Featured Posts

Friday 24 June 2016

SAYA DAN TUHAN PUN BERPUASA

- No comments
SAYA punya hubungan yang absurd dengan buku ini: Tuhan pun Berpuasa. Di hari-hari biasa tiada ketertarikan untuk membuka buku ini. Setelah saya membelinya, menuntaskan bacaannya, lalu menumpuklah ia di antara koleksi buku lainnya. Tetapi kalau bulan puasa menjelang datang, ia seperti melambai-lambai ingin digapai.

Apa istimewanya buku ini?

Bagi kebanyak orang mungkin tidak begitu begitu berarti tetapi bagi saya buku ini seperti alarm yang mengingatkan saya bagaimana bulan puasa kali ini harus dijalani dan bagaiamana bulan-bulan setelahnya harus diarungi.

“Tuhan pun Berpuasa” ditulis oleh Emha Ainun Najib (mbah Nun) dan diterbitkan oleh penerbit Kompas pada tahun 2012. Dan pada tahun yang sama saya membelinya. Dan sampai sekarang saya tidak pernah bosan untuk membaca kembali pengalaman-pengalaman spiritual yang ada di dalamnya.

Mbah Nun (ia bukan lagi seorang “cak”) menunjukkan kepada saya bahwa puasa tidak saja tentang ngrekso dari segala perkara yang meteri. Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menumpahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan.

Mari kita lihat di sekitar kita, betapa banyak orang lebih suka menumpahkan segala-galanya. Kemarahan dan kebahagiaan, suka duka, canda tawa. Semuanya ditumpahkan dalam sebuah media yang inferior. Kalau toh kita temui sedang menahandiri, yang ia tahan adalah aib supaya tidak menyeruak ke permukaan.

Jarang yang kita temui orang yang menahan dirinya, apalagi ucapannya. “Manusia membutuhkan satu tahun untuk belajar berbicara, tapi manusia membutuhkan lima puluh tahun untuk belajar diam”. Diam yang bagaimana? Tentu saja diam yang akan melahirkan emas dalam diri dan lingkungannya.

Di buku ini, saya sering mengulang-ulang beberapa judul. Di antaranya adalah Puasa dalam Syahadat, Shalat, Zakat, Haji; Puasa: Menuju “Makan Sejati”; dan Tuhan pun “Berpuasa”.

Yang pertama, tulisan itu dibuka dengan kalimat begini:

Puasa adalah pilihan atau keharusan untuk ‘tidak’ atas sesuatu yang sewajarnya ‘ya’. Atau sebaliknya: keputusan untuk ‘ya’ terhadap sesuatu yang halal untuk ‘tidak’.

Tidak salah kan kalau saya makan sate dua puluh atau tiga puluh tusuk tiap malam? Atau membeli properti di sana-sini sebagai investasi meskipun saya tidak pernah meninggalinya? Atau keboleh-kebolehan lainnya.

Tetapi kemudian saya memutuskan ‘tidak’ karena dengan ‘tidak’ itu saya dapat menjauhi mudlorot mencapai derajat yang lebih tinggi. Seperti menahan diri untuk mengkonsumsi makanan dan minuman dari subuh hingga maghrib karena dengan begitu saya akan mendapatkan keuntungan yang bersifat jasadiah dan rohaniah.

Saya teringat beberapa kisah para sahabat Nabi dan pelaku sufi yang mempuasakan dirinya dari mengkonsumsi sesuatu padahal secara syariah dihalalkan. Hal ini bukan mengharamkan yang halal tapi dalam rangka penempaan terhadap nafsu, mendidik dan mendewasakan nafsu supaya ia tidak seperti anak kecil yang sudah besar tapi masih ngempeng.

Misal yang lain adalah berpuasa dalam zakat. Secara hukum fikih, zakat fitrah itu hanya satu mud tetapi engkau lebihkan. Hal ini bukan untuk menyalahi hukum fikih tetapi engkau lakukan karena kesadaranmu terhadap fungsi sosialmu.

Pada catatan kedua—Puasa: Menuju “Makan Sejati”—mbah Nun mengajak kita untuk merenungi makanan dan minuman apa yang selama ini kita konsumsi. Beliau mengambil ilmu Kanjeng Nabi, ‘hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang’.

Inilah rahasia kesehatan Rasulullah. Beliau bukan budak perut. Padahal perut hanyalah tempat mampir bagi sejumlah zat yang memberi energi pada kelangsungan hidup fungsi tubuh kita. Perut tidak pernah mempermasahkan apa yang masuk ke dalamnya, apakah pecel dari warung pojok ataukah pecel lele dari pasar malam, apakah pizza ataukah nasi goreng. Justru yang sering mempermasahkan—dan menuntut berlebihan—adalah lidah.

Lidahlah yang membuat kita menjadi feodalis, asosialis, yang membuat makan tidak lagi sejati. Padahal, makan adalah makan. Ketika perut lapar apa saja yang ada di meja akan dilahap. Justru perut yang tidak lapar yang menuntut aneka makan minuman tersedia di atas meja, yang justru tidak semuanya dibutuhkan oleh tubuh.

Kesejatian diri adalah momentum di mana kita mampu menahan diri. Dan puasa adalah langkah awal dan paling dasar untuk dapat menahan diri sendiri. Banyak kisah dan contoh tentang orang-orang yang mampu mencapai kemulyaan dan masing-masing dari mereka berangkat dari ‘puasa’.

Jangankan Rasulullah, Allah pun memberi contoh-contoh dahsyat tentang mengendalikan diri, baik tentang diri-Nya maupun tentang penciptaan-Nya. Dengan setia Allah tetap menerbitkan matahari tanpa peduli apakah manusia menyembah-Nya atau tidak. Dengan Rahmat-Nya Allah menahan diri-Nya untuk marah meskipun manusia tidak pernah bersyukur atas karunia-Nya.

Di sinilah Allah melakukan ‘puasa’. Allah sangat berhak untuk menghukum kita. Bayangkan, betapa sering kita meminta dari pada bersyukur, betapa sering kita mengaduh dari pada bersabar. Betapa sering kita acuh tak acuh terhadap lingkungan dari pada menyantuni fakir miskin.

Bayangkan kalau Allah tidak berpuasa, mungkin kita sudah sedari dulu dilumatnya.


Di buku ini, masih banyak nilai spiritual yang bisa digali. Hanya dari perihal puasa kita bisa membangun kehidupan sosial yang luar biasa.

Menjelang Ramadhan seperti sekarang ini saya seing was-was akankah puasa kali ini lebih bagus secara kualitas dari puasa tahun lalu? Apakah bulan-bulan setelahnya akan lebih baik dari bulan-bulan sebelumnya? Apakah puasa kali ini benar-benar puasa atau sekedar rutinitas untuk melegitimasi kemeriahan lebaran nanti?

Tida usah dijawab… Cukup saya renungkan.


-----------------------------------------
Saya tulis untuk tantangan #MenulisApaSaja sekaligus untuk mengucapkan Selamat Ulang Tahun kepada Emha Ainun Najib (mBah Nun) yang ke-63.

Thursday 26 May 2016

YANG TUMBUH DAN YANG RUNTUH DI MASJID KAMI

- No comments

Di sekolah kami masjid menjadi pusat kegiatan. Mulai dari musyawarah guru sampai pertemuan siswa, dari diskusi kelompok hingga parent gathering, dan kegiatan lainnya.

Setiap Jum’at pagi kami melaksanakan Morning Briefing, pengarahan mingguan dari kepala sekolah. Itu pun kami laksanakan di masjid. Minggu lalu, dalam rangka pemilihan Student of the Year, di babak final para peserta harus mempresentasikan beberapa tema aktual. Itu pun di masjid. Sebelum pembagian rapor, kami biasa melakukan pertemuan walimurid. Itu juga kami lakukan di masjid.

Di masjid sekolah kami sering merasakan haru bersama-sama karena di sana, setelah shalat Dzuhur atau Dhuha, sering diumumkan kejuaran-kejuaran yang kami menangkan. Di masjid sekolah pun kami sering merasakan pilu karena surat keputusan skorsing dan pengembalian siswa ke walimurid dibacakan.

Karena kami sekolah islam kegiatan keagamaan selalu berhubungan dengan masjid. Apalagi memperingati hari besar Islam. Pernah kami memperingati maulid nabi, membaca kitab al-Barzanji, bershalawat hingga hadlroh. Kami pun pernah memperingati tahun baru Hijriyah, membuka acara dengan mengundang penceramah dan dilanjutkan dengan distribusi sembako ke panti asuhan.

Begitulah fungsi masjid bagi kami. Ia bukan sekedar tempat ibadah. Kegiatan-kegiatan kami hadir di sana, langsung mendekat pada-Nya. Barangkali inilah cari kami menjadi ‘lelaki yang hatinya selalu terpaut pada masjid’.

Apalagi kalau ada pertemua mendadak, masjid menjadi akomodasi tempat yang paling strategis. Cukup memberi pengumuman setelah shalat jamaah, semua personil yang dibutuhkan dapat dengan dengan mudah berkumpul.

Barangkali, karena kami terlalu sering melaksanakan kegiatan di masjid, berdiskusi dan berdealek, tertawa dan juga berduka, takut juga bahagia, sampai-sampai kami tidak tahu lagi bagaimana belajar tidak bicara. Menjelang shalat—jeda antara adzan dan shalat—kami merindukan keheningan karena riuh obrolan tak bisa kendalikan. Begitu juga dengan shalawat-shalawat dan pujia-pujian kepada junjungan.

Thursday 19 May 2016

MENULIS, KEBERANIAN BERTANYA DAN MENJAWAB

- No comments
Hari Kamis.

Bakal terasa tegang hari ini karena belum juga ada ide untuk materi #MenulisApaSaja.

Bukan hari ini saja, sejak tekad #MenulisApaSaja tertanam, hari Senin dan Kamis menjadi hari yang bukan biasa saja seperti lainnya karena di hari itu saya menantang diri sendiri untuk memposting tulisan.

Padahal sering sekali ide sekelibat terlintas di kepala. Seperti saat mandi atau berangkat ke sekolah. Secara teori, kalau ada ide tulis kata kuncinya untuk mengikat ide supaya tidak keluyuran di mana-mana tapi, bro, gak semudah itu.

Yang paling sering, ide datang bersamaan dengan takbirotul ikhrom. Nah. Kalau sudah begini mau bagaimana lagi? Kalau memilih khusyu', ya..., harus merelakan ide cemerlang itu lenyap. Kalau mau ngelunjak, ya... terus saja runut ide itu dari awal sampai akhir. Mulai dari plot hingga isinya. Sialnya, kalau tiba-tiba ide itu lenyap bersamaan dengan salam.

Keseharian saya bergelut dalam pendidikan. Banyak kejadian menarik yang bisa ditulis. Seperti obrolan anak-anak di kamar mandi; sisa-sisa makanan di kantin, riuh obrolan anak-anak menjelang shalat Dzuhur, dan lainnya.

Ada juga keinginan untuk berbagi cerita tentang Davina Cahya Syakira. Sejak Cahya mulai bisa mengucapkan 'ba ba ba' dan 'ta ta ta' hingga kini lebih senang bermainan mulut 'brbrbrbrbr...'

Kadang, yang membuat saya urung menulis/memposting tentang mereka adalah karena ketakutan saya untuk mempertanggungjawabkan tulisan saya. Saya tidak ingin hanya mengungkapkan masalah, tetapi ada keinginan untuk menghadirkan solusi. Imbas dari ketakutan itu adalah tulisan-tulisan itu cukup berhibrenasi di folder laptop saya. Sebegitukah?

Pandangan saya:
Maraknya copy/paste opini akhir-akhir ini menunjukkan semakin besar ketakutan untuk mempertanggungjawabkan opini pribadi. Termasuk saya. Apalagi dalam melakukan copy/paste, repost, share, diawali dengan "dari group sebelah". Sebelah mana? Sebelah empang?

Mirisnya, kalau ada yang tidak setuju lantas memberi sanggahan, eh, justru mendapatkan balasan "Maaf, saya cuma berbagi tulisan. Semoga bermanfaat."

Padahal, kalau copy/paste itu dilanjutkan dengan pandangan pribadi justru akan menjadi penguat--semacam referensi--untuk opini pribadi.

Sudahlah.

Tips: 
Semua yang ditumpahkan dalam sebuah tulisan berangkat dari jawaban atas apa yang terlintas, atau barangkali berangkat dari pertanyaan atas apa yang terlintas di dalam fikiran.

Kalau kita masih mampu mempertanyakan apa yang kita temui di masyarakat sebenarnya kita masih mampu melahirkan sebuah tulisan. Kalau kita masih mampu menjawab permasalahan yang timbul di masyarakat sebenarnya kita masih mampu melahirkan sebuah tulisan.

Hanya saja, berani atau tidak kita mempertanggungjawabkan pertanyaan atau jawaban yang kita tuangkan dalam tulisan? []


----------------------
Untuk memenuhi tantangan #MenulisApaSaja.

Tuesday 17 May 2016

PENCARIAN AL-MA'MUN DAN PENGETAHUAN YANG HILANG [Bag. 2]

- No comments

Kagandrungan Al-Ma’mun  pada astrologi, tafsir posisi bintang, membuatnya selalu bertanya apa arti posisi bintang tertentu pada dirinya. Pencarian astrologis yang ditugaskannya pada para nujum di istananya itu berbuah berkah yang bisa jadi tak disangka orang: perkembangan ilmu astronomi dan penemuan alat-alat untuk mencandra pergerakan benda-benda langit.

Para ilmuwan ahli bahasa, ahli hitung, ahli ukur, hingga ahli ramal ia pekerjakan untuk sejumlah misi. Mereka berasal dari berbagai bangsa dengan latar belakang agama yang berbeda-beda. Salah satu penerjemahnya yang  paling produktif dan  terkemuka, Hunayn ibn Ishaq adalah seorang yang beragama Kristen Nestorian.

Situasi yang melingkupi al-Ma’mun adalah buah dari ekspansi kekuasaan dinasti islam yang kian meluas. Membentang dari jazirah Arab hingga Spanyol. Menjumpai berbagai pengguna bahasa, kebudayaan, dan agama. Mulai dari Yahudi, Kristen dari berbagai sekte, Hindu, Zoroaster, kaum Sabean pemuja bintang,  dari bangsa Persia, Mesir, Romawi, Cina, dan India. Semua itu berpengaruh pada atmosfer intelektual dunia islam saat itu.

Pada titik ini, al-Ma’mun tahu, bahwa pencariannya pada ilmu pengetahuan mensyaratkan hal yang tidak bisa disangkal: keterbukaan. Tidak gentar pada yang asing. Tidak cemas pada kemungkinan-kemungkinan baru. Sebagai seorang yang memahami kaidah ilmu, ia sangat sadar bahwa upaya pencaraian ilmu pengetahuan akan selalu mengguncang keyakinan dan pengetahuan lama. Karena itu, juga karena menjadi pengikut mu’tazilah yang teguh, dia sangat ingin menjaga keterbukaan dan kebebasan berpikir agar tidak terkungkung pada pengetahuan lama.

Dalam salah satu mimpinya, Ia bertemu seorang bijak bestari, Aristu—lidah Eropa menyebutnya Aristotle—, filsuf bangsa Yunani, yang memberinya nasihat: agama dan ilmu pengetahuan bukan pertentangan dan upayanya mempelajari hal-hal dari bangsa asing bukanlah ancaman buat kaum muslimin yang dipimpinnya.

Di bawah lindungan kuasanya yang bersandar kepada kebebasan berpikir, para intelektual dari berbagai agama itu secara bebas mengeksplorasi berbagai kemungkinan dan kemustahilan. Baghdad menjadi melting pot berbagai tradisi intelektual yang selama berabad sebelumnya terpisah karena pemilahan politis. Di antaranya, mempertemukan Hellenisme dengan tradisi intelektual Hindustan.

Al-Ma’mun dibesarkan dalam lingkungan yang gandrung ilmu pengetahuan, bukan hanya ilmu-ilmu tradisional kaum muslimin tapi juga ilmu-ilmu asing yang lebih luas.

Ia menjaga warisan perpustakaan terbesar di zaman itu dari ayahnnya, mengembangkannya menjadi pusat penerjemahan karya-karya Yunani. Di masa depan—ia mungkin tak menyangka—orang perlu berdebat apakah yang dilakukan generasinya itu sekadar melakukan proyek penerjemahan karya klasik Yunani dan Persia atau juga menambahkan, mengolah, dan mengunyahnya menjadi ilmu pengetahuan baru.

Untuk impian seperti itu, harga yang dibayar pun mahal. Sangat mahal. Bukan hanya ia harus mengeruk kas negara untuk membayar mahal para ilmuwan dan penerjemah yang membuat pusing para bendahara istana, ia pun perlu mengerahkan aparat kekerasan demi memastikan proyek pencarian pengetahuan tidak direcoki oleh perkara-perkara tahayul dan keagamaan.

Sejarah kemudian mencatat peristiwa Mihnah yang diluncurkannya 4 bulan sebelum ia lengser dari kekhalifahan di tahun 833 masehi dan kemudian berkembang tanpa kendali puluhan tahun berikutnya di bawah dua khalifah penggantinya.  Melalui Mihnah ini—yang dicatat sebagai sejarah kelam terutama oleh kalangan ulama sunni—dilakukan pemeriksaan apakah seseorang percaya al-Qur’an adalah mahkluk atau bukan. Mereka yang tak percaya bahwa Al-Quran adalah makhluk akan dihukum.

Ketika semburat merah di langit mulai luntur ia beranjak dari balkon. Langkahnya berat. Tidak jelas, apakah ia sadar jika tiga generasi berikutnya, Bait al-Hikmah yang dibangunnya dengan keringat dan darah itu, luntur dan runtuh di tangan Khalifah al-Mu’tashim yang lebih gandrung kepada kepercayaan berbasis tafsir literal atas al-Qur’an dan Hadis, yang kemudian mengembalikan umat islam kepada kepercayaan tradisional mereka.

Langkah berat al-Ma’mun membawanya masuk ke dalam  perpustakaan raksasanya.   Ia tidak menunggu bulan muncul. Mungkin ia akan menunggunya dan menatapnya dalam-dalam jika ia tahu bahwa sekian abad nanti—atas jasa-jasanya dalam mempelopori pembuatan alat-alat untuk mempelajari gerakan benda-benda langit— para ilmuwan dunia menamai salah satu cekungan di permukaan bulan itu demi mengenang namanya: almanon. [Habis]

--------------------------
Dikutip dari: islami.co

PENCARIAN AL-MA'MUN DAN PENGETAHUAN YANG HILANG [Bag. 1]

- No comments

Al Ma’mun, atau lengkapnya Abū Jaʿfar Abdullāh al-Ma’mūn ibn Hārūn al-Rashīd, khalifah ketujuh dari Dinasti Abasyiah itu berdiri di balkon Bait al-Hikmah yang megah, yang dibangun berdasar saran para ahli nujum dan arsitek terbaik zaman itu. Dinasti Abasyiah tengah berada di puncak kejayaannya setelah  sekitar seabad lalu  berhasil menggulung kekuasaan para keturunan Abu Sufyan.

Di hadapannya membentang kota Baghdad yang sentosa. Orang-orang meriuh lalu lalang. Menara-menara menjulang. Suara azan berkumandang dari kejauhan menandai maghrib yang datang bersama semburat lembayung yang muncul di langit sebelah barat.

Pandangan Al-Ma’mun menatap lurus ke arah gurun besar yang terhampar di sebelah kota Bagdad. Ke sanalah ia mengutus tim ekspedisi khusus yang dibentuknya demi memenuhi ambisi  dan keingintahuannnya yang paling dalam sejak masa kanak: berapa besar sebenarnya ukuran bumi ini?

Dari salah satu kitab yang ditulis Ptolomeus, ia membaca bahwa panjang keliling bumi adalah sekian ribu shades. Tapi apa itu shades? Benarkah klaim Ptolomeus itu? Para ahli bahasa, penerjemah, dan para ilmuwan yang dipanggilnya hanya memberi jawaban yang berbeda-beda dan malah membuatnya semakin bingung.

Tim ekspedisi itu berangkat menuju gurun Sinjar di dekat kota Mosul. Di sana mereka mulai mengerjakan pemetaan bumi, mengukur satu derajat lingkaran bumi,   melanjutkan upaya yang pernah dilakukan ahli matematika Yunani kuno, Eratosthenes, untuk kemudian menghitung panjang lingkaran bumi. Tim ilmuwan itu menyusuri garis meridian sambil membawa alat pengukur berbasis sinar matahari.

Sambil membelai rambut janggutnya yang sebagian sudah mulai memutih, maghrib itu al-Ma’mun menunggu laporan para penelitinya. Sebuah penelitian yang—satu abad kemudian—oleh al-Biruni dianggap sebagai metode usang yang tidak perlu. Mewarisi pengetahuan yang dirangkum di dalam Bait al-Hikmah yang didirikan al-Ma’mun, di sebuah puncak dunung di daratan Hindustan, al-Biruni menemukan cara trigonometrik untuk mengukur keliling bumi tanpa harus berpanas-panasan di atas gurun pasir seperti yang dilakukan para peneliti al-Ma’mun. Hal-hal serupa  temuan al-Biruni inilah barangkali yang diimpikan al-Ma’mun, yang kadang tak sempat dipetiknya sendiri: pengetahuan yang melimpah dan berkembang tanpa batas.

Kegandrungan Al-Ma’mun dan keingintahuannya pada “hal-hal sepele”  (seperti ukuran bumi, letak bintang tertentu, ukuran lintasan matahari, dan semacamnya), membuat proyek ilmu pengetahuan saat itu melampaui apa yang menjadi tugas utamanya.

Jika sebelumnya para ilmuwan  hanya bergelut dengan upaya-upaya teknis pemetaan dan astronomi demi kebutuhan relijius: menentukan arah kiblat yang tepat (ingat, semakin jauh orang islam dari tanah Mekah maka semakin rumit pula mereka menentukan arah kiblat), di bawah perintahnya pencarian pengetahuan menjadi upaya besar untuk meneruskan jejak para bijak Yunani kuno yang dengan konyol dicampakkan bangsa Romawi.

Mata tajam al-Ma’mun di balkon itu masih menatap turunnya Maghrib. Di benaknya tersimpan beribu pertanyaan dan keingintahuan. Kekuasaan besar yang ia raih pada tahun 813 melalui pertikaian penuh darah dengan saudara tirinya—al Amin—ia dedikasikan betul pada upaya-upaya ilmu pengetahuan.

Ia gelontorkan begitu banyak uang demi ambisi intelektualnya,  mendirikan dan mengembangkan Bait al-Hikmah, sebuah institusi ilmu pengetahuan paling maju di zamannya. Ia mengirim satu pasukan khusus menuju Romawi Timur hanya untuk berbelanja buku, termasuk buku bekas.

Di bawah kuasanya, pengetahuan seperti lebih penting daripada hal lain. Pampasan perang berupa buku lebih dihargai daripada pampasan harta benda. Bahkan, konon, buku kuno Almagest karya Ptolomeus, adalah syarat perdamaian dengan Kekaisaran Bizantium. [bersambung]

-------------------------
dikutip dari islami.co

Monday 16 May 2016

KITA DAN TANGGUNGJAWAB ETIKA/MORAL DI TEMPAT TINGGAL

- 1 comment

Maraknya berita tentang perilaku remaja akhir-akhir ini membuat hati siapapun menjadi teriris. Sedih. Selain merasa empati kepada korban juga merasa sedih karena merekalah yang kelak akan menahkodai bumi pertiwi ini. Selain menunjukkan betapa rendah nilai etika moral para pelaku juga menunjukkan betapa pendidikan kita belum menyentuh dunia mereka.

Kalau sudah seperti ini, siapa yang dipersalahkan? Siapa yang mau bertanggungjawab?


Kita lah yang bertanggungjawab atas lingkungan tempat tinggal kita. Kita sebagai bagian dari kehidupan sosial. Kita sebagai klaster dari masyarakat yang disebut dengan keluarga.

Dari kasus-kasus menurunnya nilai moral anak bangsa itu semua kembali kepada diri kita untuk bangkit, saling peduli satu sama lain, tidak lagi opurtunis mencari kenikmatan hidup sendiri. Kita harus kembali pada dunia saling menyapa, pada dunia tanpa curiga.

Kita mulai menyapa siswa-siswi yang ada di mall, perempatan jalan, rental play station, warnet, dan tempat lainnya di saat jam aktif belajar. Barangkali mereka membolos. Karena dengan begitu kita menunjukkan pedulian dan keprihatinan.

Remaja-remaja kita adalah pemiru ulung. Mereka akan re-create apa yang dilihatnya dan diaktualisasikan dalam berbagai bentuk. Kita, sebagai bagian dari masyarakat, lah yang melakukan pendampingan.

Saya sering merasa kegeeran ketika seseorang bertanya tentang aktifitas atau kreatifitas yang saya lakukan, tak jarang justru spirit saya meledak, karena pertanyaan-pertanyaan yang positif menimbulkan energi positif. Jangan sampai under estimate dengan istilah kepo (knowing every particular object) justru kita enggan bertanya. Kalau yang dilakukan adalah perihal positif kepo justru menjadi penyalur energi.

Eh eh, kok muluk-muluk amat cita-cita hamba ini. Masyarakat—kebanyakan masyarakat—sudah sibuk mengurusi perut keluarganya. Saya dan juga mereka sibuk membanting tulang dan peras keringat. Bahkan ada, yang tidak hanya suami, istrinya pun diseret-seret untuk ikut menguli.

Barangkali sikap seperti ini timbul karena urusan moral dan etika sudah sangat dipercayakan kepada lembaga pendidikan.


Lalu, lembaga pendidikanlah yang bertanggungjawab. Mereka sudah mendaulat diri mereka untuk menjadi bagian dari lembaga yang akan mencerdaskan anak bangsa. Melalui kurikulum dan skenario pembelajaran anak-anak bangsa ini ditempa menjadi pribadi yang berkarakter dan relijius.

Lihatlah muatan pelajaran anak-anak kita. Ada lebih dari sebelas mata pelajaran mereka lahap setiap minggu. Ada ribuan aktifitas yang dikemas untuk menggembleng mereka yang tadinya hanya gabah hingga bisa menjadi nasi.

Ada pelajaran tentang tata negara, agama, seni dan budaya. Ada pelajaran tentang olahraga dan bahasa. Ada pelajaran tentang logika, matematika, hingga kimia. Lengkap sudah yang dipelajari anak-anak kita di sekolah.

Saat ini, sekolah pun telah melakukan banyak inovasi dalam pendidikan. Ada sekolah dengan konsep belajar sehari penuh (fullday school) atau sekolah yang bernuanda dan berbasis agama, seperti sekolah islam terpadu.

Sekolah-sekolah seperti ini semakin diminati karena sekolah-sekolah reguler dinilai kurang memberikan jawaban atas tantangan zaman perihal etika/moral. Selain itu, sekolah-sekolah seperti ini menjadi ‘baby sitter’ karena kedua orangtua mereka sibuk dalam berkarir.

Selain keluarga, sekolah adalah lembaga yang paling berperan dalam membentuk karakter anak. Di sekolahlah mereka belajar nilai kedisiplinan dan saling menghargai, berfikir kritis dan akademis, mengasah kepekaan sosial dan spiritual.

Jadi, kalau di luar sana terjadi aksi untuk menunjukkan eksistensi yang keluar batas norma masyarakat dan norma hukum, tentu kita bisa melihat bahwa ada yang salah dengan proses pendidikan di keluarga dan di sekolah.


Barangkali pemimpin negeri inilah yang perlu instropeksi. Seluruh jajarannya harus kembali melihat ke dalam diri sendiri.

Karena uang dan jabatan kah mereka mencari kedudukan atau karena keiginan untuk mengabdi kepada pertiwi?

Pertanyaan naif dan paradoks. Padahal semua sudah tahu sama tahu. Sedikit sekali orang yang benar-benar ingin merawat negeri ini.

Hanya karena tanah air ini pernah dikelolah layaknya sebuah perusahaan, bukan berarti kita putus asa untuk bangkit dan menjadikannya benar-benar sebuah negara. 

----------------------------
Untuk memenuhi tantangan #MenulisApaSaja.

Monday 9 May 2016

PETANI KECIL MERAWAT KEBUN KECIL

- No comments

Petani kecil itu bingung harus menanam apa di pekarangan yang ia dapat dari seseorang sebagai hadiah. Melihat beberapa pekarang di sekitarnya yang ditanam jagung, ia pun mencoba menanam jagung. Dibelilah tiga pack bibit jagung lalu ditanam dan disirami dengan seribu harapan dan impian.

Seminggu dua minggu berlalu benih jagung itu tidak mengeluarkan tunasnya sama sekali. Petani kecil itu marah lalu membongkar benih jagung yang telah ditanam beberapa minggu yang lalu. Ia terkejut bukan kepalang. Benih-benih itu sudah tak berisi, ludes dimakan hama yang juga melahap seluruh harapan dan mimpinya.

Ia pulang dengan wajah lesu.

Ia mengambil waktu untuk merenungi diri. Sambil meneguk kopi dan barangkali untuk kembali mengumpulkan energi. Aha… benar saja. Kini ia ingin menanam ubi jalar.

Dari bibit yang ia dapat, ubi jalar itu ditanam dan disirami lebih banyak lagi harapan dan dan impian. Pagi dan sore. Kepada tetangga ia menggadang-gadang kalau ubinya nanti akan dipanen dengan keberkahan dan kebahagiaan.

Namun, sekian hari berlalu batang-batang ubi jalar itu tidak menumbuhkan daun baru. Justru semakin layu dan kering. Akhirnya mati.

Petani kecil malang itu kembali merenungi nasib diri, mengurung harapannya dalam kekecawaan dan kegagalan, lalu menjalani hari-harinya dengan keputusasaan seperti kebanyakan orang ketika ditimpa nestapa. Bahkan bukan hanya harapannya dikurung, tubuhnya pun dikungkung dalam kemalasan.

Pekarangannya dibiarkan begitu saja, ditumbuhi rumput liar yang kian meninggi, sarang semut rang-rang di mana-mana, dan yang mengerikan di semak-semak sudut pekarangan terdapat ular yang telah memangsa ternak tetangga.

Di permulaan senja, ketika langit biru dan putih mulai ditimpa celorot kuning, si petani berdiri di bibir pekarangannya. Ia memandangi pekarangan yang telah menjadi semak belukar itu. Tak hanya ilalang yang tumbuh bahkan tumbuhan lainnya ikut bertunas.

Biji rambutan yang dibuang tetangga bersamaan dengan sampah dapur sudah mengeluarkan tunasnya, daunnya membelah biji menjadi dua. Ada cabai dan tomat. Juga cimplukan yang buahnya asam manis saat ditelan. Termasuk ubi yang dikiranya telah mati dan tak bisa diharapkan.

“Mengapa sesuatu yang alamiah seperti ini justru bisa tumbuh begitu subur?” ucapnya pada hati kecilnya.

Petani kecil malang bertekad kembali menghilangkan kemalangannya. Ia pulang mengambil sabit dan kembali ke pekarangan lalu membabat rumput-rumput liar itu. Sesekali juga bergulat dengan semut dan nyamuk. Ia juga harus waspada kalau-kalau ular yang telah menyerang ternak tetangga juga menyerang kakinya.

Dirawatlah tumbuhan itu dengan suka cita, dengan keikhlasan.

“Untuk apa kau melakukan itu? Kau merawat tumbuhan tidak berguna itu.” Tanya seseorang.

“Apa harus kusebutkan alasan itu kepadamu?”

Petani kecil itu tetap berpegang teguh pada pendiriannya, meskipun petani-petani lain menertawai dan memperoloknya. Hati kecil petani kecil itu berbisik, tidak semua tindakan membutuhkan alasan yang bisa diterima orang lain. Tapi setiap tindakan membutuhkan niat suci di setiap permulannya, dan jagalah sampai penghujungnya.

Namun, bukan berarti ia tidak diserang keragu-raguan. Dalam sepinya ia disergap pertanyaan, apakah pohon itu akan berbuah seperti yang ada di dalam benakmu? []

----------------------
Untuk  memenuhi tantangan #MenulisApaSaja.

Wednesday 4 May 2016

TANTANGAN MENULIS UNTUK DIRI SENDIRI

- No comments

Saat waktu senggang saya menyempatkan diri untuk membuka beberapa portal yang memuat tulisan-tulisan bernas atau mungkin satir. Juga beberapa situs favorit. Mengapa? Tentu, karena saya ingin belajar. 

Tulisan mereka yang mampang di halaman depan: postingan terbaru, terpopuler, paling banyak dikomentari, sering mengilhami atau setidaknya menjadi cemeti bagi saya untuk menulis. Sering terbesit pertanyaan 'bagaimana mereka bisa menulis seperti itu?' 

Kalau kita membaca How to dan ribuan tips menjadi penulis produktif kita bisa mengambil satu titik temu: sering-seringlah menulis. Menulis apa? Ya apa saja.

Saya yakin, tulisan-tulisan yang dimuat di media masa, portal, atau buku-buku yang bertebaran di galeri toko adalah hasil dari proses panjang nan disiplin. Sama seperti kekhusyuán dalam shalat yang merupakan proses panjang penempaan diri. Bukan hasil bimsalabim

Di antara mereka barangkali telah menulis ribuan kali, mengikuti mentoring menjadi penulis kreatif, ditolak berkali-kali oleh editor, dan pengalaman yang tak terhitung sehingga mereka bisa menjadi seperti sekarang ini. 

Sedangkan saya? 
Saya menulis hanya karena suka. Parahnya lagi karena hanya kalau sempat. Kualitas kedisplinan yang bobrok yang tidak patut ditiru. 

Ketika saya bertekad untuk menyisihkan waktu tiga puluh menit sampai satu jam setelah bel sekolah berdering, membaca beberapa lembar buku, saya berharap isi kepala saya mendapatkan asupan yang baik. Tapi saya kira itu tidak cukup. Saya ingin membuat satu tantangan untuk diri saya sendiri. 

#MenulisApaSaja. Tagar yang saya buat untuk memacu kreatifitas saya dalam menulis apa saja dan harus diposting pada hari Senin dan Kamis. Orang-orang puasa, saya posting tulisan. 

Bibit yang telah ditanam harus terus dirawat.

Tuesday 3 May 2016

RUMAH

- No comments
Pertikaian berkepanjangan di negeri seribu nabi itu tidak lain adalah masalah tanah. Berita tentang ribuan linang air mata yang menghantarkan genting dan atas seng roboh juga perihal tanah. Drama kekanakan tentang reklamasi itu juga jelas nyata tentang tanah.

Tanah yang nantinya akan ditanami rumah-rumah adalah investasi yang tak ternilai. Harganya tidak pernah surut. Bisa menjual tanah belum tentu bisa membeli tanah dengan ukuran yang serupa. Tetapi orang-orang tidak akan pernah surut untuk mencarinya.

Semenjak Qasidaria melantunkan lagu “Tahun Dua Ribu” sampai sekarang bisnis properti ini tidak menunjukkan tanda-tanda surut. Justru semakin banyak sawah-sawah yang dijarah, hutan-hutan yang dirobohkan, hanya untk membuat cluster-cluster. Para pembelinya pun tidak kalah kalapnya. Dengan cara apa saja ditempuh untuk mereguknya.
Rumah adalah statemen kesabaran, kemandirian, kenyamanan, dan keamanan. Di sisi lain rumah juga bisa menjadi statemen untuk ketamakan, kemegahan, kesombongan, dan kebencian.

Ada yang memiliki rumah dibangun dari butiran keringatnya sendiri, menyisihkan keinginan untuk makan enak atau berpakaian mewah supaya bisa mendirikan bata merah. Tetapi ada juga yang memiliki rumah dengan sekali jentikkan jari yang membikin iri. Bangunannya tinggi-tinggi tetapi oleh tetangga dijauhi.

Ada yang karena tidak mampu membeli rumah, mengontrak rumah pun tak apa. Menyisihkan selembar atau dua lembar gaji supaya tahun depan bisa menyewa rumah lagi. Tetapi ada yang dengan pongahnya membeli rumah di sana-sini, mengontrakkan kepada siapa saja yang membutuhkan, memanfaatkannya sebagai ATM pribadi.

Ada yang hanya mampu tinggal di geribik-geribik, yang lobang dindingnya ditambal dengan plastik, atapnya pun dari asbes atau seng. Kalau datang musim panas, Masya Allah panasnya. Kalau datang musim hujan, Masya Allah beceknya. Tetapi ada yang setiap tahun menghiasi rumahnya dengan perabot serba mewah, memasang pendingin ruangan terbaik. Musim panas dan musim hujan tidak bisa lagi dibedakan.


Semua itu adalah ekspresi kerinduan. Rasa yang tumbuh di dalam sanubari untuk memiliki hunian yang nyaman. Sejujurnya, tidur tidak membutuhkan banyak fasilitas seperti kasur empuk dan lainnya.

Kalau saya mengantuk maka saya menyadari bahwa tubuh saya membutuhkan tidur. Tidak peduli saya tidur di lantai, dipan, atau kasur. Jangan-jangan, fasilitas mewah di kamar tidur itu justru memanjakan tubuh yang seharusnya bangkit malah merebah, yang seharusnya berkarya malah bermalas-malas.

Saya kira tidak hanya saya yang berpikir seperti itu. Ada ribuan atau jutaan orang yang tidak begitu mempedulikan apa yang menjadi alas tidurnya. Konsen hidupnya adalah berbuat baik untuk orang lain. Bekerja untuk memenuhi kewajibannya. Berkarya untuk aktualisasi hidupnya. Dengan begitu, kehidupan berjalan.


Seperti kebanyakan keluarga, akhirnya saya dan kekasih hidup saya sampai pada tema obrolan tentang rumah. Tentu saja dalam obrolan itu terdapat saran dan sanggahan, pertanyaan dan jawaban. Lalu, kesimpulan dari obrolan panjang itu adalah sebuah pertanyaan ‘kapan kita memiliki rumah?’ 

Satu yang ingin saya bagi dari diskusi kami. Saya teringat nasehat guru saya: jar qobla dar: lihatlah lingkungan sebelum kamu memutuskan untuk tinggal.

Karena rumah bukan sekedar tempat meluruskan punggung dan menggeretakkan tulang-tulang sendiri setelah lelah bekerja.

Rumah adalah tempat cinta dan kasih bersemi. Di dalamnya bukan hanya tubuhmu yang terkulai tetapi ada istri dan anakmu yang rapal wirid dan doa-doanya tak pernah berhenti. Nyanyiannya bukan hanya tetesan hujan di atas genting tetapi tangis anakmu dan cerewet mulut istrimu.

Sekolah yang sebenarnya bagi anak-anak adalah lingkungan tempat tinggal. Mereka belajar memilih diksi bahasa dari teman-teman sepermainan. Halaman rumah, pelataran masjid, jalan dan gang adalah pelajaran yang ditulis di papan tulis. Penjual jajan, teman bermain, tetangga, orang-orang di pos kamling, pangkalan ojek, mereka adalah mentor bagi anak-anak kita.

Di sana mereka melakukan elaborasi, di rumah mereka mencari konfirmasi. Tindakan kita, dengan sadar ataupun tidak, sering sekali menjadi konfirmasi bagi pencarian anak-anak. Kalau yang dikonfirmasi yang baik-baik, nah kalau ternyata yang dikonfirmasi adalah yang sebaliknya?


Ternyata, memilih rumah tidak semudah memilih selembar kain.

Thursday 7 April 2016

BATMAN

- No comments
Batman tak pernah satu. Maka ia tak berhenti. Apa yang disajikan Christopher Nolan sejak Batman Begins (2005) sampai dengan The Dark Knight Rises (2012) berbeda jauh dari asal-muasalnya, tokoh cerita bergambar karya Bob Kane dan Bill Finger dari tahun 1939. Bahkan tiap film dalam trilogi Nolan sebenarnya tak menampilkan sosok yang sama, meskipun Christian Bale memegang peran utama dalam ketiga-tiganya.

Tiap kali kita memang bisa mengidentifikasinya dari sebuah topeng kelelawar yang itu-itu juga. Tapi tiap kali ia dilahirkan kembali sebagai sebuah jawaban baru terhadap tantangan baru. Sebab selalu ada hubungan dengan hal-ihwal yang tak berulang, tak terduga—dengan ancaman penjahat besar The Joker atau Bane, dalam krisis Kota Gotham yang berbeda-beda.

Sebab itu Batman bisa bercerita tentang asal mula, tapi asal mula dalam posisinya yang bisa diabaikan: wujud yang pertama tak menentukan sah atau tidaknya wujud yang kedua dan terakhir. Wujud yang kedua dan terakhir bukan cuma sebuah fotokopi dari yang pertama. Tak ada yang-Sama yang jadi model. Yang ada adalah simulacrum—yang masing-masing justru menegaskan yang-Beda dan yang-Banyak dari dan ke dalam dirinya, dan tiap aktualisasi punya harkat yang singular, tak bisa dibandingkan. Mana yang “asli” tak serta-merta mesti dihargai lebih tinggi.

Sebab kreativitas berbeda dari orisinalitas. Kreativitas berangkat ke masa depan. Orisinalitas mengacu ke masa lalu. Masa yang telah silam itu tentu saja baru ada setelah ditemukan kembali. Tapi arkeologi, yang menggali dan menelaah petilasan tua, perlu dilihat sebagai bagian dari proses mengenali masa lalu yang tak mungkin dikenali. Pada titik ketika masa lalu mengelak, ketika kita tak merasa terkait dengan petilasan tua, ketika itulah kreativitas lahir.

Saya kira bukan kebetulan ketika dalam komik Night on Earth karya Warren Ellis dan John Cassaday (2003), Planetary, sebuah organisasi rahasia, menyebut diri “archeologists of the impossible”.

Para awaknya datang ke Kota Gotham, untuk mencari seorang anak yang bisa membuat kenyataan di sekitarnya berganti-ganti seperti ketika ia dengan remote control menukar saluran televisi. Kota Gotham pun berubah dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain, dan Batman, penyelamat kota itu, bergerak dalam pelbagai penjelmaannya. Ada Batman sang penuntut balas yang digambarkan Bob Kane; ada Batman yang muncul dari serial televisi tahun 1966, yang dibintangi oleh Adam West sebagai Batman yang lunak; ada juga Batman yang suram menakutkan dalam cerita bergambar Frank Miller. Dan semua itu terjadi di gang tempat ayah Bruce Wayne dibunuh penjahat—yang membuat si anak jadi pelawan laku kriminal.

Satu topeng, satu nama—sebuah sintesis dari variasi yang banyak itu. Tapi sintesis itu berbeda dengan penyatuan. Ia tak menghasilkan identitas yang satu dan pasti. Dan lebih penting lagi, sintesis itu tak meletakkan semua varian dalam sebuah norma yang baku. Tak dapat ditentukan mana yang terbaik, tepatnya: mana yang terbaik untuk selama-lamanya.

Sebab itu Kota Gotham dalam Night on Earth bisa jadi sebuah alegori. Ia bisa mengajarkan kepada kita tentang aneka perubahan yang tak bisa dielakkan dan sering tak terduga. Ia bisa mengasyikkan tapi sekaligus membingungkan. Ia paduan antara sesuatu yang “utuh” dan sesuatu yang kacau.

Dengan alegori itu tak bisa kita katakan, mengikuti Leibniz, bahwa inilah “dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin”, le meilleur des mondes possibles. Bukan saja optimisme itu berlebihan. Voltaire pernah mencemoohnya dalam novelnya yang kocak, Candide, sebab di dunia ini kita tetap saja akan menghadapi bermacam-macam kejahatan dan bencana, 1.001 inkarnasi The Joker dengan segala mala yang diakibatkannya. Kesalahan Leibniz—yang hendak menunjukkan sifat Tuhan yang Maha Pemurah dan Pengasih—justru telah memandang Tuhan sebagai kekuasaan yang tak murah hati: Tuhan yang hanya menganggap kehidupan kita sebagai yang terbaik, dan dengan begitu dunia yang bukan dunia kita tak patut ada dan diakui.

Kesalahan Leibniz juga karena ia terpaku kepada sebuah pengalaman yang seakan-akan tak akan berubah. Padahal, seperti Kota Gotham dalam Night on Earth, dunia mirip ribuan gambar yang berganti-ganti di layar, dan berganti-ganti pula cara kita memandangnya.

Penyair Wallace Stevens menulis sebuah sajak, Thirteen Ways of Looking at a Blackbird. Salah satu bait dari yang 13 itu mengatakan,
    But I know, too,
    That the blackbird is involved
    In what I know

Memandang seekor burung-hitam bukan hanya bisa dilakukan dengan lebih dari satu cara. Juga ada keterpautan antara yang kita pandang dan “yang aku ketahui”. Dan “yang aku ketahui” tak pernah “aku ketahui semuanya”. Dengan kata lain, dunia—seperti halnya Kota Gotham—selamanya adalah dunia yang tak bisa seketika disimpulkan.

Tak berarti pengalaman adalah sebuah proses yang tak pernah tampak wujud dan ujungnya. Pengalaman bukanlah arus sungai yang tak punya tebing. Meskipun demikian, wujud, ujung, dan tebing itu juga tak terpisah dari “yang aku ketahui”. Dunia di luarku selamanya terlibat dengan tafsir yang aku bangun dari pengalamanku—tafsir yang tak akan bisa stabil sepanjang masa.

Walhasil, akhirnya selalu harus ada kesadaran akan batas tafsir. Akan selalu ada yang tak akan terungkap—dan bersama itu, akan selalu ada Gotham yang terancam kekacauan dan keambrukan. Itu sebabnya dalam The Dark Knight Rises, Inspektur Gordon tetap mau menjaga misteri Batman, biarpun dikabarkan Bruce Wayne sudah mati. Dengan demikian bahkan penjahat yang tecerdik sekalipun tak akan bisa mengklaim “aku tahu”.

--------------------------------
Dikutip dari Catatan Pinggir Gunawan Muhammad, "Batman", Majalah Tempo, Edisi Senin, 06 Agustus 2012~

Saturday 20 February 2016

THE VILLAGERS, MENGASAH KEPEKAAN SOSIAL PESERTA DIDIK

- No comments

Desa Gedong Pakuon yang terletak di kecamatan Baradatu, Way Kanan, akan menjadi destinasi kami. Siswa-siswi kami, sebanyak tiga puluh dua siswa, akan tinggal di sana untuk sepekan mulai 22 sampai 26 Februari 2016. Mereka akan berbaur dengan warga, membuat gula merah, jajanan kelanting, dan juga menderes batang pohon karet.

Kami menyebutnya The Villager. Program yang kami rancang bagi kelas selebas supaya mereka belajar berbaur dengan masyarakat, terlibat dalam kegiatan keseharian. The Villager diharapkan menjadi triger bagi kepekaan sosial peserta didik.

Bermula dari keprihatikan kami melihat intensitas peserta didik dengan teknologi, kurang aware terhadap lingkungan, dan besarnya hasrat konsumtif sehingga perlahan mengikis kepekaan terhadap kehidupan sosial dan juga lingkungan. Permasalahan yang sebenarnya tidak hanya dialami oleh peserta didik kami, tetapi secara menyeluruh generasi muda kota ini mulai bergeser ke arah sana.

Mengapa harus ke desa? Sebelum menjawabnya, saya teringat pada kisah Halimatus Sa’diyyah yang menjadi ibu asi bagi Nabi. Suku-suku pedalaman Arab membutuhkan dukungan dan perlindungan dari suku-suku besar Arab untuk menjaga keamanan mereka dan sebaliknya suku-suku pedalaman dibutuhkan untuk mendidik anak-anak mereka. Suku baduwi adalah “penjaga” bagi keaslian bahasa Arab karena sebagai kota metropolis, Makkah sudah terkontaminasi oleh berbagai suku dan bangsa.

Kita menyadari bahwa kota ini sudah cukup terdesak oleh konsumtif warganya yang sejalan dengan pertumbuhan perekonomian. Disadari atau tidak, gaya hidup para remajanya banyak yang keluar dari jalur etik masyarakat Timur. Hal yang dulu terasa tabu kini menjadi begitu fulgar dipertontonkan.

Di sekolah kami mengajarkan nilai-nilai religi supaya kesadaran ubudiyyah peserta didik terus meningkat. Di sekolah pun kami mengajarkan nilai-nilai muámmlah supaya kepekaan intrapersonal mereka tetap tumbuh. Akan tetapi, yang susah payah kami bangun itu kerap sekali runtuh oleh satu atau dua momen yang mendatangi mereka melalui televisi, terutama internet.

The Villager adalah jeda, spasi yang memisahkan satu momen dengan momen lainnya, kekosongan yang menjadi pemicu tumbuhnya nilai-nilai baru. Meskipun jeda ini terlalu sebentar tetapi sama sekali tidak menyurutkan optimisme kami.

Saat briefing dengan peserta didik saya sampaikan kepada mereka bahwa The Villager bukanlah momen rekreasi, bukan ajang bersenang-senang. Ada target afektif dan kognitif yang harus dicapai. Secara diam-diam atau langsung tentu saja kami akan melakukan penilaian. Meskipun sebagai ajang trial bukan berarti kalian menjadikan kegiatan ini sebagai beban. Kita masih bisa tertawa, bercanda, dan bahagia.

Kami berharap bahwa pencapaian kegiatan ini dapat diraih secara maksimal.[]

Tuesday 12 January 2016

PENDIDIKAN QURANI UNTUK MASYARAKAT MADANI

- No comments

Ketika Rasulullah lahir masyarakat Makkah adalah masyarakat materialistis. Riba menjadi selimut setiap aktivitas, baik perekonomian maupun peperangan. Orang-orang kaya Makkah memilih memberi modal kepada kabilah-kabilah yang akan berperang dengan meminta pengembalian harta rampasan perang yang besar.

Puncak materialisme di Makkah melahirkan kerinduan dan kecemburuan. Kerinduan untuk mendapatkan ketenangan batin dan kecemburuan atas orang-orang Yahudi dan Nasrani yang memiliki tuntunan berupa nabi dan kitab suci. Perlu diketahui bahwa dalam sejarah turunnya nabi dan Rasul, semuanya didominasi oleh Bani Israil.

Di tengah masyarakat seperti itulah Rasulullah terlahir dan tumbuh menjadi dewasa. Semasa bayi, ia dititip-asuhkan kepada keluarga baduwi. Selain menjadi tradisi Arab untuk membuat aliansi, menitipkan pengasuhan kepada keluarga baduwi juga bertujuan untuk menjaga kemurnian bahasa Arab. Kedepannya nanti, tidak jarang penelusuran makna Alquran digali melalui makna asli bahasa Arab meminta pendapat orang baduwi.

Melihat Beliau tumbuh di masyarakat perdagangan, Rasulullah pun mahir dalam berdagang. Melihat Beliau hidup di masyarakat yang rawan konflik antar suku dan kabilah, Rasulullah pun terlibat dalam chaos perebutan kekuasaan. Selain itu, terdapat perbudakaan, konflik antara si kaya dan si miskin, dan gengsi.

Ketika Rasulullah sudah dewasa, sudah matang secara lahir dan batin, beliau tidak terkontaminasi oleh pengaruh-pengaruh negatif lingkungannya. Seperti ikan di samudra yang tidak terpengaruh oleh asin lautan. Tidak hanya resisten terhadap pengaruh-pengaruh negatif lingkungannya, Beliau hadir sebagai penengah, solusi, dan lentera harapan bagi masyarakat Makkah.

Kuncinya adalah pendidikan. Rasulullah dididik langsung oleh sang Maha Pengasuh alam semesta dengan Jibril sebagai juru rawatnya. Pendidikan yang dimulai sejak dini. Saya kira kita pernah mendengar kisah tentang Rasulullah kecil yang diajak untuk menghadiri jamuan pesta makan malam. Beliau turut hadir di sana tetapi Allah menyelematkannya dengan memberi rasa kantuk yang luar biasa sehingga beliau tertidur. Dan kisah-kisah menakjubkan lainnya yang menunjukkan betapa Allah sendirilah yang membimbingnya.

Istilah pendidikan dalam terminologi bahasa Arab bisa merujuk pada kata tarbiyyah, ta’lim, dan tadris. Masing-masing memiliki tujuan dan metode yang berbeda. Meskipun demikian, kita tidak perlu terlalu lama berjibaku dalam perselisihan istilah tersebut tetapi kita ambil semangat dan ruhnya, yaitu membuka tabir yang menghalangi cahaya ilmu pengetahuan Ilahi.

Terpenting dalam pendidikan usia dini adalah pengenalan nilai-nilai melalui pembiasaan. Mengajarkan nilai ta’äwun (pengejewantahan dari wata’äwanü ála l-birri wa t-taqä) tidak dengan cara menjelaskan definisinya tetapi melalui pembiasaan dan praktik-praktik. Seperti mengajak menata dan merapikan barang milik pribadi di rumah supaya meringankan tugas ibu. Serta nilai-nilai qurani lainnya yang kita tanamkan kepada anak.


Alquran dan sunnah adalah induk semang dari segala pendidikan. Nilai dan dasar pendidikan terdapat di dalam keduanya. Tinggal kita mau atau tidak mempelajarinya. Rasulullah adalah Alquran yang berjalan. Sunnah yang ada dalam dirinya adalah pengejewantahan “teks” ke dalam “konteks”; dari pendidikan di keluarganya sampai pendidikan di lingkungannya; dari pendidikan nilai-nilai yang radikal sampai yang toleran; dari diri Rasulullah kepada seluruh alam semesta.

Salah satu kisah tersohor mengenai cara Rasulullah mendidik anak-anak adalah ketika Rasulullah tetap membiarkan cucunya meminta gendong beliau padahal saat itu beliau sedang menunaikan salat. Alih-alih membatalkan salat, Rasulullah justru tetap melanjutkan salatnya, memegangi cucunya tercinta di setiap gerakan supaya ia tidak terjatuh.

Hikmah yang bisa kita petik dari kejadian itu adalah bahwa anak-anak memiliki kecenderungan untuk bermain sekaligus ia meniru apa yang dilihatnya. Maka tugas orangtua dan juga guru, adalah menunjukkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, baik dalam ubudiyyah atau dalam kegiatan sehari-hari, supaya menjadi potret model yang ideal untuk ditiru.

Perilaku dan tutur kata yang belum/tidak layak dikonsumsi oleh anak harus disembunyikan. Bukannya mengajari ketidakjujuran dan ketidakterusterangan, tetapi nalar dan logika anaklah yang mungkin belum matang. Guru dan orangtua haruslah bijaksana dalam memilih permasalahan di luar konteks anak-anak yang patut dan tidak patut untuk mereka ketahui.

Kisah tentang Luqman adalah salah satu kisah dalam Alquran yang bisa kita ambil hikmah. Luqman adalah seorang budak hitam dari Habsyah. Derajatnya diangkat sangat tinggi. Konon, ada seorang yang mendatanginya dengan raut wajah heran.

“Bukankah engkau penggembala kambing?” Tanya lelaki itu.

Luqman menjawab, “Benar!”

“Lalu apakah yang menghantarkanmu sampai pada derajat yang begitu tinggi seperti sekarang ini?”

Luqman pun menjawab, “Benar dalam berbicara dan diam terhadap hal-hal yang bukan menjadi urusanku.”


Terlebih tentang Luqman, penulis ingin merujuk kepada Athfälu al-muslimïn, kaifa robbähum an-nabiy al-amïn yang ditulis oleh Jamaal Abdur Rahman. Kita dapat mengambil beberapa nasehat dari surat al-Luqman yang bisa kita jadikan pedoman untuk mendidik putra-putri kita.

Pesan pertama
Dalam ayat ke-13 diceritakan bahwa yang pertama-tama diajarkan Luqman kepada anaknya adalah mengenai tauhid. Ia berpesan, “Hai anakku, jangan sekali-kali mempersekutukan Allah,” tidak cukup dengan memberikan pelarangan tetapi ia pun memberi alasan dengan mengatakan, “(karena) sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang amat besar.”

وَإذْ قَالَ لُقْمنُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعظُهُ يبُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِالله إن الشِرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ.

Aqidah adalah perihal yang sangat penting yang pertama-tama ditanamkan kepada anak. Kokohnya aqidah yang genggam oleh anak akan menimbulkan pengaruh kepada aktivitas-aktivitas selanjutnya. Ia mungkin akan bersedih atas kemalangan yang menimpanya tapi ia tidak akan meratap karena ia mengetahui hikmah dari kemalangan tersebut.

Pesan kedua
Dalam perjalan spiritual kita mungkin pernah mengalami masa-masa saat shalat begitu khusyuk dalam keramaian dan begitu cepat seperti menyeruput kopi panas dalam kesendirian. Atau merasa putus asa ketika perbuatan baik yang kita lakukan tidak mendapatkan apresiasi. Alih-alih mendapatkan apresiasi, setitik kesalahan yang pernah dilakukan justru diungkit terus menerus.

Pada nasehat kedua, Luqman mengingatkan anaknya supaya menjalani kehidupan dengan terus mawas diri karena sekecil apapun amal yang dilakukan, bersama-sama atau pun sendiri, disembunyikan serapat-rapatnya, seseungguhnya Allah mengetahui hal tersebut dan Dia akan datang dengan membawa balasannya.

يبُنَيّ إنها إن تَك مِثْقالَ حَبةٍ من خَرْدلٍ فتكُن في صَخْرة أو في السموت أو في الأرضِ يَأتِ بها الله إن الله لطِيْفٌ خَبِيْر

“Hai anakku,” kata Luqman, “sesungguhnya jika ada perbuatan seberat biji sawi dan disembunyikan di dalam batu, di langit, atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatanginya dengan membawa balasan yang setimpal.” Tak sedikitpun yang akan luput dari pengetahuan-Nya karena “Sesungguhnya Allah mahahalus lagi Maha Mengetahui.”

Pesan ketiga
Setelah berpesan mengenai dua hal mendasar di wilayah aqidah dan akhlak, selanjutnya Luqman menyampaikan nasehat tentang wilayah syariah. Ia berpesan kepada anaknya supaya menegakkan shalat (ayat ke-17).

يبُنَيّ أقم الصلوة وأمُرْ بالمَعْروفِ وانْهَ عن المنكر واصبِر عَلَى مَا أصابَك إن ذلك مِن عَزْم الأُمُــــوْرِ

Nasehat ini menjadi petunjuk bagi kita bahwa agama-agama samawi telah memerintahkan umat pemeluknya untuk menunaikan shalat. Yang membedakan shalat antara syariat sebelum Rasulullah dengan syariat ajaran Rasulullah adalah tata cara ibadahnya. Dan mengenai hal ini, kita bisa merujuk pada kitab-kitab turots.

Tidak hanya shalat Luqman pun mengajak supaya anaknya menyeru manusia untuk melakukan kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang munkar. Ibnu katsir menjelaskan bahwa memerintahkan perkara yang baik dan mencegah perkara yang munkan menurut batas kemampuan dan jerih payahmu karena pastinya dalam amr bil ma’ruf dan nahy án munkar akan mengalami rintangan dan gangguan dari orang lain. Untuk menguatkan hati anaknya, Luqman menyampaikan supaya ia bersabar dalam menjalankan perintah-perintah tersebut: shalat, amar ma’ruf, dan nahyu ánil munkar.

Ada pendapat lain bahwa Luqman memerintah anaknya supaya bersabar dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup di dunia (álä mä ashöbak, atas apa yang menimpamu) dan jangan sampai ketidaksabaran menghadapi hal tersebut menjerumuskanmu dalam perbuatan durhaka kepada Allah.

Pesan keempat
Lalu sampailah nasehat Luqman kepada anaknya perihal hubungan antar manusia, kesopanan dalam bersosialisasi. Ia mengatakan, “Dan kamu janganlah memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan jangan pula berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (ayat ke-18)

ولا تُصَعِّر خدَّكَ للناس وَلا تَمشِ فِي الأرْضِ مَرَحً إن الله لا يحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْر

Dengan hati-hati Luqman memerintahkan supaya anaknya tidak sombong dengan cara memalingkan wajah. Memalingkan wajah adalah salah satu ekspresi kesombongan dan masih banyak lagi cara orang mengekspresikan kesombongan. Sho’ir khoddaka adalah kiasan. Makna aslinya adalah unta yang mengalami sakit pada sendiri punuknya yang membuat wajahnya tidak bisa tegak dan memalingkan muka.

Sumber kesombongan juga bermacam-macam. Ada kalanya bersumber dari kebanggaan atas diri sendiri karena perbuatan baik; atau menganggap orang lain remeh karena kesalahan atau dosa yang dilakukan.

Imam al-Qurthubi menafsiri ayat ini bahwa kita hendaknya berprilaku simpatik dan menawan kepada lawan bicara kita. Menatap wajahnya, bukan memaling wajah saat berbicara.

Pesan kelima
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam hubungan antar manusia adalah pola komunikasi. Luqman menasehati anaknya supaya baik-baik berkomunikasi dengan mereka.  Setelah mewanti-wanti supaya menjaga sikap dari sifat tercela, kali ini Luqman mengingatkan supaya anaknya senantiasa berhias diri dengan akhlak terpuji. Hai anakku, sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuh-buruk suara ialah suara keledai (ayat ke-19).

Al-qoshdu, menurut imam Qurthubi, adalah cara jalan yang tidak terlalu cepat tidak pula terlalu lambat. Mengenai hal ini Rasulullah bersabda:

سُرْعَةُ المَشْي تُذْهِــبُ بَهَاءَ المُؤْمِنِ

“Cara jalan yang cepat akan menghilangkan keanggunan orang mukmin.”

Tentu saja kecepatan dalam berjalan ini disesuai dengan adat dan tata krama di lingkungan masing-masing. Bisa jadi kita hidup di lingkungan di mana orang berjalan pelan dan bisa jadi di lingkungan yang lain justru berjalan berkali-kali lebih cepat. Kita pun dapat merujuk kepada ayat lain untuk menjelaskan maksud ayat ini, yaitu:

وَعِبَادُ الرَحْمن الذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الأرْض هَوْنًا

“Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) mereka yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati”

Selain dengan cara jalan, adakalanya seseorang menunjukkan kesombongannya melalui suaranya yang meninggi dan juga bahasa yang mengungguli lawan bicaranya. Allah menyindir orang-orang yang meninggikan suaranya seperti suara keledai. Mengapa perumpamaan yang dipilih adalah keledai?

Di lingkungan Arab berlaku ejekan sangat keras, salah satunya adalah menyamakan seseorang dengan keledai. Bagi kita, masyarakat Indonesia, mempersamakan dengan keledai mungkin tidak begitu keras karena secara adat dan budaya memang berbeda. Wallahu a’lam bish showab.


Nilai pendidikan
Dari nilai-nilai yang diajarkan oleh Luqman di atas kita bisa mengambil pelajaran tentang pentingnya pendidikan aqidah sebagai pondasi bagi anak. Tidak hanya perihal aqidah yang diajarkan, kesadaran untuk menunaikan ajaran (syariah) juga harus ditanamkan sejak dini.

Mengingat kita sebagai manusia dan hidup dalam lingkungan sosial, maka diperlukan kesadaran kolektif untuk menjaga harmoni di dalam masyarakat. Tasamuh dan saling menghormati adalah output dari kesadaran relijiusitas. Semoga pendidikan di lingkungan keluarga dan sekolah dapat tegar berjalan dan kokoh dari berbagai godaan.
.