Landu tidak pernah kehabisan akal untuk mengais pundi-pundi receh. Yang terpenting dalam benaknya adalah uang.
Di pelataran rumah ia menggergaji papan, memaku sudut-sudutnya hingga membentuk persegi. Papan penutup atasnya dipasangi engsel sehingga bisa dibuka-tutup. Ia juga membuat lubang kecil di bagian atas tempat orang memasukkan uang. Ukurannya tidak begitu besar sehingga tidak terasa berat ketika dicantolkan ke leher. Sentuhan terakhirnya adalah memberi warna dan membuat nama di bagian muka: Kotak Amal Masjid Aliklas.
Istrinya menatap ragu dan getir. Ide kotak amal itu sudah ia larang semalam tapi Landu tidak mau mendengarkan.
“Bener, Pak, sudah mantap mau begitu caranya mencari uang? Jangan bawa-bawa mesjid, musola, TPA untuk urusan kayak gitu.”
Landu tidak menjawab bahkan menengok pun tidak. Ia tetap mengerjakan bagian akhir dari pembuatan kotak amal itu.
“Bapak mau operasi di mana? Warga di sini tau semua siapa kita. Kalau sampai ada yang melihat, bisa-bisa kita dimassa. Bapak mau operasi di tempat lain, di terminal atau lampu merah? Mereka mana tahu mesjid Aliklas?”
Kali ini Landu bergeming. Ia menengok ke arah istrinya yang tak membantu apa-apa, yang dari semalam mencoba menghentikan niatnya.
“Saya sudah bertekad, Bu. Saya tidak gentar. Soal di mana saya akan operasi, sampeyan tak perlu tau.”
Landu tak sempat melihat istrinya tersenyum karena keburu melanjutkan pengecatan sedangkan istrinya masih tersenyum lega. Ia tahu Landu akan segera kembali ketika kemarahannya mereda. Rasa frustasinya akan kehilangan nyala apinya hingga akhirnya padam. Dan ia akan menemukan gairah hidup yang dulu pernah menyelimuti hidupnya.
Landu sudah sampai pada titik nadir hingga marahlah yang tersisa dalam dirinya. Ia pernah meminta tolong kepada seorang sesepuh di kampungnya supaya meminjaminya sedikit dari hartanya yang melimpah tetapi tidak digubris. Yang terakhir ia mencoba meminjam uang dari kas masjid yang setiap hari bertambah, yang setiap jum’at siang jumlah kas diumumkan kepada jamaah. Namun, saat itulah triger kemarahannya benar-benar meletup. Ia tidak hanya pulang tanpa pinjaman tapi juga dengan hati yang tersayat.
“Baiknya Pak Landu tingkatkan shalatnya dulu. Istiqomah berjamaah bersama kami sehingga jelas kas masjid ini mengalir kepada jamaah siapa.”
Kata-kata itu, yang sudah coba ditepis jauh-jauh, tetap saja terngiang-ngiang sampai ke ubun-ubun. Tidurpun ia tak nyenyak, makan pun ia tak lahap. Orang beragama yang diharapkan paling dermawan justru memiliki lidah yang paling tajam.
Langit menguning. Matahari yang tertutup gedung dan asap knalpot hanya bisa dikenali dari sisa warna kuning kemerahan di langit. Suara deru mesin mobil mulai lebih lenggang. Mobil-mobil angkot sudah enggan masuk ke terminal. Mereka lebih suka menepi di pintu masuk-keluar. Hanya bus-bus antar kota yang memutar ke dalam. Itu pun tanpa ngetem.
Landu tertidur lelah. Sarung lusuh kuning tua kotak-kotak ia jadikan bantal bersama dengan peci hitam miliknya. Tangannya mendekap kotak amal seperti takut akan dirampas oranglain. Ia sendiri di musola terminal yang tak lebih luas dari kantor keamanan terminal.
Kelopak matanya sesekali bergerak, bola matanya memutar, dan nafasnya menjadi begitu berat. Ia mengalami mimpi buruk. Tubuhnya tiba-tiba kaku, ia tak mampu menggerakkan tubuhnya. Satu-satunya yang bekerja hanya telinganya. Ia mendengar langkah orang-orang dan deru kendaraan di luar. Ia ingin bangun tapi tak mampu. Alam sadarnya justru ditarik ke bawah, jauh lebih dalam ke ruang yang gelap.
Ia tersadar di sebuah bangku di pinggir jalan, berada di ambang antara sadar dan mimpi. Yang dilihatnya adalah orang-orang tak dikenal berlalu lalang.
“Ayo ke masjid, Pak. Sudah hampir maghrib.”
Landu menurut saja. Kakinya seperti ditarik untuk melangkah ke masjid yang tak jauh di sebrang jalan. Tubuhnya terasa ringan. Namun sesampainya di masjid ia tak menemukan seorang pun. Hanya ada dirinya dan seorang yang tadi mengajaknya shalat. Hingga shalat selesai ditunaikan tak ada orang lain yang datang.
“Beginilah, Pak, setiap harinya. Orang hanya lalu lalang di depan masjid tanpa terfikir untuk singgah. Bapak orang pertama yang shalat di sini sebulan masjid ini ditinggalkan.”
“Ditinggalkan? Kenapa?”
“Saya tidak tahu pasti. Saya datang seminggu yang lalu. Masjid begitu sepi. Ia hanya dibersihkan supaya kemegahannya tidak luntur.”
“Sebelum Bapak berarti ada orang lain yang mengurusi masjid ini?”
“Benar, tapi dia sudah pergi setelah mengizinkan saya tinggal di sini.”
“Bapak bukan warga sini?”
“Bukan. Setahun lalu saya pergi meninggalkan kampung halaman karena alasan tertentu. Ada yang membuat saya tidak bisa bertahan lebih lama lagi di sana. Setelah pergi tak tentu arah ke sana kemari, akhirnya saya sampai di sini. Saya seperti menemukan rumah baru. Ya, begitulah. Terus, Bapak mau ke mana?”
Pertanyaan itu terasa berat untuk dijawab karena tiba-tiba ia menyadari bahwa ia benar-benar kehilangan arah, bahkan untuk sebuah tujuan pun Landu tak memahami. Ia ingin menertawakan dirinya sendiri betapa sebenarnya ia sangat rapuh. Kalau toh ia mampu berjalan sejauh ini bukan karena ia memahami arah hidupnya. Ada yang tanpa ia sadari telah menjadi penopang hidupnya.
Tiba-tiba ia teringat istrinya. Perempuan yang selama ini tidak pernah diangap benar-benar ada. Perempuan yang selalu membuatnya marah karena banyak bertanya ini-itu setiap kali ia akan pergi meninggalkan rumah. ia sadar pertanyaan-pertanyaan dari istrinyalah yang telah menopangnya selama ini.
“Maaf, saya harus pulang.”
“Ke mana?”
“Entahlah. Pokoknya saya harus pulang. Istri saya menunggu di rumah.”
“Kembali ke rumah memang cara yang baik mengerti tujuan utama kita meninggalkan rumah. Sebentar dulu.” Bapak itu mengeluarkan sebuah bingkisan, “ini sisa dari bekal saya. Mungkin akan bermanfaat buat bapak. Tidak banyak. Kurang lebih dua puluh dua juta.”
Landu terdiam. Ia tak ingin menerimanya tapi mulutnya pun tak dapat mengucapkan penolakan. Ia merasakan bahwa yang ia butuhkan selama ini bukanlah uang. Bapak itu memasukkan uangnya ke dalam kotak amal lalu menyerahkan pada Landu. Ia heran bagaimana kotak amal yang ia buat tadi pagi bisa berada di tangannya. Akan tetapi mulutnya tak mampu bertanya apa-apa.
Ketika Landu menerima kotak amal itu ia pun langsung berpaling. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi pucat pasi. Semua yang ada di hadapannya menjadi hitam pekat. Seluruh tubuhnya kembali menjadi kaku. Ia tak mampu menggerakkan badan, tangan, juga kakinya. Telinganya mendengar lengkingan yang memekik. Tiba-tiba ada yang mendorong dari belakang. Ia terhempas lalu tersungkur. Setelah mampu menguasai setangah kesadaran dirinya, ia menarik nafas panjang. Matanya terbuka. Telingan kembali mendengar deru kendaraan.
Landu duduk lemas bersandar pada tembok. Matanya menyisir sekeliling. Ia mengenali keberadaannya. Ia di musola terminal dan kejadian yang baru ia lewati hanyalah mimpi tapi terasa sangat nyata. Panggilan terkuat dalam dirinya adalah pulang. Ia ingin pulang untuk melihat istrinya. Sarung dan peci yang ia jadikan bantal disambar lalu pergi meninggalkan musola tanpa peduli dengan kotak amal yang dari pagi ia tenteng ke sana kemari.
Dari kejauhan, suara azan Maghrib berkumandang. Seorang paruh baya sedikit terburu-buru menuju musola terminal, mengambil air wudlu, lalu mengumandangkan azan. Setelah selesai, ia mendapati kotak amal di dekat pintu musola bertuliskan ‘Mesjid Aliklas’, sama dengan nama musola itu.
Tanpa ragu ia membuka kota amal itu, menghitung lembaran-lembaran yang ada di dalamnya. Ia bersyukur sekali. Sambil meneteskan air mata ia menuliskan jumlah tambahan saldo di papan pengumuman. “Hamba Allah. 21.800.000,-“ []