Tuesday, 29 September 2015

SALAMAH

- No comments

Di hari-hari biasa, ketika tak ada yang peduli dengan kepunahan kicauan burung di pagi hari, Salamah meneriaki anak yang bagai pinang dibelah dua itu untuk bersiap-siap berbelanja pengetahuan di bangku sekolah. Ia tentunya seorang ibu yang baik dengan mengirim mereka ke sana. Sembari meneriaki mereka tangannya dengan lincah meracik bumbu untuk makan yang akan matang ketika matahari setinggi dua tombak ke langit. Lalu, mereka berdua sarapan apa? Tidak pelak lagi bahwa mie instan sudah menjadi kebiasaan menahun.

Pada jam istirahat pertama, mereka berdua –yang tua bernama Satin dan adiknya bernama Samin- akan kembali ke rumah untuk membayar hutang sarapan pagi yang ditinggalkan. Maklum, sekolah mereka hanya beberapa jengkal saja. Bahkan ujung tiang benderanya dapat diintip dari halaman rumah.

O iya…. Suami Salamah adalah mandor yang selalu pergi meninggalkan keluarganya. Orang-orang memanggilnya Obang. Nama aslinya Oemar Bangkit. Ketika pulang, isterinya akan menyambut dingin dengan senyuman, dan sesekali menanyakan keadaan proyek yang ditanganinya. Sebenarnya ia tidak suka suaminya berprofesi di sana karena sawah warisannya ayahnya tidak tergarap sama sekali. Sesekali ia curiga kalau suaminya memiliki perempuan simpanan.

Seperti malam itu ketika Satin dan Samin masih berumur beberapa bulan di gendongan. Ia serta merta menuduh suaminya berselingkuh karena uang untuk belanja sudah menipis padahal ia sering keluar menangani proyek. Bahkan ia sampai menggunakan popok kain karena uang untuk membeli popok pampers sudah habis. Untuk menunjukkan kesetiannya, akhirnya Obang melepas beberapa proyek yang akan ditanganinya yang akhirnya sangat disesali oleh Salamah.

Obeng hanya menggelengkan kepala keheran-heranan setelah melihat kekonyolannya sendiri.
Terjadi perubahan besar ketika nyawa Obang harus pergi meninggalkan mereka ditelan dunia. Salamah berdiri sendiri di atas tanah warisan ayahnya. Untungnya suaminya meninggalkan dalam keadaan kecukupan sehingga ia tidak perlu terlalu kwatir dengan ekonominya. Rumahnya sudah cukup besar untuk ditinggali empat orang, bahkan walaupun ditambah dua orang lagi.

Sehingga di tahun berikutnya setelah lulus dari SMA Satin dan Samin tidak perlu melanjutkan ke perguruan tinggi. Karena mereka berdua sudah harus merawat rumah dan melayani suaminya. Dan benih yang dititipkan di rahim mereka telah melahirkan cucu buat Salamah.

Tentu saja dua orang yang masuk ke dalam keluarga itu sangat beruntung. Mereka sudah tidak perlu lagi mencari tanah kosong untuk menanam batu bata.
Namun, seperti kekhawatiran beberapa teman Samin, konflik keluarga pun tak mampu dielakkan lagi.

Dulu, ketika Salamah baru memiliki cucu, banyak sekali coretan kapur membentuk lingkaran mengelilingi genangan air. Perempuan yang baru menjadi nenek selalu mengambil peran untuk mengepel kencing cucunya karena hanya itu yang boleh ia kerjakan –sejak punya menantu ia tidak lagi menantang terik matahari di tengah sawah. Saat anak-anak tidur siang Salamah akan membacakan shalawat atau senandung apapun untuk menidurkan mereka.

Dindingpun sudah tidak lagi berwarna putih bersih seperti sedia kala. Banyak coretan dimana-mana menunjukkan kreatifitas alami anak. Samin dan Satin tidak pernah capek mengomeli mereka, seperti ketika mereka terus-terusan diomeli waktu kecil.

Waktu terus beranjak. Mereka mulai ada ketertarikan terhadap benda tertentu. Sesekali cucu tua memukul adiknya untuk mempertahankan yang menurutnya adalah haknya. Maka ia akan menangis dan mendatangi neneknya. Karena si cucu tua tahu apa yang akan dilakukan nenek ia memilih mengalah dan memberikan kepunyaannya ke adiknya. Bahkan Samin dan Satin sesekali bersikap bukan layaknya saudara hanya karena ingin membela anak sendiri.

Ketika malam didiami oleh kesunyian, si cucu akan lebih memilih tidur bersama nenek dari pada menerima kehangatan ibu mereka. Dan kali ini mereka berdua akan marah atau lupa bahwa mereka sedang mengumpat pada ibunya sendiri hanya karena ingin ngeloni anak meraka.

“Kang, kenapa saufi selalu menolak kalau ku ajak tidur di sini? Dia selalu memilih tidur bareng ibu di kamar belakang.” Tanya Satin dengan cemas.

“Ya… Biarkan saja. Toh Saufi tidak pergi kemana-mana?” Jawab suami dengan enteng.

“Tapi apa Kakang tidak khawatir?”

“Kenapa khawatir. Saufi kan dimomong neneknya. Dia masih memanggil kamu dengan dengan sebutan ibu kan? Dia masih memanggil saya dengan sebutan bapak kan?” Satin mengangguk cemas. “Ya sudah apa yang perlu dikwatirkan.”

Sedangkan di kamar sebelah, saksi bisu kemesraan antara Samin dan suaminya, terdengar pula perbincangan yang mengusik.

“Dik, apa tidak sebaiknya kita tinggal di rumah sendiri saja?”

“Kenapa dengan rumah ini Mas?”

“Tidak ada apa-apa. Hanya saja ada ketidak-mandirian dalam diri kita sebagai keluarga.”

“Maksud Mas?”

“Saya ingin membesarkan Asnawi dengan tangan kita sendiri?”
Samin menghela nafas panjang setelah mendengar keinginan suaminya. “Aku tidak tahu apa ibu akan menerima keinginan kita. Apa Mas tidak ingat waktu kita sampaikan keinginan yang sama dulu?”

“Saya akan bicara pada Kang Saliman. Semoga bisa dimengerti?”

[next]
* * *
Ketika dingin mulai terasa menusuk dada, keluarga mereka duduk bercengkrama di depan televisi sambil menikmati takiran dari tasyakuran panen lada tetangganya. Hanya saja, nenek Salamah tidak ada di sana. Semua orang tahu ke mana para nenek berada ketika menjelang Isya’. SepertiKetika Saufi atau Asnawi menangis mencari neneknya orang tuanya akan menjawab Nenek sedang mencari surga di masjid, tunggu sampai isya baru nenek pulang.


“Kang Man. Apa kakang tidak merasa rumah ini terlalu kecil untuk dua keluarga?”

Jelas sulaiman menangkap sesuatu yang lain dari ucapan Badru karena sebenarnya rumah yang mereka tinggali masih cukup luas meskipun ditambah dua anak lagi.

“Lalu apa kamu dan Samin punya cukup uang untuk memulai dari awal?” Jawabnya langsung ke inti persoalan.

“Kami sudah membicarakan hal ini dengan Samin. Hanya saja kami tidak tahu bagaimana harus kami sampaikan ke ibu.”

Mereka berempat saling bergantian berpandangan. Dan tiba-tiba, selera makan pun menghilang. Ayam ingkung yang ada di tangan dikembalikan lagi ke atas piring.

“Saya ingin tahu masalah sebenarnya apa?” Tanya satin dengan nada sedikit dikeraskan.

“Tidak ada masalah apa-apa. Kami hanya ingin sedikit lebih mandiri.” Badru menjawab dengan hati-hati karena melihat kakak iparnya yang sering cepat naik pitam.

“Kalau permasalahannya adalah kemandirian, kita skat saja rumah ini. Nanti kita tentukan saya dengan Kang Saliman dapat bagian yang mana.”

“Bukan begitu mbak. Kami… “

“Samin! Kalau yang kamu bingungkan adalah keadaan ibu, kita bisa jatah tinggal. Satu minggu bersama kami dan satu minggu bersama kalian.”


[next]
* * *

Di malam yang sepi dengan kesendirian yang sama seperti biasanya Saliman menata kemesraan dan menaruh letih bersama isterinya.

“Kenapa tadi tidak terima saja keinginan mereka?” Ungkap Saliman membahas perhelatan sore tadi.

“Dengan membiarkan mereka pergi dari rumah ini?” Tanya isteri Saliman keheranan.

“Tidak! Mereka yang di sini dan kita yang pergi. Bukankah kamu ingin Saufi jauh dari kemanjaan neneknya?”

“Kang, ibu sudah tua. Kalau kita pergi sekarang kita hanya akan dapat tanah pekarangan kang.”

Saliman hanya tersenyum tipis mendengar alasan isterinya. Lalu ia masukkan wajahnya ke sela antara bantalnya dan bantal isterinya meninggalkan keinginan-keinginan yang sudah tampak biasa di telinganya.
Sedangkan di kamar yang lain.

“Mas, apa kita akan melanjutkan keinginan kang Saliman membuat tembok pembatas di rumah ini?”

“Entahlah.”

“Kok entahlah?”

“Kita teruskan dahulu hidup kita yang telah kita jalani. Mungkin akan ada kesempatan yang lebih baik.”


[next] * * *

Salah seorang jamaah subuh begitu terkaget-kaget ketika mendengar kedua keluarga itu beradu mulut. Pertengkaran mereka terdengar jelas dari luar rumah. Apalagi langit dan seluruh isinya masih hitam.

“Ini salahmu Dru! Kamu juga Min! Kenapa pake ada acara pingin pindah rumah segala? Apa kalian tidak belajar dari pengalaman? Apa kalian tidak tahu kalau ibu sangat menyayangi cucunya? Apa kalian tidak lihat ibu sudah tua? Sabar sedikit kenapa.”

“Begini mas…”

“Begini bagaimana? Ibu sudah udzur. Kalau mau minggat tunggu ibu kehilangan nafasnya. Sekarang, kita harus bagaimana?”

Mereka bernafas dengan kemarahan masing-masing. Asnawi dan saufi yang tidak tahu apa-apa mengkeret di ujung sofa saling berpelukan. Mata mereka menangkap keganasan dan keserakahan dari kedua mata orang tua mereka.

Kedua menantu saling berpandangan dan tertegun dengan kebingungan. Saliman menatap secarik kertas tulisan tangan mertuanya yang ternyata wasiat wakaf seluruh hartanya kecuali rumah yang mereka tempati. Di sudut bawah dibubuhi tanda tangan kepala desa dan mudin setempat. Juga tanggal kesepakatan tersebut dibuat yang ternyata hanya setelah beberapa hari setelah Samin dan Badru mengutarakan maksud untuk pindah rumah dua bulan yang lalu.

Rupanya perbincangan mereka tertangkap Salamah yang pulang untuk mengambil kitab suci yang biasa dipakai untuk tadarus karena tertinggal. Dan karena itulah ia mengambil keputusan. Ketika subuh biasanya sudah diterangi lantunan lirih ayat-ayat suci pagi itu tidak terdengar apapun kecuali detak jam dinding. Samin yang biasanya rajin menyusul ibunya menangkap kegagapan tersebut.

“Mas, kita cari ibu di masjid.” Ajak Samin. Badru sebenarnya menangkap kekonyolan dari ajakan isterinya itu, karena untuk apa sembunyi di sana dengan meninggalkan surat wasiat seperti itu. Justru ia sedang memperkirakan kepergiannya yang sangat jauh.

Berempat mereka keluar rumah meninggalkan Asnawi dan sepupunya tetap tinggal di rumah. Sesampainya di masjid disana tidak ada apa-apa kecuali beberapa jama’ah yang baru pulang yang justru menanyakan kealpaan nenek itu.

Setelah merasa pasti mereka pergi menuju ke rumah RT. Namun pak RT tidak ada di rumah sejak subuh. Isterinya beralasan kalau suaminya sedang mengantarkan tamunya.

Dengan malu-malu Satin meminjam telepon untuk menghubungi mbah Inten yang menjadi kordinator pengajian ibu-ibu. Bukannya mendapat kepastian Satin malah dihujani pertanyaan.

Lalu mereka berpamitan dengan tubuh lesuh dan saling menyalahkan.


* * *
Dan seperti hari yang lain selalu ada yang berbeda. Apalagi berada di bawah atap yang benar-benar baru. Di bawah atap itu terdapat puluhan penghuni. Hanya ada beberapa saja yang masih punya kulit mulus dan singset. Kebanyakan mereka berjalan pelan, sebagian ada yang sambil membungkuk, sebagian lagi dibantu sebatang tongkat.

“Nenek bahagia tinggal di sini.” Tanya seorang perempuan yang berkulit mulus dan berjilbab.

“Tentu saya senang. Apalagi banyak teman sejawat di sini. Tidak seperti di rumah yang dulu.”

“Emang rumah yang dulu bagaimana?”

“Panas. Enakan di sini, di panti, dingin.”

Perempuan berjilbab itu tersenyum. Lalu meninggalkan Salamah yang semakin renta di ranjang yang juga serenta umurnya.


Blitar, 20 Maret 2008

Saturday, 26 September 2015

Menulis itu Ibarat Mendaki Gunung

- No comments
 
Setelah lama beristirahat akhirnya saya putuskan untuk kembali berangkat mendaki gunung itu. Saya yakin pasti akan ada rintangan lagi dan juga reaiki. Tapi bukankah setiap pilihan selalu disertai resiko. Bukannya menantang resiko, tapi sekedar menyadarkan diri kalau resiko itu pasti ada.

Ada banyak resiko yang akan dihadapi oleh pendaki gunung. Mungkin tergelincir atau tersesat lalu dehidrasi dan mati.

Tetapi sebenarnya tidak usah takut dengan kehabisan bekal karena alam sudah menyediakan semuanya. Kalau kehabisan bekal silahkan petik buah atau berburu. Makan rumput juga boleh. Dan kalau saja tersesat, bersyukurlah karena kau baru saja menemukan daerah baru. Jadi kalau benar-benar tersesat, catatlah rute dan gambaran tempatnya karena kelak pasti bermanfaat.

Justru binatang buaslah yang saya takuti. Selain saya tidak punya ketrampilan menaklukkan binatang, badan saya juga kecil dan ringkih. Saya paling berani melawan nyamuk atau laba-laba. Bukan laba-labanya tapi sarang laba-laba yang melintang di jalan.

Padahal menulis itu ya seperti mendaki gunung. Terdapat rintangannya masing-masing. Menurut saya kok justru lebih sulit menulis dari pada mendaki gunung. Mendaki gunung bisa menjadi bahan untuk menulis tapi menulis bisa menjadi apa saat saya mendaki?

Saya paling sering mengalami stag dan tak tahu kalimat apa yang harus disusun selanjutnya. Tulisan tidak tuntas dan idenya terus lari ke sana kemari. Ketika menulis cerita, tokoh berjalan semaunya sendiri seperti tidak mau digiring pada konflik dan klimaks yang saya susun. Ia membuat ceritanya sendiri.

Benarlah kata Pramoedya Ananta Toer bahwa menulis adalah perjuangan. Menulis tidak hanya memperjuangkan ide atau opini tapi juga keberanian untuk bergulat dengan dirinya sendiri. Tak jarang opini yang dituangkan kita bantah sendiri. Tak jarah sudut pandang kadang menjadi bias ketika sebuah permasalahan dituangkan.

Saya juga tidak pintar-pintar amat menulis. Saya terus berlatih meskipun latihan saya belum berhasil amat. Setidaknya saya menyimpan tulisan-tulisan saya dalam folder di laptop dan ketika saya membaca ulang tumpahan ide atau opini yang saya tulis sepuluh tahun ini saya merasakan hal luar biasa.

Maka mempelajari membuat outline adalah langkah selanjutnya setelah kita belajar menangkap ide. Dulu saya sering gegabah. Setiap kali menemukan ide saya langsung saya menuliskan dalam paragraf-paragraf sehingga kehilangan ruh dan konteks. Rupanya, ini yang membuat tulisan saya banyak yang tidak tuntas dan tidak enak dibaca. Belajar dari sini saya mulai membuat outline, kata kunci, premis, tesis dan anti-tesis.

Perjuangan ini belum selesai. Berani menulis berarti berani juga mempertahankan dan mempertanggungjawabkan isi tulisan. Apalagi opini yang telah ditulis akan dipublikasikan di blog. Bayangkan kalau banyak orang yang membaca kemudian terpengaruh atau terinspirasi. Bayangkan kalau ditulis ternyata tidak bisa dipertanggungjawabkan sedangkan sudah terlanjur ada yang meyakini atau terinspirasi. Kita bukanlah para ababil yang gemar me-rebroadcast pesan horor di gadget.

Tuesday, 22 September 2015

Jangan Lelah Menuju Rumah

- No comments

Karena tiba-tiba saya sendiri di rumah, saya jadi merenung dan kembali menanyakan tentang tujuan hidup saya. Pertama-tama saya menanyakan tentang kemulyaan. Kemulyaan -kalau itu pantas disebut dengan kemulyaan, tapi yang jelas itu adalah anugerah- yang selama ini saya sandang, apakah memang begitu adanya atau hanya pencitraan yang saya munculkan karena gengsi intelektual? Sedangkan penderitaan dan kesengsaraan yang saya jalani selama ini, apakah karena dampak perjuangan dan pengorbanan atau karena sebenarnya saya menjadi korban dari ketidakberdayaan saya memainkan peran dan intelektual?

Lalu saya melihat foto-foto keluarga dan para sahabat. Dari masa lalu itu saya coba keruk kembali tujuan hidup saya. Namun yang saya dapati hanya senyum. Sebuah senyum yang sulit saya maknai. Dan ketika saya mendapati diri saya sendiri di dalam kertas, saya mendapati keluguan dalam mata saya yang menunjukkan bahwa saya tidak punya tujuan sama sekali.

Teman sejawat saya mengusulkan saya supaya saya pergi ke terminal atau stasiun. Saya menemukan ratusan wajah. Melihat sajah mereka saya seperti menemukan sosok diriku sendiri. Ricuh, sengsara, beringas berebut pintu kereta dan bus. Kepucatan wajah pedagang asongan layaknya kepucatan nuraniku yang lama tak tercerahi. Atau keberingasan para pengamen yang seperti batinku yang marah oleh karena terkalahkan zaman.

Ingin sekali mata ini meneteskan air mata. Menangisi diri sendiri yang tidak pernah mau singgah dari perjalanan ini -semacam ketakutan untuk berhenti.

Seperempat abad yang lalu saya terima sebuah tantangan untuk melaju di jalanan ini. Namun saya tidak diberitahu seberapa jauh saya harus pergi. Untunglah ketika saya keluar dari rumah, saya bertemu dengan seseorang yang telah lama berlangla buana. Ia memberiku bekal dan cara melintasi jalanan di depan. Tapi tetap ia tidak memberi-tahuku seberapa jauh saya harus pergi.
 
Kelelahan itu akhirnya membuatku membuah sub-terminal di sana-sini. Di sekolah, sawah, kebun, pegunungan, bahkan masjid. Saya menduga setiap tempat saya berhenti di sanalah saya akan berhenti selamanya. Ternyata tidak/belum. Dan saya lupa kemana harus pergi.

Kudengarkan campursari, kuhirup wangi parfum, ku tatap warna-warni, dan kuraba wajahku sendiri. Saya melihat visi. Saya harus istirahat. Saya harus mendengar sepi.

Sebenarnya memang sepi yang saya cari. Kebisingan selama ini telah membuat jiwaku takut akan sepi, padahal dalam sepi ditemukan jendela untuk melihat masa lalu tapi tidak lupa dengan tujuan.

Sekian.
Rumah, 27 April 2009

Wednesday, 16 September 2015

Menjadi Ustadz SK

- No comments

Karena saya mengajar di sekolah Islam maka saya dan juga teman-teman lainnya harus memiliki kemampuan membaca Alquran. Seharusnys tidak hanya karena mengajar di sekolah Islam, mengajar atau tidak, di sekolah Islam atau bukan, tetap saja seorang muslim harus mampu membaca Alqurán.

Teman saya antusias sekali ketika ditunjuk untuk membimbing anak-anak dalam membaca Alqurán. Tak cukup sampai di situ, teman saya ini membawa-bawa saya supaya turut membantunya mengajar. “Bacaannya bagus. Saya pernah mendengarnya membaca Alquran sekali.”Begitu kata temannya saya.

Maka, mulai tahun ini saya mengajar—sekaligus membimbing—anak-anak dalam membaca Alqurán. Tapi saya mengajukan satu syarat: jangan panggil saya dengan sebutan ustadz.

Dua hari pertama, saya melakukan orientasi. Saya bingung bagaimana cara mengajari anak-anak membaca Alqurán. Saya bingung, anak-anak lebih bingung. Aha!! Saya siram dulu ah pake ice-breaking: cerita.

Saya ceritakan bagaimana kitab suci yang ada di tangan mereka ini dulu disusun; bagaimana Rasulullah dengan susah dan payah menerima dan menyampaikan wahyu; bagaiamana Zaid bin Tsabit dengan berat hati menerima perintah untuk mengkodifikasi mushaf-mushaf Alqurán yang tercecer di tangan-tangan sahabat; bagaiamana enam salinan Alquran dibagi ke gubernur-gubernur yang memegang tampuk kepemimpinan yang strategis; bagaimana dulu Alqurán ditulis tanda tanda-tanda harokat.

Antusias Anak Sebelum Setoran
Hingga diakhir cerita—yang sebenarnya lebih mirip ceramah—saya menekan nada suara saya untuk menyampaikan amanah cerita:

Sekarang kita tinggal membaca dan mempelajari Alquran, maka tekunilah dua aktifitas ini.

Saya menghidari peran sebagai ustadz, tapi ternyata berceramah ala ustadz menyenangkan. Pastas kalau tiba-tiba banyak bermunculan ustadz-ustadz. Dan saya menjadi ustadz SK. Maksud saya, saya jadi ustadz karena menerima SK dari pemimpin saya. Artinya, gelar ini bisa kapan saja dicabut.

Mumpung belum dicabut saya cerikan pengalaman asyik menjadi ustadz dadakan ini.

Ada anak yang hafalan juz amma bagus sekali. Tak hanya bagus tapi juga fasih. Saya manggut-manggut, semacam malu karena mengukur diri, melihat ketrampilan anak menghafal. Ini hasil jerih payah orangtua atau guru TPA di lingkungannya?

Ketika dulu saya belajar baca Alquran ya hanya baca Alquran. Pernah juga disuruh hafalan tapi tidak mau menghafal. Makanya kalau saya menjadi imam shalat, saya hanya bisa membaca surat qul saja. Itu lho tiga surat terakhir.

Karena ini baru bagi saya makanya saya mengajar seperti dulu saya menerima pelajarannya. Talaqqy. Satu persatu anak-anak maju membaca lembaran Iqro’. Kalau salah saya berdehem, kalau benar saya bilang guuud.

Saya sering dibuat GR oleh anak-anak. Pernah suatu hari saya tidak masuk kelas dan digantikan oleh guru lain dengan mata pelajaran lain. Mereka langsung huuuuu tidak antusias. Pernah saya menyela pelajaran baca Alquran dengan pelajaran menulis Arab dengan baik dan benar. Mereka pun langsung huuuu tidak antusias. Mereka lebih memilih belajar baca Alquran.

I’m surprised. Senang bukan main tapi saya juga penasaran kenapa mereka begitu antusias lebih memilih belajar baca Alquran. Jawaban mereka pun bikin saya mesem-mesem: “Kalau yang lain ngaji kita kan bisa mainan, pak.”Oh!

Tidak hanya itu, saya juga pernah dibuat tertawa kecil. Tentu sambil saya gelengkan kepala bukan kepalang. Dia baca hakyimi. Saya koreksi sampai tiga kali tapi tetep saja baca hakyimi. “Bukan hakyimi tapi hakiimi.”Kata saya. “Ya tah?!!”kata anak saya seperti tidak percaya.

Bagaimana pun juga pelajaran ini tetap harus berjalan. Namanya juga anak-anak. Saya dulu lebih nakal. Jadi, saya anggap ini cicilan karma. Mungkin kalau saya jadi ustadz ujian kesabaran saya akan lebih besar. []


Monday, 14 September 2015

NUR TAK INGIN KEHILANGAN SUAMINYA

- No comments

Hitam semakin menelan serat-serta senja. Gugusan bintang tak lagi terang karena kalah oleh terang lampu jalanan. Sedangkan angin musim panas berhembus mengeringkan air.

Nur duduk bersandar, mengusap-usap perutnya yang mengembang. Matanya memperhatikan setiap tamu yang datang. Pandangannya agak samar karena lampu penerang memang tidak benar-benar terang dan anyaman penjalin yang menabiri antara dirinya dan para tamu cukup rapat.

Ruri duduk di sudut dekat Nur. Ia tak menyadari kalau di balik tabir penjalin itu keponakannya mengawasi wajahnya. Ia mengenakan kopiah putih yang semakin menambah kewibawaannya. Sesekali ia tertawa kecil, tentu saja bukan kepada Nur tapi kepada Din yang duduk memunggungi Nur.

Nur tiba-tiba tenggelam dalam lamunan. Bahagia yang sempat menyisir hatinya terusik oleh rasa pilu dan nelangsa. Ia seharusnya bahagia karena tiga puluhan sanak familinya saat ini sedang berkumpul di rumah hanya untuk Nur, juga untuk jabang bayi yang ada di dalam kandungannya. Ingatan pada suaminyalah yang membuatnya murung.

Sebulan yang lalu Jun pamit untuk mencari rejeki tambahan karena menurut perhitungannya uang tabungan yang sekarang ada takkan cukup untuk biaya persalinan. Ia pergi ke sebuah pulau terpencil di Pesisir Barat bersama tiga lainnya. Entah angin apa yang membaca mereka pergi ke sana. Nur sudah berusaha melarangnya. Tak perlu jauh-jauh ke sana untuk mencari tambahan biaya.

“Kau tahu Nur, mengejar mimpi terkadang harus menelan malu. Tetapi Abang akan lebih malu lagi kalau untuk kenduri kelahiran anak kita nanti Abang harus berhutang sana sini.”

“Apa yang sebenarnya Abang cari di Pesisir Barat?”

“Anugerah alam, Nur. Kalau Abang beruntung tak hanya kenduri yang bisa Abang tunaikan nanti, tapi juga rumah. Ya, rumah untuk kita dan anak kita.”

Nur menatap mata suaminya tajam-tajam mencari jawaban atas kegigihannya untuk pergi.

“Nur, orang-orang hanya mengenal Pesisir Barat dari damar, lada, dan cengkehnya. Padahal ada yang tersembunyi di balik itu semua. Abang hanya akan mengambil segenggam saja. Satu atau dua minggu abang pasti kembali.”

Nyatanya, bukan satu atau dua minggu, tapi sudah lebih satu bulan suaminya mengingkari janji. Sampai usia kandungannya semakin mengembang di bulan ketujuh. Sampai kenduri kecil sebagai rasa syukur dan doa ini ditunaikan tanpa kehadiran suaminya.

Nur bukanlah wanita yang lemah. Guncangan berat seperti ini ia hadapi dengan tabah. Ia melihat kedua teman suaminya kembali meskipun dengan tekanan mental yang sampai sekarang belum bisa dimengerti sedangkan yang satunya kembali tanpa nyawa dan juga tangan kirinya. Nur sudah kehabisan air mata tapi tidak pertanyaan-pertanyaan di kepalanya mengapa hanya suaminya yang lenyap tanpa kabar berita.

Lamunan Nur buyar ketika ia mendengar bacaan fatihah yang tersentak dibaca serentak. Surat pembuka kita suci itu dibaca berulang kali sebagai pembuka tahlil. Nur tersenyum. Tangan mengusap-usap perutnya.

“Yang mimpin tahlil itu adalah kakekmu, sayang. Kelak kalau kamu sudah lahir kamu harus belajar banyak dari kakek.”

Setelah itu, ia mengenalkan satu persatu. Tentang Ruri, lalu yang duduk di sampingnya, lalu sampingnya, lalu sampingnya, hingga ke barisan orang-orang yang tidak membaca tahlil. Mereka membaca salah satu surat Alquran yang dibagi menjadi enam bagian. Nur kembali merasakan pilu. Seandainya di antara mereka duduk pula suaminya.

Sampai-sampai di pagi hari, setelah shalat subuh, ia masih meringsek di atas kasur, antara miring dan merebah. Perutnya diganjal bantal. Tubuhnya pun masih berbalut mukenah putih. Tidak seperti biasanya, kali ini Nur tak mampu menahan kantuknya usai shalat subuh.

Hingga akhirnya ia terbangun oleh suara pintu kamarnya yang digedor-gedor diikuti oleh namanya yang dipanggil-panggil sambil mengabarkan warta.

“Nur, keluar! Nur! Suamimu, Nur, suamimu!”

Nur tersentak. Bangun. Mulutnya memanggil nama ‘mas’ untuk meyakinkan dirinya. Tentu saja tak ada jawaban apa-apa. Justru pintu kamarnya kembali digedor-gedor.

“Cepet Nur, keluar!”

Seorang lelaki tergeletak berselimut kain yang baru diambil dari lemari. Sayangnya, selimut itu tak mampu menyelimuti kekusutan paras laki-laki itu. Rambutnya gondrong dan berantankan. Begitu pula kumis dan jambangnya. Pastilah sudah berminggu-minggu tidak dipotong dan juga disisir.

Tapi Nur tak mungkin lupa dengan suaminya sendiri meskipun kulit suaminya kini kusam terbakar. Ada luka lebam di punggung dan lengannya. Juga codet di pelipis dan pipinya. Rasa bahagianya bercampur aduk dengan rasa penasaran bagaimana suaminya bisa mendapatkan luka-luka itu.

Nur tak bisa mendapatkan jawaban apa-apa karena orang yang mengantarkan suaminya sudah berlalu sejak tadi. Ia tinggal menunggu suaminya siuman.

Tarmadi yang mendengar kepulangan suami Nur juga tak lebih tenang dari Nur sendiri. Mondar-mandirnya lebih cepat dari semua yang ada di sana. Sebenarnya, Nur dan juga lainnya, merasakan kerisihan yang tertahan atas sikap Tarmadi itu. Lagi pula, untuk apa Tarmadi segelisah itu.

Benar saja, ketika Jun perlahan membuka kedua matanya Tarmadi sudah duduk paling dekat. Tangan kanannya menggenggam erat tangan Jun. Kencang pula.

“Bagaimana kamu bisa pulang? Bagaimana kamu tidak kehilangan tangan?”  Tak seorang pun yang mengerti pertanyaan Tarmadi. Nur merasa kalau Tarmadi menyembunyikan sesuatu, Tarmadi mengetahui perihal ganjil yang menimpa suaminya.

Tapi Jun tidak benar-benar siuman. Matanya terbuka tapi tidak memandang apa-apa. Kesadarannya masih terjebak di bawah sana hingga hentakan tangan Tarmadi tidak dirasainya sama sekali.

Kalau bukan Nur yang membentak mungkin Tarmadi akan tetap mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan. Maka, ketika Tarmadi akhirnya pergi Nur menggantikan tempatnya dan menggenggam erat tangan suaminya. Tangannya dingin tak ada reaksi membalas genggaman istrinya itu. Nur memanggil suami dengan lembut.

Semua saling pandang. Masing-masing mencari jawaban. Adik Nur yang sedari tadi pergi ke mantri terdekat belum juga kembali. Mungkin karena ini masih terlalu pagi. Pak dokter belum bangun. Meskipun begitu, tak ada yang bergeming. Nur mengelap tubuh suaminya dengan kain basah. Ia membersihkan kaki suaminya yang bengkak dan pecah di bagian tumit—luka yang lumrah didapat orang yang berjalan jauh tanpa alas kaki.

Kepulangan Jun tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyebar di desa. Tak sedikit yang mengucapkan syukur tak sedikit pula yang membubuhi kepulangannya dengan keganjilan yang kasat mata lalu dikait-kaitkan dengan Slamet dan Amat yang telah hilang kewarasannya. Tak hanya satu dua orang yang mengira-ngira kalau Jun akan bernasib sama dengan kedua temannya atau menyusul Muhib lebih dulu ke alam baka.

Waktu itu, Nur dipamiti Jun untuk pergi sekitar seminggu. Ia pergi bersama ketiga temannya. Slamet dan Muhib tak sulit mendapatkan izin untuk meninggalkan desa karena hanya orangtuanya saja yang mereka punya. Sebenarnya Muhib tidak diizinkan oleh istrinya untuk pergi. Begitu pula dengan Nur yang tak mengizinkan Jun. Tetapi tetap saja, mereka berempat pada akhirnya pergi berkelana.

Tempat tujuan mereka jelas—ke sebuah pantai terpencil di Pesisir Barat. Ada barang berharga di pulau itu. Bukan cengkeh atau kayu damar. Setelah dihitung-hitung, mereka hanya membutuhkan waktu satu minggu saja.

Tapi belum satu minggu Slamet, Muhib dan  Amat pulang lebih dulu. Tak seorang pun yang bahagia dengan kepulangan mereka bertiga. Slamet dan Amat mengalami depresi kejiwaan yang mengerikan. Hingga keluarga mereka harus menjauhkannya dari orang-orang desa yang ingin menjenguk. Sedangkan Muhib tak terselamatkan lagi jiwanya dan lebih mengerikan lagi, tangan kanannya terputus sebatas lengan.

Ketika kasak-kusuk itu sampai ke telinga Nur, ia mencari Tarmadi.

“Apa yang kamu ketahui, Madi?”

“Saya tidak tahu apa-apa. Justru saya sedang mencari tahu sesuatu.”

“Tentang suami saya?”

“Tentang kekuatan di belakang suamimu yang membuatnya bisa kembali dalam keadaan utuh.”

Nur tak menyangka ada mendapatkan jawaban yang menohok seperti itu. Jadi, seharusnya suamiku sudah mati atau bernasib sama dengan Slamet dan Amat, batin Nur.

“Lalu?”

“Kita hanya bisa menunggu, Nur, juga berdoa. Suamimu sedang berjuang untuk kembali pada kesadarannya. Jangan biarkan dia bernasib sama dengan kedua temannya.”

“Kalau begitu, segera kita bawa ke …”

“Ke dokter?! Dokter takkan mampu berbuat apa-apa.”Tarmadi menarik nafas panjang. Ada mengganjal di dadanya. Ia melihat ke arah Nur yang membopong perutnya yang membesar. Ia pun tak ingin anak yang terlahir kelak langsung menjadi yatim. “Nur.”

“Ya.”

“Sepulang dari sini, lihatlah tangan kanan suamimu apakah dia masih menggenggamkan tangan atau tidak. Dia tidak menggenggam apa-apa. Tapi sebenarnya dia sedang menggenggam sesuatu.”

Lalu diceritakanlah tentang cupu-cupu yang konon hanya ada di sebuah pulau di seberang Pesisir Barat. Banyak yang mencarinya. Iming-imingnya pun tidak sedikit. Dari semua yang pernah ke sana, belum ada yang kembali dalam keadaan waras. Hingga suatu hari, cerita tentang cupu-cupu itu sampai di desa ini dan ketika ronda malam berlangsung, Jun dan teman-temannya ingin pergi ke Pesisir Barat. Tarmadi sudah berupaya melarangnya mereka tapi tak membuahkan hasil sama sekali.

Keberadaan cupu-cupu itu belum pernah dipastikan sekali pun tapi tentang orang-orang yang hilang di pulau itu tak seorang pun yang meragukannya.

Mereka yang mati atau terpaksa harus dipasung di rumah memiliki tanda-tanda yang sama. Mereka menggenggamkan tangan kirinya. Ketika genggamannya berhasil dibuka paksa tak ada apa-apa dibalik jari-jari mereka.

“Benarkah tidak ada yang selamat?”

“Bukan tidak ada yang selamat yang ditanyakan tapi bagaimana “cara menyalamatkannya?”Tarmadi mengoreksi pertanyaan Nur, “Kalau demikian, inilah cara satu-satunya.”

Tarmadi menunjukkan tangan kirinya yang telah putus.

Untuk kedua kalinya, rumah Nur dipenuhi orang-orang. Kali ini yang datang lebih banyak dari sebelumnya. Bacaan fatihah bergemuruh di ruang depan dan dilanjutkan dengan bacaan tahlil. Di kamar Nur menggenggam tangan kanan suaminya. Begitu juga tangan Jun tapi tidak membalas genggaman tangan Nur. Ia menggenggam kealpaan yang tak dipahami orang-orang. Sementara itu, Ruri yang tak ikut jamaah di depan, duduk di dekat sumur sambil mengasah parang. []

Friday, 11 September 2015

MATA CERMIN

- No comments

Saya membenci cermin ini, meskipun awal saya sayang mencintainya. Ia tergantung di dinding yang menghadap kamar mandi. Ketika saya keluar dari kamar mandi, langsung saja kutangkap salinan tubuhku terperangkap di dalam cermin itu.

Dulu saya sangat mencintai cermin ini. Usai menuntaskan mandiku, dan keluar hanya dengan handuk setinggi pusar, salinan tubuhku di sana bergerak sendiri menuju lemari pakaian dan kembali dengan pakaian yang sudah melekat di sekujur badan. Ia selalu menunjukkan apa yang pantas hari itu. Saya pun mengikuti saran cermin itu. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun.

Sesekali saya nekat. Meskipun ada rasa ketir dan malu. Tapi akhirnya saya memberanikan diri. Usai merendam tubuhku dalam kehangatan air bath-tub, saya keluar dalam keadaan telanjang. Mataku tertutup. Malu melihatku sekujur tubuh tidak dililit seutas benang pun. Meskipun hanya dilihat oleh mataku sendiri. Ini pertama kalinya saya telanjang di depan cermin. Perlahan kubuka mataku. Saya terkejut bukan kepalang karena bayangan tubuhku sudah mengenakan kaos-T dan celana jeans. Mungkin ia memakai kaos dan celana itu ketika saya menutup mata.

Keesokan harinya, saya lebih nekat lagi. Kali ini tidak perlu menutup mata, tapi langsung saja kubuka lebar mataku. Anehnya, seluruh cermin itu menjadi buram. Berembun. Hanya seluet bayangan tubuhku yang meliuk-liuk meninggalkan cermin dan tiba-tiba muncul lagi. Setelah ia tegap berdiri, perlahan ia menjadi jernih kembali. Cermin itu tidak mengizinkanku menelanjangi diriku sendiri.

Hingga tiba-tiba cinta itu berubah menjadi kebencian dan kengerian. Cermin itu tidak lagi menunjukkan apa yang pantas, justru sebaliknya.

Mungkin ia cemburu. Karena di sudut cermin itu kuselipkan foto perempuan yang kutemui di persimpangan jalan -kami berkenalan ketika sama-sama menunggu bus yang akan membawa kami pulang. Semenjak itu, bayangan tubuhku terbujur kaku. Ia tidak bisa bergerak meskipun saya lambaikan tangan berulang kali. Bahkan, beberapa kali, ketika saya menatap foto perempuan itu, tiba-tiba bayangan dalam cermin itu menampakkan tubuhku yang terhujam pisau. Tepat di jantung. Ngeri.

Namun, kenapa harus takut dengan bayangan sendiri? Kenapa saya harus mengikuti bayangan itu, bukan sebaliknya? Bukankah ia hanya sebuah bayangan dalam cermin?

Dan hari itu, ketika cermin itu kembali menunjukkan tubuhku yang tertikam pisau, saya menjadi geram dan kalap. Harus ada yang menghakhiri. Harus saya yang mengakhiri. Kuraih pisau itu dan kuhujamkan ke batas antara saya dan bayangan saya. Tapi sebuah kekuatan gaib menepis pergelanganku. Dan pisau itu -dengan sisa-sisa tenaga yang masih mendorongnya- menghujam tepat di ulu hati perempuan di dalam foto itu.

Dua hari saya menginap di kantor. Pekerjaan yang menumpuk ini seperti sebuah pelarian yang tepat untuk mengalihkan pertengkaran antara saya dan cermin di kamar saya. Saya pulang hanya menumpang mandi. Tak kutengok sedikit pun cermin yang memantulkan cahaya mentari ke wajahku. Saya masih merasakan jengkel bukan kepalang. Saya memutuskan untuk cepat-cepat menuju halte di sebrang jalan untuk menemuinya: perempuan yang gambarnya tertikam pisau karena pertengkaranku dengan cermin di kamarku tapi saya tak menemukannya.

Ketika pulang saya menyambar koran yang kusambar dari ruang satpam. Di rumah, kututup seluruh cermin itu dengan koran yang saya ambil tadi. Ternyata ada berita yang membuat sendi sekujur tubuhku melebas tak berdaya. Halaman depan itu memberitakan seorang perempuan dirampok dan dihabisi jiwanya saat pulang kerja. Korban meninggalkan luka pisau di ulu hatinya.

Bandarlampung, 12 Desember 2010

Friday, 4 September 2015

Mengukur Nilai Hidup dari Kary Putu Wijaya

- No comments
Membaca “KLOP” seperti bercengkrama dengan diri sendiri untuk menanyakan idealitas kita sebagai Manusia Indonesia. Isi kepala yang sudah terlanjur dibebali dengan fikiran metrialistik, kepicikan, dan besarnya hawa nafsu seperti ditantang untuk di”instal” ulang. Dorongan ke arah sana sangat terasa ketika membaca “Mawar” yang menjadi inspirasi bagi keluarga yang ia tempati. Selain itu, mawar seperti mengajak pembaca untuk mempertanyakan hakekat dan tujuan hidup dan kehidupannya.

“Mawar itu aku. Aku bukan baja atau kayu yang menjadi tiang rumah selama puluhan bahkan ratusan tahun, aku adalah mawar. Dan aku akan tetap mawar. Aku tidak menjaga, tetapi menyalakan kegembiraan, jiwa baja dan kelenturan kayu itulah yang menjaga. … . Aku tidak boleh diam terlalu lama karena harumku akan menjadi terbiasa dan cahaya yang kubawa tak akan lagi ada artinya kalau kebanyakan.”

Begitulah kira-kira pembaca diajak menjalani hidup; segera beranjak dari menikmati keberhasilan dan kesuksesan supaya tidak berlama-lama, karena jelas sekali sikap demikian sangat berbahaya. Mawar seperti menantang pembaca untuk memilih antara mempertahankan eksistensi hidup (yang sering kali dilandaskan pada ego) atau membangun dan melakasanakan kemanfaatan potensi hidup (yang biasanya akan dicampakkan ketika sudah tidak berguna). Namun ketika mawar dicampakkan dari rumah itu karena dianggap sudah layu, rupanya potensi dirinya sebagai cahaya tidak pudar, ia menjadi cahaya semangat bagi keluarga pemulung dan kemudian terhempas dan berakhir di tangan seorang seniman.

Membaca “KLOP” seperti kembali diingatkan pada kekelaman birokrasi Indonesia pada masa pasca Reformasi –bahkan sekarang masih kelam. Waktu itu, Soeharto memang sudah lengser, tapi watak birokrasi yang diwariskannya seperti menjadi penghalang bagi agenda Reformasi. Watak birokrasi Orde Baru tidak ingin digantikan –meminjam istilah Iwan Fals- Orde Paling Baru. Sehingga yang muncul adalah problematika baru. Lihat saja, Habiebie yang kehilangan Timor Timur, Gus Dur yang diangkat dan diimpeachmen oleh orang yang sama, Megawati yang tidak mampu mempertahan dua pulau yang sangat indah, pencaloan kapal tangker, dan penjualan Indosat.

Pasca Reformasi sampai tahun 2004 adalah masa-masa pendewasaan setelah memperoleh kebebasan dari kungkungan yang sangat lama. Bukan berarti setelah itu, mereka dan juga kita menjadi cukup dewasa.

Mengingat kembali sejarah memang sangat diperlukan ketika seseorang mulai berjalan menjauh dari rencana awal. KLOP mengingatkan tentang hal itu; tidak secara langsung mendiktekan apa tujuan sebenarnya, tapi cukup dengan menggambarkan pentas drama perpolitikan Indonesia pada masa itu. Seperti dalam “Jendral”.

Jendral mengabdi untuk bangsa dan negara, mempertahankan negara, dan menjaga haluannya sesuai dengan nilai kenegaraan yang dirumuskan dahulu supaya tidak jatuh di tangan yang kotor. Jendral ingin melawan birokrasi, tapi tidak mampu. Ia mengharapkan kepada anaknya, tapi harapan itu sia-sia karena anak jendral itu punya cara sendiri untuk mengabdi, mempertahankan dan menjaga negeri ini; ayah menginginkan anaknya menjadi tentara dan menjauhi politik. Alih-alih keinginan itu dipaksakan kepada anaknya, ternyata anak jendral itu menginginkan mejadi politisi.

Di sinilah, gambaran menarik tentang cara pandang dari dua generasi yang berbeda; tua dan muda, meskipun mereka memiliki tujuan yang sama. Di sinilah, menghargai kedewasaan orang digelitik. Ironisnya, jendral mengambil jalan pintas untuk “melumpuhkan” anaknya demi idealitasnya, meskipun pada detik terakhir ia sangat menyesalinya.

Membaca “KLOP” seperti diajarkan kembali nilai-nilai luhur dan semangat berbudaya yang “Indonesia”. Menafsirkan lambang dan kode-kode. Memaknai arti sesungguhnya dari hanya sekedar simbol. Mungkin itu yang coba disampaikan penulis dalam “Kartini”. Menjadi Kartini modern berarti mengambil semangat Kartini lama. Menjadi seorang Kartini modern berarti mengetahui dengan seksama tugas dan esensi yang diperjuangkan. Karena menjadi Kartini modern bukan sekedar keluar rumah untuk arisan dengan berdiri dibelakang dalih emansipasi. “Bukan kostum yang membuat perempuan menjadi Kartini, tapi cita-cita.” Begitulah kata pak Amat dalam “Kartini”.

Ada juga hal yang sangat menggelitik ketika membaca cerpen yang berjudul “Soempah Pemoeda”. Ami –anak perempuan pak Amat- bisa mewakili gambaran betapa banyak kegiatan-kegiatan yang dibungkus niat kebaikan sosial, tapi sebenarnya adalah untuk tujuan pragmatis, uang. Ami dan beberapa temannya, dalam momen peringatan Soempah Pemoeda mengadakan acara penggalangan dana yang menghabiskan dana 500 juta, dan dana yang terkumpul dari acara tersebut sebesar 200 juta. Tentu itu bukan kegiatan yang menguntungkan, justru rugi 300 juta, meskipun yang 500 juta didapat dari sponsor dan donatur.

Pak Amat yang tidak setuju dengan acara seperti itu akhirnya menyadari betapa besar arti uang pada zaman sekarang ini. Ketika ia memberi nenek pengemis uang seribu rupiah, ia menyadari “Ya Tuhan, ternyata rasa simpati, cinta, dan semangat persatuan saja tidak cukup. Memang uang penting sekali. … . karena selembar ribuan yang kumal saja sudah bisa membuat seorang perempuan yang berduka tersenyum.”

Namun, dalam paragraf terakhir, ketika pak Amat dan Ami saling memahami kesalah-pahaman masing-masing, isteri pak Amat membisiki, “Sebenarnya malam itu mereka bukan untung 200 juta, tapi 600 juta. Yang 400 mereka bagi-bagi di antara panitia untuk membayar biaya skripsi, dan S-1, S-2 dan S-3, Pak.”

* * *
Memang begitulah Putu Wijaya dengan kekhasannya menulis cerita. Karya-karyanya memang menteror bangunan fikiran pembacanya, antar sejutu dan tidak, antara suka dan duka, antara pilu dan ngelu. Buku yang diterbitkan Mei 2010 ini memuat dua puluh cerita pendek Putu Wijaya. Cobalah untuk bercengkrama dengan KLOP malam minggu ini, mungkin esok harinya akan dapat inspirasi untuk hari Senin dan seterusnya.[]

Bandarlampung, 11 Juni 2010

.