Sunday, 19 July 2015

Tamu di Pagi Hari

- 1 comment

Ini pagi kenapa terasa beda sekali
Sehabis bangun dari mimpi ada tamu datang menghampiri
Sayangnya ia malas berkata-kata
Kusediakan saja kertas dan pena
Namun ia mengkoyaknya

Tamuku suka sekali daun telinga
Kuceritakan saja tentang hari esok
Kuhidangkan juga secangkir pop
Tapi di ujung cerita tiba-tiba ia membacakan puisi Rendra

“Itu lagi itu lagi. Apa tidak ada yang lain?” tanyaku
“Kau juga, lagi-lagi itu. Apa yang lain tidak ada?” jawabnya
Lalu ia pulang ke yang paling dalam

Kalau esok ia berkunjung lagi
Ia harus membayar selembar kertas yang dikoyaknya


Ruang Sunyi, 24 April 2010

Air Terjun Kecil dengan Pelangi Kecil

- No comments

Pelangi kecil yang sering tampak di air terjun kecil lenyap
Kami pikir karena sinar matahari terhalangi bunga-bunga di tebing sungai

Air terjun kecil dengan pelangi kecil sering kali membuat orang tertarik berkunjung
Bentuknya melengkung dengan sebelas warna
Kalau dilihat dari sisi luar ia tampak kecil
Tapi kalau kau melihat dari bawah air terjun kecil kau akan dipenuhi warna pelangi
Mereka yang datang juga mengambil sebanyak mungkin air segar yang jatuh dari langit
Ada yang hanya ingin menghilangkan rasa dahaga
Ada pula yang ingin sakti mandraguna
Selain untuk dirinya sendiri, ternyata mereka membaginya di kampung halaman
Di trotoat dan juga jalan-jalan

Lalu makin banyak pula yang datang menimba air di air terjun kecil dengan pelangi kecil
Beberapa orang yang datang mulai melihat keindahan bunga-bunga yang ada di sekitar air terjun
Pertama-tama melihat keindahannya
Lalu menceritakan kepada tetangga
Anak tetangga juga datang ke air terjun kecil dan membenarkan keindahan bunga-bunganya
Siang mereka mereka meneguk air di telaga
Sore mereka memandang bunga-bunga

Air terjun kecil tak memperdulikan pelangi kecil
Ia hanya meneruskan menghantarkan air mengaliri telaga
Untuk menghidupi segalanya; rumput, pepohonan, bahkan bunga-bunga
Air terjun kecil tak ditemani lagi oleh pelangi kecil
Apa mungkin karena sinar matahari terhalang oleh bunga-bunga di tebing sungai?

Bandar Lampung, 15 Mei 2010

Hirarki Cinta

- No comments


buah dada adalah hati
buah hati adalah cinta
buah cinta adalah anak
buah anak adalah sebilah mata pisau

Malang, 2004

Hari Ini Bising Sekali

- No comments

Hari ini bising sekali
oleh suara hasrat-hasrat yang kian menggeliat, dendam-dendam yang selalu mengganyang, dan ribuan butiran nafsu yang entah kapan mampu dibelenggu
Pagi dimulai dengan panas, siang dilalui dengan panas, dan sore mengakhirinya dengan panas. Hujan wahyu yang berabad-abad lalu mengguyur bumi mampat di kepala tak pernah turun ke hati.

Esok pun, bumi akan kembali bising
karena sabda-sabda nabi selalu melewati telinga kiri
tujuh wali entah mengembara kemana, auranya seperti luluh disergap gagap gempita dunia.

Ataukah mungkin hanya aku yang kalah, salah dalam memahami amanah-amanah.
Ya Allah, kalau memang telingaku telah rapat tersumbat, keran fikiranku telah tertutup mampat, semoga Engkau tetap membuka pintu hatiku.

5 Sya'ban

Kreatifitas Bermula dari 'Menjiplak'

- No comments

Jadi orang kok tidak kreatif, kerjaannya menjiplak dan mengutip.
Begitu kata seorang teman yang beberapa kali saya sodori catatan-catatan penting dari koran atau buku. Mendengar ucapannya saya jadi bingung mau menjawab bagaimana, bukan karena saya telak tidak bisa menanggapi tapi karena saya tidak tahu harus menjelaskan dari mana.

Memang tidak semua orang memiliki kreatif tinggi, tapi hanya sedikit sekali orang yang melompati hidup langsung pada proses kreatif. Karena saya bukan bagian dari orang yang melompati hidup langsung pada proses kreatif itu, maka saya memulainya dengan proses menjiplak dan mengutip. Ya, saya berharap suatu saat kreatifitas itu betul-betul terlahir dari jiwa saya yang hampa ini. Dan semoga benar terjadi.

Dosen saya pernah membiarkan mahasiswa yang menjiplak dan mengutip makalah orang lain seenaknya. Saya yang menyampaikan protes langsung justru tertegun karena mendengar jawabannya itu. Itu proses pembelajaran bagi dia hingga suatu saat dia akan benar-benar menulis makalah dengan kepala dan tangannya sendiri, jawabnya.

Suatu hari, saya melihat teman saya memberi tugas makalah kepada murid-muridnya. Ada muridnya yang menulis dengan kreatifitas dan informatif, dan ada juga yang seperti mahasiswa tadi, menjiplak seenaknya. Saking enaknya menjiplak sampai ia lupa mengganti latar belakangnya tentang pelajaran Biologi, padahal itu tugas Bahasa Indonesia.

Kebiasaan menjiplak dan mengutip masih saya lakukan sampai sekarang. Bedanya sekarang saya menjiplak dan mengutip lebih sopan dan enaknya dibagi bersama. Saya tulis referensinya lengkap di anotasi atau di footnote. Dengan begitu semua jadi enak; saya enak menjiplak, penulis asli juga merasa enak karena tidak dienyahkan ke kotak sampah, dan pembaca juga enak karena tahu kalau ternyata kepintaran saya selama ini berkarya sebenarnya dihasilkan dari proses jiplakisasi.

Saya teringat teman saya yang juga beberapa kali –tidak sering seperti saya- menjiplak sana sini. Tujuannya menjiplak adalah untuk melatih daya kreatifitasnya, membandingkan karyanya dengan karya orang lain, lalu ia menulis sesuatu yang baru. Inilah kreasi saya, rekreasi dari kreasi sebelumnya. Kadang tampak seperti mimetik. Tak apalah yang penting saya sudah melakukan aktualisasi. Begitu katanya.

Tapi saya kok gak bisa seperti itu ya. Selalu stagnan. Mungkin ada benarnya nasehat ayah. Jatuh cintalah, maka kau akan menjadi orang paling kreatif dalam masa-masa hidupmu.

Minggu, 30 Oktober 2011

Wednesday, 15 July 2015

Melebarkan Segalanya Saat Lebaran

- No comments

Salah satu pekerjaan tanpa gaji yang biasa dilakukan menjelang lebaran adalah bersih-bersih. Apa yang dibersihkan? Ya tergantung siapa dirimu.

Menurut saya yang penting dipertanyakan adalah mengapa harus bersih-bersih, bukan menanyakan apa yang dibersihkan. Kalau sudah tahu alasannya selanjutnya akan lebih mudah menentukan objek yang akan dibersihkan.

Saya risih kalau kamar tidur saya kotor dan berantakan. Risih karena bingung harus menaruh barang di mana karena setiap barang bisa di mana saja. Kalau dibersihkan, ditata dan diletakkan di tempat yang semestinya, barang yang bisa di mana saja kini menjadi tepat tempatnya.

Kamar saya kalau sedang berantakan terasa tidak ada ruang untuk barang belanjaan yang baru saya beli. Bingung mau menempatkan di mana. Kalau sudah bersih-bersih dan tata-tata kan jadi tahu dimana barang belanjaan harus dipajang.

Karena mumpung menjelang lebaran ayo kita bersih-bersih supaya terasa segar dan fresh (renyah), supaya ada tempat untuk meletakkan barang yang sebentar lagi akan diterima saat lebaran.
 
Toh lebaran berasal dari kata lebar. Jadi mari kita lebarkan segalanya saat lebaran. Pelebaran yang paling mudah ya melalui bersih-bersih.

Di hari lebaran nanti kita akan menerima banyak hal. Kalau yang masuk kategori ‘kita’ adalah anak-anak berarti akan menerima kertas bergambar pahlawan dari om-tante-eyang. Kalau yang masuk kategori ‘kita’ adalah guru berarti akan menerima banyak tamu dari siswa dan handataulan. Kalau yang masuk kategori ‘kita’ adalah jomblo? Siap-siap saja menerima banyak pertanyaan ‘kapan kawin?’

Makanya, yang harus dilebarkan menjelang lebaran ini adalah hati. Seperti kata kiai yang konon sangat tersohor, kita harus memulai dari diri sendiri. Hati harus dibersihkan, dilapangkan, dan dilebarkan karena kita akan memberi banyak hal kepada orang lain, termasuk memberi maaf pada orang yang dulu pernah menyakiti perasaan: perebut pacar.

Kalau hati sudah bersih, biasanya akan terpancar dari wajahnya merambat ke sekeliling.

Setelah bersih-bersih dan tata-tata hati, berikutnya adalah bersih-bersih dan tata-tata rumah. Mau tak mau, bersih-bersih rumah harus dilakukan untuk menyambut kehadiran orang-orang yang kita kasihi, termasuk kehadiran orang yang tidak diingini: ya perebut pacar tadi. Mereka akan melihat rumah kita yang bersih lalu berdoa ‘Ya Allah, rumahnya bersih banget. Semoga hatinya juga bersih.’

Mengingat momentum lebaran hanya sekali dalam setahun, momentum saling memaafkan secara berjamaah yang berjalan turun temurun, melakukan dua pekerjaan di atas tentu tidak berat. Ringan sekali. Tak perlu pamrih dengan gaji karena tanggal satu Syawal yang kita terima lebih besar dari gaji bulanan sendiri. []

Tuesday, 14 July 2015

Macam-macam Orang Mudik

- No comments
Ilustrasi
Salah satu aktifitas massal yang menarik di bulan puasa adalah mudik. Selain sebagai aktifitas yang menarik, mudik hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang tahu tempat asal-muasalnya, oleh orang-orang yang pergi entah kemana dan tiba-tiba merasak kerinduan untuk kembali.

Mudik mungkin berasal dari kata udik—yang konotasi maknanya sangat bersebrangan dengan modernitas. Tapi orang-orang modern di kebanyakan justru mereka yang secara gagah berani berangkat menjauh dari udiknya, mencari dunia baru entah di mana. Lalu mereka terikat oleh rasa yang, rasa rindu. Rasa rindulah yang membawa mereka untuk kembali

Ada berbagai macam orang mudik. Ada yang menganggap mudik sebagai aktifitas bersama yang rutin dilakukan di waktu-waktu akhir Ramadan. Mudik adalah aktifitas komunal untuk berduyun-duyun kembali ke tanah kelahiran. Mereka menganggapnya tak jauh beda dengan berduyun-duyun pergi ke tempat kerja di pagi hari. Sehingga, ketika melihat kemacetan di perjalanan mudik mereka melihatnya sebagai keruwetan jalanan menuju kantor.

Orang-orang seperti ini sebagian ruang batinnya tersiksa, tertekan, dan jauh dari nikmat perjalanan mudik. Ujung-ujungnya yang dihitung adalah untung rugi, besaran biaya yang dikeluarkan untuk pulang kampung: biaya ongkos di jalan, biaya oleh-oleh, biaya hidup di rumah yang dulu melindunginya di waktu siang dan malam. Semoga kita—para pemudik—terjauh dari perasaan yang demikian ini.

Ada pula orang yang menganggap mudik sebagai perjalanan rekreatif. Mudik adalah waktu senggang untuk menarik nafas ‘bebas’ dari rutinitas kerja yang membelenggu. Mereka tak memiliki ruh ‘pulang kampung’ karena perjalanan sebenarnya bukan miliknya tapi milik isterinya. Maka kalau mudik hanya dimaknai sebagai perjalanan mengantar istri pulang kenapa tidak dijadikan ajang rekreasi saja.

Sekembalinya dari kampung halaman mereka mendapatkan rasa semangat yang ‘ter-refresh’. Sumber semangat barunya adalah pertemuan dengan banyak orang yang tidak ditemui dalam keseharian.

Akan tetapi ada orang yang jauh-jauh hari telah merencanakan perjalan mudik. Mereka adalah orang-orang yang sudah sangat ingin mengobati rasa rindu di lubuk hati. Kerinduan pada tempat pernah menampungnya sementara waktu tetapi pada hakekatnya tempat itu tidak pernah menjadi tempat yang sementara.

Mereka yang dari tempat jauh melakukan perjalan untuk kembali dalam rangka berucap terimakasih, menapak-tilasi masalalu supaya sekembalinya dari kampung kembali teringat untuk apa dulu ia pergi, sehingga kembali kuat dan teguh hati.

Mereka yang menempatkan biaya mudik di urutan yang kesekian. Yang ada di pandangan matanya adalah besarnya kasih sayang orang-orang yang akan ditemuinya, besarnya nikmat silaturrahim dengan handataulan dan sanak famili, doa-doa yang saling terucap ketika tangan bersalaman.


Terlepas dari pemudik-pemudik itu, kita semua sedang melakukan perjalanan mudik. Perjalanan yang dimiliki oleh semua orang, baik yang lebaran ataupun tidak, yang selama Ramadan ikut berpuasa ataupun tidak, yang memiliki kampung halaman ataupun tidak. Mudik ini sering dilupakan, yaitu mudik kepada sang Pencipta.

Desak-desakan yang dihadapi di loket-loket pembayaran tidak sebanding dengan perjalan mudik besar ini. Biaya yang dikeluar setiap tahun untuk pulang kampung tidak sebanding dengan biaya bekal yang harus disiapkan dalam perjalanan mudik besar ini. Kalau dari para pemudik pernah merasakan indivualitas yang tajam saat di atas kapal penyebrangan, di bangku-bangku antrian, di terminal-terminal, akan ada individualitas yang lebih tajam lagi karena setiap orang khawatir dengan dirinya sendiri.

Mudik pulang kampung secara mental mengajarkan kita pada mudik besar yang akan dihadapi oleh semua orang. Tapi jangan terlintas bahwa mudik besar akan terasa sama mudahnya dengan mudik pulang kampung.

Dalam mudik pulang kampung, yang membuat hati teguh atas keruwetan perjalanan adalah rasa rindu untuk bertemu kekasih. Begitu pula dengan mudik besar nanti, kerinduan pada Kekasihlah yang menjadi penguat hati.

Dalam pulang kampung, yang kita temui adalah para kekasih yang telah membesarkan kita. Begitu pula dalam mudik besar nanti, kita merindukan pertemuan dengan Kekasih yang dulu pernah kita temui sebelum melakukan perjalanan duniawi ini.

Dalam pulang kampung, kita singgah di terminal-terminal. Meskipun menunda pertemuan, rasa bahagia dapat menahan kegundahan. Begitu pula dengan perjalanan mudik besar nanti, kita akan melalui terminal-terminal yang membuat hati resah.

Rasanya, kalau terbayang pada bekal perjalanan untuk mudik besar nanti, masih ingin menunda-nunda di terminal dunia ini. Ada banyak bekal yang masih perlu dipersiapkan. Tetapi kalau terbayang pada pertemuan dengan sang Mahakasih, rasanya ingin segera beranjak dari terminal dunia ini.

Siapa pun dari kita yang mudik ataupun tidak mudik. Semoga perjalanan kita dianugerahi keselamatan dan kebahagiaan; termasuk dalam perjalanan mudik besar nanti.[]

Tuesday, 7 July 2015

SALLY

- 1 comment

Sally. Pertama kali saya melihatnya ketika tanpa sengaja kami masuk dalam satu eskalator dan menekan tombol lantai yang sama. Seperti dalam film-film drama. Momen itu ternyata membangkitkan bulu-bulu cinta. Sampai akhirnya kuputuskan bahwa saya akan mengundangnya untuk menapaki satu langkah berikutnya yang lebih serius. Tentu setelah kami sering berkomunikasi pada hari-hari berikutnya.

Justru teman saya yang sedikit meragukan apa yang kuputusan. Dia membicarakan siapa saya dan siapa dia. Lalu di ujung kalimat, ia menutup dengan ucapan yang kerap kali kudengar. Kalian mirip enggak? Biasanya kalo jodoh selalu saja ada kemiripan.

Sebelum tidur, kukeluarkan fotonya lalu kuletakkan di atas meja. Kusandingkan dengan fotoku yang dicetak dua tahun yang lalu untuk persyaratan membuat KTP. Kusimpulkan senyum.

Jelas kami mirip. Dia semampai, saya tidak pendek. Dia pintar, saya tidak bodoh. Dia baik, saya tidak jahat. Dia putih, saya tidak hitam. Dia kaya, saya tidak miskin. Dia rajin, saya tidak malas. Satu-satunya yang membedakan adalah dia cantik, saya ganteng.

Dan terjadi sebuah pernikahan. Kami menjelma menjadi raja dan ratu. Meskipun dalam bahagia, kuteteaskan air mata haru. Untung saja air mataku sempat kuusap sebelum sampai ke bibir. Kalau tidak, pasti lidahku akan mengecap-ecap asin. Rupanya, ia pun demikian. Kulihat beberapa kali ia menyeka air mata. Dan kusadari satu hal. Ternyata ia tampak anggun sekali sakali dalam keharuan.

Bahagia telah menghilangkan rasa letih. Mengantarkan kami melalui semua tetek bengek ini. Sampai akhirnya kami berada di kamar yang sudah diperuntukkan bagi kami berdua.

Dari dalam kamar mandi, Sally keluar dengan piyama cokelat muda yang menggoda. Harumnya benar-benar menyegarkan. Dari meja rias ia menatapku yang meluai merasakan letih di ujung ranjang. Mata lentiknya menjarahku, lalu menarikku untuk mendekapnya. Sialnya, sebuah biji manik-manik yang tergeletak di lantai membuatku terpelanting. Kepalaku terbentur meja.

Seluruh badan terasa tidak enak. Telingaku tidak menangkap suara apapun. Saya pun mencoba bangkit. Sambil mengais kesadaran, kulihat seluruh kamar tersedot kedalam lubang hitam yang tak kumengerti. Pernak-pernik kamar pengantin, kasur, meja, kursi, lemari, semuanya memutar seperti pusaran air dan masuk ke dalam lubang kecil tepat di hadapanku. Lalu Sally pun ikut tersedot dan akhirnya diriku sendiri. Justru ketika semuanya telah selesai tersedot, kukembali dalam kesadaranku. Kulihat Sally dan diriku sendiri terpenjara dalam kertas lux yang tadi kujejerkan sebelum tertidur. 

November, 2012

Identitas Baru

- No comments
Bukan ilustrasi sebenarnya.

Beberapa minggu lalu, saya melakukan perjalanan dinas ke sebuah negeri yang dikenal sebagai negeri dengan masyarakat yang arogan. Kota nan cantik di salah satu negeri itu masih saja kelihatan kotor, termasuk kotoran anjing yang terlihat di mana-mana. Bau menyengat di stasiun kereta bawah tanahnya sama seperti saat sepuluh tahun lalu saya mengunjunginya.

Seperti Cermin

Kalalu saya bercerita demikian, saya tak sedang menghakimi sebuah negeri. Saya malah sedang mendapat pelajaran dan sejuta pertanyaan dari perjalanan dinas itu. Pertanyaannya adalah demikian. Susahkan berubah itu, terutama kalau perubahan itu ke arah yang lebih baik? Mau atau malaskan manusia berubah ke arah yang baik itu? Takutkah manusia akan perubahan dari arogan menjadi rendah hati? Dari kotor menjadi bersih? Gamangkah kalau tak bisa kotor lagi, tak bisa tinggi hati lagi? Takutkah manusia memiliki kepribadian baru meski yang baru itu menjadi lebih baik?

Perjalanan terbesar yang saya petik adalah perilaku manusia itu bisa mengubah manusia lain. Menjadi lebih baik atau menjadi lebih jahat. Singkatnya, perilaku manusia adalah cermin seberapa lingkungan meninggalkan pengaruhnya.

Sejak tujuh tahun lalu, saya memutuskan untuk sedikit berubah karena berubah banyak saya tidak mampu. Saya realistis saja karena biasanya sangat jauh dari menjadi realistis. Saya mau mengubah sikap tinggi hati saya menjadi rendah hati, termasuk lebih menguasai diri dan mengampuni. Meski belum signifikan, perubahan itu nyata dan sudah melahirkan komentar bahwa taring saya sudah tumpul. Tulisan saya sudah tidak lagi ada gregetnya, terlalu baik dan sok suci.

Meski mulut saya masih berkicau dan menggelegar, kicau dan gelegarnya sudah jauh berkurang meski masih saja ada yang terkaget-kaget. Perubahan-perubahan selama tujuh tahun ke arah yang lebih baik yang saya lakukan dengan energi nyaris terkurang menjadi sia-sia, bahkan nyaris hilang selama kunjungan dinas yang berdurasi satu minggu itu.

Ini contohnya. Setiap kali naik taksi, setiap kali saya berteriak. Sampai teman saya yang sudah kelelahan mau naik taksi saya rayu supaya tidak naik taksi lagi. Bukan saya tidak mau mengeluarkan dana, bukan saya tidak berani menghadapi si sopit taksi, saya mencegah supaya saya tidak lebih menjerit lagi dan membuat hati jadi panas seperti kompor.


Seperti Valium
Saat makan siang, pesanan saya dan teman datang lama sekali. Kami menunggu nyaris setengah jam lamanya. Saya kemudian bertanya soal pesanan kami. Salah satu pelayan muda nan tampan berkata begini, “Maaf bisakah anda menunggu karena chef kami hanya satu?” Saya menjawab, “Kalau anda punya chef hanya satu itu masalah anda, saya sudah menunggu dari 20 menit yang lalu.”

Akan ada segudang cerita yang membuat naik pitam dan saya tidak perlu membeberkan semuanya. Karena di Jakarta kejadian macam itu juga saya alami. Tak hanya dengan sopir taksi dan pegawai rumah makan, tetapi juga dengan PR yang arogan, pegawai mal yang arogan, atau staf kantor yang mulutnya seperti setrum yang menyengat.

Kebiasaan buruk itu menghancurkan kondisi baik, dan seperti anda dan saya ketahui, yang negatif itu cepat memberi efek, lebih cepat dari MLM. Maka, yang bisa mencegah agar perilaku buruk itu tak makin memburuk hanyalah saya seorang.

Saya tidak kalah kalau saya tidak membalas dengan jeritan dan kearoganan. Kalah karena tidak menjadi juara arogan, tidak menjadi juara menjerit, itu sebuah kemenangan yang telak. Itu menandakan bahwa saya mengontrol emosi dengan baik, dan mereka yang menjerit dan arogan sejujurnya sedang membutuhkan pertolongan.

Pada saat saya memutuskan untuk berubah ke arah yang lebih baik, saya seperti memasuki dunia yang baru dan asing. Bayangkan saja, dari suara menggelegar ke suara yang separuh menggelegar.
Itu seperi anak kecil belajar berjalan. Gamang karena biasanya memancing amarah dan ketersinggungan, sekarang belajar membuat orang menjadi tenang. Saya harus seperti valium yang menenangkan orang yang tak saya sukai. Itu beratnya setengah mati!

Mungkin, ini hanya mungkin, kalau kehilangan separuh gelegar dan arogan itu akan menakutkan. Karena acap kali wibawa dicari denan menggunakan gelegar guntur dan kilat yang menyambar. Maka, daripada gamang, kehilangan taring dan wibawa, sebaiknya tak perlu memiliki ideintitas baru. Saya ini memang begitu. Suka diterima, nggak suak ya….., ke laut aja.

Itu hak setiap orang berkata demikian. Saya hanya menyarankan untuk mencoba sebuah pengalaman baru untuk tidak korupsi lagi, tidak arogan dan menjerit lagi. Kalaupun dulu anda pernah tidak demikian dan sekarang anda menjadi demikian, anda membutuhkan pertolongan.

Karena solusi mau kaya bukanlah korupsi, solusi mau berwibawa bukan dengan menjaerit dan menjadi arogan. Anda keliru besar! Negatif bukanlah solusi untuk menjadi positif.[]

Tulisan di atas adalah tulisan Samuel Mulia yang saya sadur dari Kompas edisi Minggu, 23 Oktober 2011

Pandangilah Dirimu dari Kejauhan

- No comments

Dan kali ini saya ingin berkelakar, berceletuk, meracau tentang wajah-wajah pasi, tentang suara-suara parau, tentang tatapan-tatapan mata penuh curiga. Orang-orang yang berbicara tentang kekalahan, yang menanami hati dengan tendensi-tendensi dan ambisi, yang mereguk air laut untuk menghilangkan dahaga. 

Aku ingin marah. Hanya saja hati kecil yang jarang berteriak -karena lebih sering berbisik- mengirim surat. Rupanya ia mulai malas berbisik. Surat itu menyampaikan pesan: Buat apa kau marah? Ah, percuma kutanyakan itu karena kau selalu punya pembenaran untuk meluapkan bara api. Kuganti saja tanyaku; bagaimana kau akan marah? 

Bangsat! Saya tak bisa jawab itu sekarang; Bagaimana saya akan marah? Bagaimana saya akan unjuk pendapat dan ketidak sepakatan? Bagaiamana bagaimana dan bagaimana. Dan kutanyakan itu karena saya marah. 

"Kau mungkin terlalu lelah bekerja, kawan. Sisakanlah waktu sedikit saja untuk tertawa." 

Ah, memang melihat hamparan sawah justru indah dari kejauhan. Pandanganmu memang luas ketika kau ada di seberang. Bukan karena teman yang terusik karena pergaulan. Bukan karena pekerjaan yang tak juga sampai di terminal pemberhentian. Tagihan-tagihan dan hutang-hutang itu tak mengusik sedikit pun. 

Lalu apa. Itu tanyamu.

Batin. Jalan hidup, kehidupan dan penghidupan, kesepian di tengah keramaian, begitu juga kerinduan pada kesunyian. 

Februari, 2012

Kepemimpinanmu Didasari Kasih Sayang Keibuan atau Logika Isi Kepala?

- No comments


Saya hanya ingin menuliskan ulang apa yang saya baca. Mereduksi kembali. Sekedar untuk memudahkan saya mengingat apa yang baru saja baca dan pelajari. Catatan itu tentang sebuah kepemimpinan.

Ada beberapa tipologi kepemimpinan didasarkan pada akar katanya. Yang pertama, imam/imamah. Sikap memimpin yang dibarengi dengan sikap mengayomi, welas asih, mengorbankan diri sendiri untuk kepentingan yang dipimpin karena kasih  sayang. Dalam sholat, seorang imam harus mempersiapkan diri menanggung kesalahan (dosa) yang terjadi dalam shalat jamaah itu. Begitu juga dengan al-um,  yang berarti “ibu”, memiliki kasih sayang yang luar biasa dalam membimbing anak-anaknya dan mengorbankan kepentingan pribadi.  

Lihatlah, kedua kata itu –imam dan um- berawal dari akar kata yang sama alif dan mim. Bagi anda yang pernah mempelajari filologi (tashrif) bahasa Arab, tentu akan merasakan kedekatan makna yang lebih erat lagi.

Yang kedua; rais/riasah. Kata tersebut bermula dari akar kata ro a sa. Sebuah akar kata yang sama untuk “kepala” (ro’sun). Kepala adalah tempat (hardware) bagi logika, pemikiran, analisis, benar dan salah, untung dan rugi. Kalau yang pertama memiliki akar pondasi di dalam hati (sense), maka yang kedua ini lebih menggunakan pertimbangan data. Hitam putih bisa jadi lebih dominan. Kalau salah dalam membaca, bisa jadi ia terjerumus dalam dunia hitam. Begitu pula sebaliknya.

Hari Minggu kemarin, 8 April 2012, saya membaca Kompas. Di rubrik Parodi terdapat tulisan menarik: Pemimpin. Samuel Mulia menyinggung kepekaan seorang pemimpin -ia mempersonifikasikan dirinya sendiri. Ia mengagumi keberhasilan bawahannya yang telah berhasil menghelat hajatan besar. Namun dalam evaluasinya ia tertegun ketika mendengar bawahannya protes. Salah satu stafnya bilang begini: waktu saya mendengar mas ngomel-ngomel, dalam hati saya ngomong, “Tuhan kenapa saya dapat bos kayak gini lagi.” Si staff memiliki alasan sederhana: saat geladi resik sang boss tidak hadir, menjelang acara dimulai ia pun tidak bersama mereka.

Mereka bukanlah staff-staff yang cengeng. Sama sekali tidak cengeng. Kalau mereka cengeng, bagaimana bisa acara itu terlaksana dengan baik. Kalau mereka cengeng, tentu dekor yang setinggi kelapa itu tidak akan terpasang dengan baik.

Sebenarnya yang mereka dibutuhkan adalah perhatian, kepekaan, dan kebersamaan. Toh, kalau seorang pemimpin datang ia pun tidak akan bekerja sampai manjat-manjat memasang dekor. Tapi kedatangan seorang atasan akan memberi spirit yang lebih, rasa kebersamaan.

Dari gambaran di atas, kalau suatu saat ditakdirkan menjadi seorang pemimpin, kira-kira akan menjadi pemimpin seperti apa. Sudah punya gambaran kan?

April, 20012

Thursday, 2 July 2015

KOTAK AMAL

- No comments

Landu tidak pernah kehabisan akal untuk mengais pundi-pundi receh. Yang terpenting dalam benaknya adalah uang.
Di pelataran rumah ia menggergaji papan, memaku sudut-sudutnya hingga membentuk persegi. Papan penutup atasnya dipasangi engsel sehingga bisa dibuka-tutup. Ia juga membuat lubang kecil di bagian atas tempat orang memasukkan uang. Ukurannya tidak begitu besar sehingga tidak terasa berat ketika dicantolkan ke leher. Sentuhan terakhirnya adalah memberi warna dan membuat nama di bagian muka: Kotak Amal Masjid Aliklas.

Istrinya menatap ragu dan getir. Ide kotak amal itu sudah ia larang semalam tapi Landu tidak mau mendengarkan.

“Bener, Pak, sudah mantap mau begitu caranya mencari uang? Jangan bawa-bawa mesjid, musola, TPA untuk urusan kayak gitu.”

Landu tidak menjawab bahkan menengok pun tidak. Ia tetap mengerjakan bagian akhir dari pembuatan kotak amal itu.

“Bapak mau operasi di mana? Warga di sini tau semua siapa kita. Kalau sampai ada yang melihat, bisa-bisa kita dimassa. Bapak mau operasi di tempat lain, di terminal atau lampu merah? Mereka mana tahu mesjid Aliklas?”

Kali ini Landu bergeming. Ia menengok ke arah istrinya yang tak membantu apa-apa, yang dari semalam mencoba menghentikan niatnya.

“Saya sudah bertekad, Bu. Saya tidak gentar. Soal di mana saya akan operasi, sampeyan tak perlu tau.”

Landu tak sempat melihat istrinya tersenyum karena keburu melanjutkan pengecatan sedangkan istrinya masih tersenyum lega. Ia tahu Landu akan segera kembali ketika kemarahannya mereda. Rasa frustasinya akan kehilangan nyala apinya hingga akhirnya padam. Dan ia akan menemukan gairah hidup yang dulu pernah menyelimuti hidupnya.

Landu sudah sampai pada titik nadir hingga marahlah yang tersisa dalam dirinya. Ia pernah meminta tolong kepada seorang sesepuh di kampungnya supaya meminjaminya sedikit dari hartanya yang melimpah tetapi tidak digubris. Yang terakhir ia mencoba meminjam uang dari kas masjid yang setiap hari bertambah, yang setiap jum’at siang jumlah kas diumumkan kepada jamaah. Namun, saat itulah triger kemarahannya benar-benar meletup. Ia tidak hanya pulang tanpa pinjaman tapi juga dengan hati yang tersayat.

“Baiknya Pak Landu tingkatkan shalatnya dulu. Istiqomah berjamaah bersama kami sehingga jelas kas masjid ini mengalir kepada jamaah siapa.”

Kata-kata itu, yang sudah coba ditepis jauh-jauh, tetap saja terngiang-ngiang sampai ke ubun-ubun. Tidurpun ia tak nyenyak, makan pun ia tak lahap. Orang beragama yang diharapkan paling dermawan justru memiliki lidah yang paling tajam.


Langit menguning. Matahari yang tertutup gedung dan asap knalpot hanya bisa dikenali dari sisa warna kuning kemerahan di langit. Suara deru mesin mobil mulai lebih lenggang. Mobil-mobil angkot sudah enggan masuk ke terminal. Mereka lebih suka menepi di pintu masuk-keluar. Hanya bus-bus antar kota yang memutar ke dalam. Itu pun tanpa ngetem.

Landu tertidur lelah. Sarung lusuh kuning tua kotak-kotak ia jadikan bantal bersama dengan peci hitam miliknya. Tangannya mendekap kotak amal seperti takut akan dirampas oranglain. Ia sendiri di musola terminal yang tak lebih luas dari kantor keamanan terminal.

Kelopak matanya sesekali bergerak, bola matanya memutar, dan nafasnya menjadi begitu berat. Ia mengalami mimpi buruk. Tubuhnya tiba-tiba kaku, ia tak mampu menggerakkan tubuhnya. Satu-satunya yang bekerja hanya telinganya. Ia mendengar langkah orang-orang dan deru kendaraan di luar. Ia ingin bangun tapi tak mampu. Alam sadarnya justru ditarik ke bawah, jauh lebih dalam ke ruang yang gelap.

Ia tersadar di sebuah bangku di pinggir jalan, berada di ambang antara sadar dan mimpi. Yang dilihatnya adalah orang-orang tak dikenal berlalu lalang.

“Ayo ke masjid, Pak. Sudah hampir maghrib.”

Landu menurut saja. Kakinya seperti ditarik untuk melangkah ke masjid yang tak jauh di sebrang jalan. Tubuhnya terasa ringan. Namun sesampainya di masjid ia tak menemukan seorang pun. Hanya ada dirinya dan seorang yang tadi mengajaknya shalat. Hingga shalat selesai ditunaikan tak ada orang lain yang datang.

“Beginilah, Pak, setiap harinya. Orang hanya lalu lalang di depan masjid tanpa terfikir untuk singgah. Bapak orang pertama yang shalat di sini sebulan masjid ini ditinggalkan.”

“Ditinggalkan? Kenapa?”

“Saya tidak tahu pasti. Saya datang seminggu yang lalu. Masjid begitu sepi. Ia hanya dibersihkan supaya kemegahannya tidak luntur.”

“Sebelum Bapak berarti ada orang lain yang mengurusi masjid ini?”

“Benar, tapi dia sudah pergi setelah mengizinkan saya tinggal di sini.”

“Bapak bukan warga sini?”

“Bukan. Setahun lalu saya pergi meninggalkan kampung halaman karena alasan tertentu. Ada yang membuat saya tidak bisa bertahan lebih lama lagi di sana. Setelah pergi tak tentu arah ke sana kemari, akhirnya saya sampai di sini. Saya seperti menemukan rumah baru. Ya, begitulah. Terus, Bapak mau ke mana?”

Pertanyaan itu terasa berat untuk dijawab karena tiba-tiba ia menyadari bahwa ia benar-benar kehilangan arah, bahkan untuk sebuah tujuan pun Landu tak memahami. Ia ingin menertawakan dirinya sendiri betapa sebenarnya ia sangat rapuh. Kalau toh ia mampu berjalan sejauh ini bukan karena ia memahami arah hidupnya. Ada yang tanpa ia sadari telah menjadi penopang hidupnya.

Tiba-tiba ia teringat istrinya. Perempuan yang selama ini tidak pernah diangap benar-benar ada. Perempuan yang selalu membuatnya marah karena banyak bertanya ini-itu setiap kali ia akan pergi meninggalkan rumah. ia sadar pertanyaan-pertanyaan dari istrinyalah yang telah menopangnya selama ini.

“Maaf, saya harus pulang.”

“Ke mana?”

“Entahlah. Pokoknya saya harus pulang. Istri saya menunggu di rumah.”

“Kembali ke rumah memang cara yang baik mengerti tujuan utama kita meninggalkan rumah. Sebentar dulu.” Bapak itu mengeluarkan sebuah bingkisan, “ini sisa dari bekal saya. Mungkin akan bermanfaat buat bapak. Tidak banyak. Kurang lebih dua puluh dua juta.”

Landu terdiam. Ia tak ingin menerimanya tapi mulutnya pun tak dapat mengucapkan penolakan. Ia merasakan bahwa yang ia butuhkan selama ini bukanlah uang. Bapak itu memasukkan uangnya ke dalam kotak amal lalu menyerahkan pada Landu. Ia heran  bagaimana kotak amal yang ia buat tadi pagi bisa berada di tangannya. Akan tetapi mulutnya tak mampu bertanya apa-apa.

Ketika Landu menerima kotak amal itu ia pun langsung berpaling. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi pucat pasi. Semua yang ada di hadapannya menjadi hitam pekat. Seluruh tubuhnya kembali menjadi kaku. Ia tak mampu menggerakkan badan, tangan, juga kakinya. Telinganya mendengar lengkingan yang memekik. Tiba-tiba ada yang mendorong dari belakang. Ia terhempas lalu tersungkur. Setelah mampu menguasai setangah kesadaran dirinya, ia menarik nafas panjang. Matanya terbuka. Telingan kembali mendengar deru kendaraan.

Landu duduk lemas bersandar pada tembok. Matanya menyisir sekeliling. Ia mengenali keberadaannya. Ia di musola terminal dan kejadian yang baru ia lewati hanyalah mimpi tapi terasa sangat nyata. Panggilan terkuat dalam dirinya adalah pulang. Ia ingin pulang untuk melihat istrinya. Sarung dan peci yang ia jadikan bantal disambar lalu pergi meninggalkan musola tanpa peduli dengan kotak amal yang dari pagi ia tenteng ke sana kemari. 


Dari kejauhan, suara azan Maghrib berkumandang. Seorang paruh baya sedikit terburu-buru menuju musola terminal, mengambil air wudlu, lalu mengumandangkan azan. Setelah selesai, ia mendapati kotak amal di dekat pintu musola bertuliskan ‘Mesjid Aliklas’, sama dengan nama musola itu.

Tanpa ragu ia membuka kota amal itu, menghitung lembaran-lembaran yang ada di dalamnya. Ia bersyukur sekali. Sambil meneteskan air mata ia menuliskan jumlah tambahan saldo di papan pengumuman. “Hamba Allah. 21.800.000,-“ []