih dewasa. Semakin lama tabuhan gamelan semakin seru dan cepat sampai akhirnya ada yang kesurupan, makan ini itu yang tidak wajar, tapi tetap mengikuti ritme gamelan. Jadi sebenarnya kesurupan atau tidak?

Konon, ada pawang yang menjaga jin-jin yang merasuki para penari. Berpakaian hitam, berkumis tebal, cincin akik yang menggunung, rokoknya dari tembakau dan cengkeh yang ia racik sendiri. Tangannya memegang kembang mawar. Iya, kembang mawar. Kalau di kebun binatang, pawang-pawangnya memegang cemeti. Kalau di pentas jaranan pawangnya menggenggam kembang mawar.

Nonton jaranan harus kisruh. Bukan penontonnya yang kisruh tapi penarinya. Harus ada yang kesetanan mengikuti ritme gamelan dan suara ye a ye a si pesinden. Kisruhnya justru menghibur. Penonton jadi bersorak riang. Kalau para penari tidak ada yang kesurupan, yang kesurupan justru para penonton. Biasanya kalau ada penonton yang kesurupan di luar ritme gamelan justru akan merepotkan pertunjukan. Jaranan bisa bubar segera.

Semakin kesurupan, semakin makan yang aneh-aneh, penonton semakin bersorak. Tidak hanya pemandu acara dan penabuh gamelan yang semakin kegirangan, jin-jin yang merasuki pun semakin keranjingan.

Ye a… ye a… e… e… e… yaa!!! Penonton bersorak.


Orang-orang di senayan sana pastinya sedang merindukan pertunjukan jaranan. Tapi kan tidak mungkin menggelar jaranan di halaman gedung yang terhormat itu. Bisa-bisa runtuh kehormatannya.

Seni jaranan memang ngangenin. Dari yang kecil sampai yang tua, kalau ada pertunjukan jaranan, pasti ikut menonton. Apalagi kalau semasa muda dulu pernah ikut njathil di balai desa. Ketika jarak masa lalu sudah mentok, maka kerinduannya tidak bisa dibendung lagi.

Ngangeninnya di mana?

Makanya, jaranan dirubah konsepnya. Supaya rasanya sama tapi bentuknya yang berbeda. Ada orang-orang yang memanjangkan kumisnya dan diam-diam menggenggam kembang mawar. Baju hitam pawang bisa diganti dengan jas hitam. Lalu menunggu gung yang tepat untuk memanggil jin supaya merasuk di salah satu penghuni gedung terhormat itu.

Jin zaman sekarang cuma merubah bentuk sedikit saja. Iya, sedikit saja. Yang penting sesaji dalam pertunjukan jaranan tetap dihidangkan. Apa sesajinya? Rakyat kecil.

Kalau rakyat kecil sudah bersorak maka senanglah si pawang jadi-jadian ini. Padahal rakyat kecil bukan bersorak karena kegirangan melainkan karena muak. Hanya saja siap yang bisa menahan dahsyatnya rindu. Makanya, cemoohan itu terdengar bak pujian.

Lama-kelamaan yang mabok kesurupan ini semakin banyak. Yang bersorak semakin ramai. Suaranya semakin sumbang. Yang menabuh gendang semakin tidak terhitung. Sinden berhenti bernyanyi. Bingung dia mau ikut tabuhan yang mana. Tapi yang mengherankan tidak ada satupun yang berhenti kesurupan. Justru semakin banyak.

Si pawang kelabakan karena jin yang sudah merasuk tidak mau diatur. “Enak saja. Saya bukan peliharaanmu! Gak usah ngatur-ngatur!” begitu kata si jin.

Yang kesurupan pun merambah ke televisi. Mereka yang paling seneng kalau ada yang kesurupan dan sekarang mereka yang kesurupan. Meliput sana sini, dapat berita yang laku dijual untuk disorakin. Kalau ternyata gak ada yang bersorak diplintir pun jadi. Ah, orang mabok kesurupan mana tahu baik dan salah, mana sadar benar dan salah.

Orang yang tadinya tidak suka jaranan jadi ikut-ikutan kesurupan. Ya gara-gara televisi ini. Padahal di hari televisi kemarin diingatkan kalau televisi adalah sarana untuk berbagi informasi. Loh, televisi itu untuk berbagi informasi? Iya, tapi itu dulu. Sekarang mereka berjualan.


Sudah!! Sudah!!
Saya kan tadi ingin ngomongin enaknya nonton jaranan di zaman sekarang ini tapi kenapa jadi nyinyir sana sini. 

GURU SEBAGAI CAHAYA DI DALAM KEGELAPAN

- No comments

Cara Kita Dididik
Dari semua guru yang pernah mendidik kita, berapa guru yang benar-benar menginspirasi hidup kita—baik karena nasehat-nasehat yang mereka siramkan maupun cerita-cerita mereka yang mencerahkan?

Siapakah mereka yang mendidik kita kala di sekolah dasar? Siapakah mereka yang mulai mengenalkan hal-hal rumit saat kita di sekolah menengah? Siapakah mereka yang telah menjadikan kita sarjana?

Kebanyakan dari kita memiliki pengalaman yang sama dalam belajar padahal kita tidak satu mengenyam pendidikan di sekolah yang sama. Saya menikmati pendidikan yang didominasi dengan pendidikan verbal. Menceramahi murid sehabis-habisnya.

Cara mendidik seperti ini bisa jadi sangat relevan pada saat itu mengingat media informasi di kampung saya hanya melalui televisi dan radio. Gurulah yang kemudian menjadi pintu pembuka wawasan melalui dialog dan diskusi. Namun kebanyakan guru saya memilih berceramah dari pada melakukan eksplorasi melalui praktik dan kegiatan lainnya.

Tapi dari guru yang “banyak bicara” itu jadilah diri saya –juga mungkin kita—yang saat ini; yang masih cadas menyanyikan lagu Gebyar-gebyar, yang membagi bilangan dengan cara porogapit; yang masih terniang-niang nama Harmoko sebagai menteri Penerangan.

Apa yang membuat kita masih mengingat-ingat apa yang kita terima selama pendidikan sepuluh tahun yang lalu? Tidak terbesitkah keinginan supaya anak didik kita, kelak, melakukan hal yang sama dengan kita sekarang?

Cara Kita mendidik

Manusia adalah mahluk mimesis yang sangat cerdas. Masa-masa menjadi mahluk mimesis yang paling efektif adalah pada masa pertumbuhan, saat manusia menjadi “sponge” yang paling haus terhadap air. Lalu ketika kita menjadi guru cara kita mengajarkan tak jauh-jauh dari cara kita mendapatkannya. Silahkan direfleksi.

Saat ini, pendidikan kita mirip dengan apa yang digambarkan oleh Thomas Lickona dalam “Educating for Character: How Our Schools Teach Respect And Responsibility”. Urusan utama sekolah adalah bekerja, beraktifitas dan berkarya sebagai pembelajaran. Sekolah harus merancang rangkaian aktifitas yang dapat membantu siswa memahami kualitas dirinya, mengerjakan sesuatu dengan kemampuan terbaiknya, dan mengembangkan kualitas karakter yang melekat pada dirinya untuk mampu doing the best.

Tapi bagaimana peserta didik kita akan dapat menerima pembelajaran itu kalau sumber cahaya inspirasi mereka masih terbelenggu oleh sistem lama?

Mungkin kita pernah mendengar ungkapan “Yang berkuasa adalah mereka yang menguasai informasi”. Kalau kita tarik dalam perspektif pendidikan yang membedakan antara guru dengan murid adalah penguasaan informasi/materi. Kita dapat menemukan anomali di mana siswa tampak lebih menguasai materi dibandingkan gurunya.

Apa yang terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat kompleks. Nilai-nilai yang ditanam di sekolah diluluhlantakkan oleh dimensi layar flat. Sehingga kalau guru masih mengajar secara konvensional—ceramah, ceramah, dan ceramah lagi—kesempatan untuk memetik hasil yang maksimal dalam pendidikan menjadi sangat kecil.

Guru memang sudah seharusnya memperluas wawasan dan kritis terhadap lingkungan, senantiasa mengasah kemampuan mengajarnya untuk melakukan simulasi dan stimulus pada diri peserta didik. 

Semakin luas dan kaya wawasan guru semakin mungkin ia melakukan inovasi dalam pembelajaran.

Momentum Hari Guru

Sebagai murid dari guru-guru yang telah membesarkan saya, hanyalah untaian doa yang dapat kusenandungkan untuk mereka. Dari sekian banyak bimbingan sedikit sekali yang dapat kuingat—bahkan yang teringat justru kebandelan dan pembangkangan yang saya lakukan. Saya belajar tentang keuletan, tanggungjawab, dan keikhlasan dari mereka bahkan dari guru yang mata pelajarannya tidak saya sukai.

Bukan salah mereka kalau kita harus melahap habis banyak mata pelajaran. Bukan salah kita pula kita harus menyuapi peserta didik dengan sekian banyak mata pelajaran. Kita sadar bahwa kita tidak bisa melahap habis semua. Begitu pula kita menyadari bahwa peserta didik kita tidak bisa mengkonsumsi semuanya.

Lalu, apa yang bisa guru berikan kalau faktanya mereka tidak menyukai materi yang diajarkan?

Guru tidak hanya mengajarkan materi-materi di kelas. Ada proses ‘transfer’ lainnya yang kasat mata dan yang paling kasat mata dalam pembelajaran adalah energi guru menyambar reseptor-reseptor anak didiknya. Seredup apapun cahaya yang kita pancarkan, di dalam ruang gelap cahaya itu menjadi petunjuk dan harapan yang sangat besar.

Untuk itu, dalam momentum Hari Guru ini, alangkah baiknya kita merenungi posisi kita sebagai guru. Posisi yang memiliki derajat kemulyaan yang sangat tinggi. Dengan demikian, kita tidak hanya akan bersyukur dan memperbaiki diri tetapi juga berterimakasih pada mereka, pada guru-guru kita.

Sebagai penutup, saya kutipkan catatan di buku Thomas Lickona:
Saya menghawatirkan jika saya merupakan elemen penentu di dalam kelas … sebagai guru, saya memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membuat kehidupan siswa menjadi yang tidak karuan atau menjadikan mereka gembira. Saya dapat menjadi sebuah alat untuk menyiksa atau menjadi sebuat alat inspirasi. Saya dapat menghina atau bercanda, menyakiti atau menyembuhkan. Dalam segala situasi, sudah merupakan tanggung jawab saya utnuk menentukan apakah sebuah konflik akan dibesar-besarkan atau diselesaikan, dan memperlakukan seseorang anak dengan baik atau tidak.
--------------Haim Ginott

Monday, 9 November 2015

PAK WID, APA HASIL KUNJUNGAN BAPAK KE LAMPUNG?

- No comments
Presiden Joko Widodo meninjau pembanguan ruas tol Trans Sumatera. Tampak di foto Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (berbatik biru) turut mendampingi Presiden. (Sumber gambar dari Kompas.com)
Apa kabar pak Wid? Bagaimana kesan bapak setelah mengunjungi Lampung lagi?

Saya penasaran selain untuk meninjau proyek jalan tol apakah ada obrolan lain dengan pemerintah daerah kami tentang –mungkin—swasembada pangan, proyek perkebunan, atau mungkin bapak berbagi ide bagaimana caranya supaya listrik di Lampung tidak byar pet terus-terusan.

Bapak kemarin lewat jalan mana? Ketemu macet enggak? Beginilah Lampung, Pak. Jalannya gak selebar Jakarta. Sudah begitu, padat oleh mobil dan motor. Bapak tentu tidak merasakan kemacetan karena Paspamres, polisi, dan satpol PP sudah menyisir jalan lebih dulu. Dramatis pak, sama dramatisnya ketika Bapak naik kapal feri Bakauheni-Merak hanya dalam waktu satu jam padahal waktu normal tiga jam.

Sekali lagi, Bapak lewat jalan mana? Ketemu perkebunan kah? Bapak tentu tidak perlu merasakan takut kena begal. Selain bapak dikawal oleh Paspamres, di benak Bapak membayangkan kalau jalanan di sini aman seperti ketika Bapak melewati Alas Roban atau hutan jati di Ngawi.

Padahal, Pak, saya takut sekali kalau melintasi kebun karet atau sawit. Saya takut sekali kena begal. Malu saya berterus terang begini tapi harus saya curhatkan. Saya menyimpulkan dari cerita-cerita teman saya, kejadian pembegalan cenderung meningkat saat harga karet dan sawit turun. Tahu kenapa kan pak?

Kami yang hidup dari buruh perkebunan hanya punya satu sumur mata pencarian. Kalau yang satu-satunya ini sudah menipis apalagi sampai kering, kami harus bagaimana lagi. Yang masih punya iman tentu meyakini kalau Gusti Allah mahakaya. Tapi kan iman itu naik dan turun.

Bapak kan bisnisman tentu tahu betapa pentingnya keamanan bagi pertumbuhan ekonomi. Lampung itu kaya dengan hasil kebunnya pak. Kopi, lada, kakao, sawit, dan karet. Yang air-air juga ada Pak. Tambak udang di mesuji dan rawajitu itu gede banget. Pajaknya sangat potensial untuk mengisi rekening kas negara. Belum lagi pantai-pantainya. Yang masih ramai saat ini adalah pantai-pantai di Pesisir Barat dan Teluk Kiluan.

Kalau masyarakat masih was-was dengan keamanan, bagaimana mereka akan bercocok tanam, mana bisa mereka menjadwalkan liburan pariwisata. Mendingan di rumah, Pak.

Tolong pak, tolong jangan menjawab kalau sudah ada mentri yang menangani sawah dan kebun, sudah ada mentri yang menangani pariwisata, sudah ada ibu cantik yang menangani laut, sudah ada polisi yang menangani keamanan. Jangan sampai jawaban seperti itu meluncur dari bibirmu, Pak.

Kami yang tak punya sawah dan ladang mencoba usaha rumahan. Membuat selendang dan sarung tapis, kripik pisang, sablon, foto kopi, PS, rental internet, jasa ketik, jasa pijet, tukang perbaikan peralatan eletronik, dan lainnya. Tapi apalah arti semua itu kalau listrik byar pet.

Saya malu sekali kalau ada teman dari Jawa singgah di rumah. Teman saya berdecak kagum melihat bendungan Batu Tegi yang diresmikan ibu Bapak, Ibu Megawati. Bagaimana saya tidak malu, sudah punya bendungan pembangkit listrik segede itu tapi tetep saja byar pet. Listriknya malah dialirkan ke Palembang. Lalu, Tarakan bisa apa?

Jadi, kalau kunjungan Bapak kali ini hanya untuk meninjau pembangunan jalan tol, saya katakan Bapak jelas-jelas menjadi pemimpin yang merugi. Maaf, pak, saya harus berterus terang begini.