Tuesday, 30 June 2015

Jual Beli, dari Jilbab hingga Shalat

- No comments

Pagi itu mungkin saya tamu pertama yang datang ke lobby kantor dekan. Saya harus bersabar menunggu kedatangan beliau. Lama berselang, datanglah dua mahasiswi yang memiliki paras rupawan. Yang satu agak tebal dandanannya, yang satu lagi sangat minimalis. Mereka berdua mengenakan jilbab.

Tepat di sebelah saya mereka duduk dan berbincang. Awalnya saya tidak ingin peduli dan memilih asyik dengan buku yang saya baca tetapi suara obrolan mereka lebih kencang dari nada-nada tulisan di buku yang saya pegang. Lalu untuk menit-menit selanjutnya telinga saya justru lebih banyak bekerja daripada mata saya.

Mereka berdua sedang membicarakan seseorang, entah teman sekelas entah seorang bajingan karena yang satu terdengar cadas dan keras, suara dan diksi katanya setajam matanya. Sedangkan yang satunya lagi—yang awalnya saya kira akan menenangkan dengan mengangguk-angguk saja—juga tidak kalah pedas dalam memberi komentar.

Saya menyunggingkan sudut bibir saya—yang sebenarnya tidak perlu saya lakukan, ada sinisme, ada prasangka—yang seharusnya juga tidak perlu tumbuh hanya karena mereka berdua memakai jilbab tetapi masih suka menggunjing. Sekali lagi, seharusnya attitude ini bisa saya singkirkan jauh-jauh dari diri saya karena jangan-jangan secara diam-diam dan tak saya sadari, justru kelakuan saya jauh lebih buruk dari kedua mahasiswi yang ada di samping saya.


Permasalahan sosial bangsa kita, lingkungan dan masyarakat kita, semakin kompleks hingga muncul hipotesa bahwa keruwetan yang belakangan muncul—dari kekerasan dalam rumahtangga, penyimpangan seksual, birokrasi yang korup, adalah output dari pendidikan etika moral (pendidikan karakter) yang kurang berhasil. Semakin permasalahan ini disadari semakin tumbuh pula kesadaran untuk memperbaiki. Dan perbaikan pendidikan karakter ini dapat dimulai dari pendidikan agama.

Hanya saja, kesadaran ini tumbuh bersamaan dengan kesadaran lain: kesadaran untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf ekonomi. Sekarang, apapun yang ada di depan mata dan kebetulan banyak orang yang membutuhkan maka itu akan dimanipulasi menjadi sebuah komoditi bernilai ekonomis yang menguntungkan, termasuk agama.

Jual beli asesoris agama adalah ladang yang bernilai ekonomis. Kalau mau menekuni tentu akan meraup keuntungan yang luar biasa, apalagi di musim sekarang ini.

Dulu, agama berada di ranah pembetukan moral—sebuah opini yang idealis, meskipun tidak dipungkiri ada yang memperjual-belikan agama tapi tidak sesemarak sekarang ini. Lalu perlahan ranah ini bergeser. Karena kebutuhan terhadap perbaikan etika moral (nilai-nilai karakter) meningkat maka kebutuhan terhadap (pendidikan) agama pun meningkat. Gejala dalam masyarakat kita, ketika kebutuhan sebuah barang meningkat secara drastis maka ada saja orang yang memanfaatkannya dengan menerbitkan versi KW. Maksud saya, kualitas pendidikan agama setara dengan barang KW karena ada motif lain dalam penyebarannya, yaitu uang.

Apa kaitannya dengan jilbab?
Saya sangat tidak ingin menyalahkan kedua mahasiswi di atas tadi karena bisa jadi mereka adalah korban komoditi, korban mode. Globalisasi dalam perekonomian telah merambah sampai ranah agama. Dan saat ini, apalagi di bulan Ramadan, agama menjadi komoditi yang laku dijual. Ketika jaman sedang berucap ‘money talks’ maka ‘value silents’. Sehingga, ketika ada yang mengatasnamakan dakwah tetapi jalan yang ditempuh adalah televisi melalui ajang mehek-mehek maka saya—dengan gegabah—berkesimpulan ‘halah mung dodolan’.


Yang shalat tidak serta merta baik, begitu pula yang berjilbab
Ada seorang yang rajin melaksanakan shalat tetapi tidak luput untuk melakukan kemaksiatan di luar sana. Padahal dalam Alquran disebutkan bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Jawabannya adalah karena shalat masih sebagai kata benda (isim), bukan kata kerja (fi’il). Sebagai kata benda, shalat dilakukan untuk memenuhi kewajiban dan perintah dari Allah. Sebagai kata kerja, shalat adalah sarana mi’raj untuk menemui Allah.

Begitu pula dengan jilbab, sebagai kata benda, jilbab adalah selembar kain yang menutup kepala sampai—untung-untung—dadanya. Sebagai kata kerja, jilbab adalah menutup dunia luar untuk tidak dipandang karena yang dipandang hanyalah Allah ta’ala.

Melaksanakan shalat itu menawa-nawa dapat membawanya untuk meninggalkan perbuatan yang keji dan yang berunsur kemungkaran. Bagi perempuan, memakai jilbab itu untuk menutupi tubuhnya supaya, menawa-nawa, tidak memunculkan sreng di dada laki-laki.

Kok sulit amat? Ya jelas sulit. Kemulyaan memang ditandai dengan mudah dan susah cara mencapainya. Oleh karena itu, kita yang berada di luar proses ubudiyyah seseorang, yang satu hasta dari proses seseorang dalam menjalankan perintah agama, jangan mengait-ngaitkan antara shalat dengan prilaku sesudahnya, antara puasa dengan hubungan sosialnya dengan lingkungannya, jilbab dengan ketajaman ucapannya. Biarlah shalat, puasa, dan jilbab berada pada ranah ubudiyyah dan prilaku-prilaku lainnya sebagai upaya yang lain dalam mendekati Tuhannya.

Wednesday, 24 June 2015

Melatih Bersembunyi Melalui Puasa

- No comments

Salah satu jurus yang dilatih dalam ibadah puasa adalah kemampuan untuk menyembunyikan apa yang seharusnya disembunyikan, melatih daya mengendapkan, bukan karena takut dan tidak mampu. Justru karena kita berani dan mampu melakukan maka kita berlatih untuk menahan. Kita tahu bahwa hanya pada Allahlah puasa ditunaikan. Puasa berada dibawah pengawasan-Nya. Dia sendiri yang langsung menilai. Tentu kita tidak ingin ‘tertangkap basah’ ketika sedang menjalankan puasa ini. 

Latihan apa yang harus dilakukan?
Kitab bisa melakukan banyak hal untuk berlatih, seperti menjaga lisan untuk tidak mengungkapkan segala apa yang dilihat. Endapkanlah dalam dirimu sendiri. Kalau yang kau lihat itu adalah permasalahan yang sedang kau hadapi tunggulah sampai waktu yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ada pada pandangan matamu. Ada kalanya ketika suatu permasalahan diendapkan kau akan temukan jawaban yang ‘menggelikan’ dari permasalahan itu.
Atau dengan cara menjaga lisan untuk tidak mengungkapkan segala apa yang ada dalam kepalamu. Bisa jadi itu hanyalah letupan sesaat karena emosimu sedang tidak stabil. Bisa jadi itu hanyalah kesalahan sudut pandang yang menjadi pelantik emosi—yang kalau diterus-teruskan justru akan menurunkan harkat martabatmu sendiri.

Kita dikaruniai akal sehat yang konon itulah pembeda antara manusia dan binatang. Binatang akan melakukan apasaja supaya hasrat dalam dirinya terlampiaskan, hasrat untuk menguasai dan hasrat untuk menikmati. Menjaga akal sehat berarti menjaga definisi manusia dan binatang tetap jelas, tidak kabur.

Kita dikaruniai hati yang konon di sanalah tersimpan misykat, cahya ilahi, yang memancar ke alam semesta melalui tindak tanduk tubuh manusia. Menjaga hati tetap sehat berati menjaga cahya ilahi tetap menyala terang.

Sambunglah hati dan akal dengan 'kayu jati' seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga kepada orong-orong yang terpenggal itu. Sambungkanlah keduanya dengan kesejatian kasih sayang, dengan kesejatian nilai-nilai kemanusiaan.

Jadi, kalau kamu mendapat rejeki dalam jumlah yang besar maka bersyukurlah, tapi cukup dalam hatimu saja. Hati manusia kadang rapuh ketika melihat orang lain bahagia. Syukurmu adalah bentuk kemesraan antara dirimu dengan Tuhanmu. Jangan sampai yang mesra-mesra seperti ini ternoda oleh saudara yang terluka. Mengungkapkan syukur boleh-boleh saja. Pelan dan kencang, boleh-boleh saja. Tapi juga perlu diingat, Allah maha Mendengar.

Mungkin inilah salah satu cara memaknai imsak, memaknai menahan diri. []

Tuesday, 23 June 2015

Apa Kabar Puasamu?

- No comments

Puasa adalah dimana hanya kamu dan Allah yang bisa merasakan kemesraannya. Keakrabanmu dengan-Nya tidak bisa kau umbar ke sana kemari. Simpanlah dalam dirimu sendiri. Gus Mus mengungkapkan dalam puisi yang epik: "Ramadhan adalah bulan antara dirimu dan Tuhanmu // Darimu hanya untuk-Nya // dan Ia sendiri tak ada yang tahu apa yang akan dianugerahkan-Nya kepadamu // Semua yang khusus untuk-Nya khusus untukmu." Sehingga, kalau ada yang berpuasa tetapi pamer kepada oranglain maka saya ibaratkan seorang suami yang bercerita kepada temannya tentang kemesraannya dengan isterinya. Tidak etis lah kalau

Kalau kau ingin mendatangi Allah dan berbicara kepada-Nya, maka bermi'rajlah melalui shalat. Perbaiki shalatmu, yang batin dan yang zahir. Resapi bacaanmu yang terucap pelan dan lirih dari ujung lidahmu. Kalau kau ingin Allah mendatangimu dan berbicara padamu, maka dekaplah Alquran erat ke dalam dadamu. Lantunkanlah ia dalam nada-nada indah dari lisanmu--makhroj dan tajwidnya. Resapi maknanya. Kalau kau ingin merasakan pengalaman spiritual bahwa yang kau genggam sebenarnya tiada artinya, bahwa kebahagiaan terbesarmu berada pada kebahagiaan orang lain, maka tunaikanlah zakatmu. Bersihkanlah kotoran-kotoran harta benda dan jiwa yang selama setahun belakangan ini mengendap dalam dirimu.

Lalu bagaimana dengan puasa? Puasa adalah ruang bagimu untuk sembunyi dari apa yang seharusnya muncul ke permukaan kau pendam supaya tetap terselubung. Biarlah hanya dirimu dan tuhanmu yang mengetahui kepuasaanmu.
 
Ramadan adalah waktu yang baik untuk merenungi diri, mencuci yang kotor dalam diri. Dalam puisi yang sama Gus Mus menyampaikan: "Jujurlah pada dirimu sendiri mengapa kau selalu mengatakan Ramadhan bulan ampunan // Apakah hanya menirukan nabi // Atau dosa-dosamu dan harapanmu yang berlebihanlah yang menggerakan lidahmu begitu.

Puasa adalah ibadah mulia. Tanda dari kemuliaan itu bisa dilihat dari beratnya godaan untuk tidak menjalankannya. Puasa adalah menjaga diri dari "mampu melakukan" menjadi "menahan diri untuk tidak melakukan". Sehingga, keluar dari bulan ramadan nanti, ruh puasa tetap dijaga untuk menahan diri dari mampu melampiaskan menjadi mampu menahan untuk melampiaskan.

6 Ramadan 1436 H

Friday, 19 June 2015

Masjid-masjid itu Harus Lebih Bagus dari Rumah Kita

- No comments
Kalau kamu melintas jalan Rajabasa—Kotaagung maka akan kamu dapati beberapa masjid yang sedang dibangun. Sekilah dapat terbayang betapa megah masjid yang sedang dibangun itu kalau sudah sempurna kelak. Kita bisa menerawangnya dari rencana pembangunannya, dari denah dan blue print-nya, yang dipampang tepat di depan masjid.

Supaya masjid yang menjadi impian kekhusyu’an beribadahnya di dalamnya cepat terealisasi maka warga sekitar berembug lalu bersepakat untuk memasang kotak amal di tepi jalan karena kalau mengandalkan dari sedekah jariyah warga dana ratusan juta atau mungkin milyaran itu takkan kunjung tercapai. Dan saya kira, hal seperti ini terjadi, sangat lumrah terjadi, di mana-mana.

Tak sampai setahun, pembangunan masjid yang dulu sempat membuat jalan macet sudah berdiri tegak dan megah. Kalau kamu pernah memasukkan uang lembaran seribu atau sepuluh ribu ke dalam kotak amal itu, maka sempatkanlah sesekali mampir untuk menjalankan shalat di sana. Ada sedekah jariahmu di padasan air wudlu, di pegangan pintu masuk, di karpet empuk, juga di pendingin ruangan masjid. Kalau kamu turut shalat di sana, kamu menyelamatkan hidupmu juga orang-orang yang telah memasukkan lembaran uang seribu atau sepuluh ribu sepertimu.


Selain masjid dekat rumahmu, masjid mana lagi yang sering kamu singgahi? Banyak kah atau justru tidak pernah sama sekali? Bagaimana keadaan masjid-masjid itu, karpet dan kamar mandinya, soundsystem dan lampunya?

Masjid-masjid sekarang tidak ada lagi yang seprihatin dahulu, di kala pak Smiling General masih aktif menjadi kepala negara, bahkan sampai ke beberapa penggantinya. Tak banyak masjid yang memiliki menara yang bagus, toa-toa masih menempel di kubah, bahkan ada yang hanya shaf depan saja yang menggunakan karpet dan sisanya menggunakan tikar plastik.

Masjid-masjid sekarang sudah makmur. Tuhan pasti nyaman di sana. Karpet yang empuk, pendingin ruangan, soundsystem yang lembut. Para jamaahnya pasti senang berlama-lama di sana, berdzikir menggelengkan kepala tanpa harus menggibaskan kancing baju, sujud berlama-lama tanpa merasakan pedih di kening, membaca Alqruan di depan mik yang high quality.

Masjid-masjid itu memang seharusnya begitu. Masjid adalah rumah tuhan, ia tidak boleh terlantar dan terpurukkan, ia harus lebih bagus dari rumah para jamaahnya. Meskipun untuk sementara, masjid yang bagus seperti ini baru ada di komplek perumahan orang-orang kaya.

Tapi kemudian sayang-disayang, masjid yang megah itu kembali mulai sepi. Para jamaahnya sungkah datang ke sana. Bukan karena apa-apa, tapi karena mereka tak ingin mengganggu tuhan yang sedang istirahat dengan tentram. Suara tilawah Alquran pun diganti dengan kaset atau mp3 karena tidak ada seorang jamaah pun yang memiliki suara yang bagus, makhrojnya pun tidak fasih, apa lagi langgam bacaannya. Mereka gerogi. Mereka keder.


Di pinggiran kota, di sebuah komplek padat dengan drainase yang buruk, tidak jauh dari pasar, sebuah masjid berdiri. Tak ada pendingin udara di sana sehingga ketika imam mengucapkan salam ia dapati makmumnya langsung ngeluyur keluar dengan keringat di sekujur badan. Tak ada pula soundsystem yang baik di sana, sehingga ketika adzan berkumandang suaranya tak lebih bagus dari soundsystem hajatan di seberang jalan.

Seharusnya tuhan dibuatkan rumah yang bagus di sana. Konon, tuhan senang berdekatang dengan orang-orang tak berpunya, orang-orang miskin. Siapa tahu, kalau tuhan memiliki rumah yang bagus di sana, orang-orang itu akan senang berkunjung dan berlama-lama.[]

Thursday, 18 June 2015

Mengurangi Potensi Menjadi Orang yang Merugi

- No comments


Dalam kancah pewayangan di muka bumi ini, masing-masing dari kita punya peran yang sama penting. Ada yang berperan jadi tuan, ada pula yang jadi hamba. Suatu masa berperan jadi anak, di masa yang lain berperan sebagai orangtua. Dan kalau mau meneliti satu demi satu, dari satu komposisi hidup berpindah ke komposisi lainnya kita menyandang peran yang secara otomatis melekat seperti baju.

Peranan itu bukan peran main-main sehingga kalau dijalankan dengan cara yang main-main imbasnya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga merambat kepada kosmos kehidupan.

Bayangkan kalau kamu seorang guru yang mengajar siswa-siswimu tidak dengan kesungguhan membimbing, mengayomi, mendidik, dan menyampaikan ilmu pengetahuan. Kamu berangkat pagi-pagi sekedar untuk absen di sekolah, menyampaikan pelajaran dengan serampangan, senyum sumringah ketika gajian datang. Kira-kira, produk yang dihasilkan adalah generasi masyarakat yang tak jauh berbeda dengan gurunya. Seharusnya transfer yang terjadi di dalam kelas bukan sekedar definisi ilmu pengetahuan, tetapi juga serat-serat energi yang menjalankan kehidupan. Kalau serat-serat ini diputus atau disambung dengan cara yang tidak benar, maka akan terjadi konsleting.

Ini contoh dari lingkungan sekolah. Bagaimana kalau ditambah dengan konsleting yang ditimbulkan oleh orangtua, oleh teman sebaya, oleh lingkungan? Jangan salah kalau suatu nanti akan terjadi pemadaman cahya kehidupan karena tidak ada lagi energi yang mengalir dengan benar: orang-orang bekerja penuh pamrih, kehormatan orangtua diinjak-injak oleh anaknya sendiri, kasih sayang tidak ada lagi ruhnya.


Kita, disadari atau tidak, adalah produk masa lalu, buah dari peranan-peranan yang telah dijalani oleh orangtua, pemimpin, imam-imam, ustadz, kiai, dan guru kita. Protes atas keadaan saat ini adalah dengan cara menjalankan peranmu secara optimal. Kalau kamu seorang guru, maka mengajarlah dengan baik. Kalau kamu seorang ayah, maka bimbinglah keluargamu dengan baik. Kalau kamu seorang anak, maka tunjukkanlah baktimu dengan baik. Intinya: optimalkan kemanfaatanmu bagi manusia semaksimal mungkin.

Tetapi itu tidak cukup. Ada beberapa hal prinsip yang perlu ditanam kokoh di dalam tubuh kita. Pertama, membangun keyakinan dalam diri untuk apa kita berbuat. Seperti bersandar pada Sesuatu yang Ultima, sesuatu yang di luar diri kita jauh dari frame kekuasaan dan kekuatan manusiawi, sesuatu yang tidak bersifat duniawi. Lebih tepatnya menanam keimanan yang kokoh atas eksistensi Tuhan dan segala yang melekat pada-Nya.

Kedua, nilai-nilai kebaikan yang kita pahami dan yakini takkan sempurna—atau mungkin tiada artinya—kalau tidak terjewantahkan kepada orang-orang di sekitar kita, di lingkungan kita. Industri sudah merasuk sampai ke dalam sendi-sendi kehidupan kita. Industri sudah menanam kebiasaan konsumtif puluhan tahun lalu dan kini kita menuai hasilnya: lingkungan yang tumbuh dalam budaya matrealistis. Money talks too much.
Uang telah banyak berbicara. Hampir semua kehidupan tidak berbarti kalau di sana tidak mengalirkan uang.
Sudah saatnya kita proaktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, peduli pada lingkungan dengan membangun simpati dan empati. Yang dibutuhkan oleh lingkungan kita bukan sekedar perkembangan kognitif yang pada akhirnya melahirkan nilai ‘salah dan benar’, tetapi kita membutuhkan generasi-generasi yang tumbuh dengan nilai-nilai afektif yang akan melengkapi dengan nilai ‘baik dan buruk’.

Ketiga, kita perlu mensyarati hidup kita dengan ilmu pengetahuan. Bagaimana kita dapat melakukan kedua hal di atas kalau tak memiliki ilmu tentang tauhid? Bagaimana kita dapat berperan proaktif dalam kehidupan sosial kalau kita alpa dari ilmu muammalah.

Keempat, menyelimuti hati kita dengan kesabaran. Berbuat baik tidaklah mudah, seperti memungut sampah tidak semudah membuangnya. Jangankan kebaikan yang diperbuat untuk oranglain, kebaikan untuk diri sendiri saja susah bukan main. Butuh ketekunan dan kesabaran untuk menjadikannya sebagai kebiasaan yang melakat.


Dari banyak aktivitas yang kita lakukan dalam sehari, berapa aktivitas yang betul-betul memiliki nilai kemanfaat, baik untuk diri sendiri atau orang lain. Lalu bagaimana dengan seminggu yang lalu, sebulan yang lalu, setahun yang lalu, dan seterusnya? []

Wednesday, 17 June 2015

MBAH UTIS

- No comments

Saat matahari benar-benar terbenam di balik perbukitan dan cahayanya digantikan lampu neon dan pijar, sebuah percikan api menyita mata di sudut kegelapan. Berulang kali pelantiknya tidak menyalakan api karena angin dari rerumpunan bambu mengganggu. Meskipun tidak jelas wajah yang tersembunyi di balik bara api itu, kami bisa menebak kalau itu adalah Mbah Utis.

Ia hidup penuh sahaja di sebuah bantaran sungai samping balai desa. Rerumpunan bambu yang kiranya menakutkan karena banyak kunti, justru begitu akrab buatnya. Bambu-bambu itu telah menjadi bagian dari rumahnya sendiri. Geribik, kursi, meja, sampai tiang penyanggah ia ambil dari sana. Semuanya dari bambu wulung dan petung. Kecuali satu bambu yang dijadikan gagang sapu lidi. Warna kuningnya tampak mencolok di antara bambu wulung dan petung yang menghitam.

Gubugnya tidak memiliki halaman yang luas. Untuk menikmati kesendirian ia kerap sekali duduk-duduk di balai desa, meracik utis yang ia pungut di jalanan. Mulutnya kerap berucap-ucap tak jelas. Hanya telinganya sendiri yang bisa menangkap. Terlebih lagi ketika ia menyapu halaman.  
Seseorang yang belum mengenalnya pastinya akan mengira ia orang stres, bahkan mungkin akan menuduhnya gila. Tapi tidak. Ia tidak gila. Ia sedang bersenandung memanggil-manggil nama seseorang. Nama yang sangat berarti bagi dirinya.

* * *

Banyak orang nelangsa ketika hidup tanpa memiliki banyak harta. Akal sehatnya pun kerap terselip entah di mana hanya karena mengejar kebutuhan yang sejatinya hanya sia-sia. Saya jadi teringat seorang tetangga yang kehilangan semua harta bendanya karena tergiur investasi. Tapi mbah Utis jadi satu-satunya yang naif soal kekayaan. Baginya kemiskinan adalah sebuah perjalanan, sekaligus kemenangan. 

“Kamu seharusnya lebih tau tentang nasehat nabi.” Matanya yang sayu teduh menatap wajahku, “Kemenangan terbesar itu bukan kemenangan atas kemiskinan, tapi kemenangan terbesar itu berhasil mengalahkan keinginan. Kekayaan itu kan sisa-sisa dari keinginan yang terpenuhi. Kalau hartanya banyak tapi keinginannya lebih banyak, apa itu bisa disebut kaya?” 

Mbah Utis tertawa terkekeh. Mungkin ia menertawakanku dengan keinginan yang menumpuk di kepala dan mendobrak-dobrak untuk dituruti.

“Tapi terkadang miskin juga menjerumuskan orang untuk berbuat kejahatan. Nah, kalau begitu apa kaya tidak lebih baik dari miskin?”

Ia tak menjawab karena tangannya yang trampil sedang menyelesaikan racikan utisnya di atas kertas papir, melintingnya, lalu membakar bagian ujung dan menghisapnya dalam-dalam. Sesaat kemudian asap mengepul dari mulut dan hidungnya, seperti ada yang terbakar di dalam tubuhnya.

“Saya tidak miskin!” Ucapnya tegas seperti memarahi saya yang menuduhnya miskin.

Saya terdiam keder. Akhirnya muncul pertanyaan dalam diri saya sendiri, kaya kah saya, atau miskinkah saya? Kepala saya pun jadi merumuskan kembali ucapan mbah Utis. Benarkah kekayaan itu sisa dari kebutuhan kita? Saya terkesima. Selama ini bangku sekolah mengajarkan kesuksesan, dan kesuksesan adalah berlimpahkan kemegahan meskipun sekedar decak kagum. Tapi kami luput belajar tentang cara hidup bersahaja.

Lelaki renta itu mengambil sapu lidi dan mulai mengerjakan kebiasaannya. Tangannya mengayun pelan. Menyapu dedaunan mangga yang terserak. Sesekali angin mengobrak-abrik sampah yang sudah dikumpulkan itu. Dan mbah Utis seperti menari-nari, menangkap dedaunan dengan sapunya supaya tidak kabur terlalu jauh.

Tidak ada yang tahu pasti apa yang ada di dalam benak kepalanya ketika dengan suka rela ia membersihkan balai desa. Di wajahnya tampak semburat cahaya perenungan. Mulutnya kumat-kamit. Kadang angin membagi suaranya, sehingga tertangkap senandung yang keluar dari mulutnya. Sola… sola…

Ada yang bilang itulah terakat hidupnya, upah kebaikannya akan diterima oleh seseorang di seberang sana. Dan hanya mbah Utis yang tahu. Orang itu kerap datang kira-kira sebulan sekali. Ia seperti memberi sembako atau entah apa wujudnya kepada mbah Utis. Saya pernah melihat seseorang masuk ke dalam rumahnya membawa bingkisan kain.

“Tidak ada yang datang.” Jawabnya, “Kalau kau melihatnya mengapa tidak kau sapa?”

Memang seharusnya saya menghampiri orang itu dan menyapanya. Tapi malam itu saya bergeming.

Ada juga yang bilang kalau kegemarannya membersihkan halaman balai desa merupakan kebiasaan masa mudanya yang giat. Kalau tidak bekerja justru akan mengundang penyakit. Lalu ada yang beranggapan kalau sebenarnya ia menyimpan sisa-sisa hartanya itu di kolong tidurnya. Tapi ketika orang itu mencoba menggeledah justru ia terperangah seperti mati kuyu karena melihat penampakan. Mbah Utis yang kemudian menemukannya membisikinya lirih untuk membuat orang yang menyelinap itu tersadar. Hanya saja ia menjadi linglung. Ketika ditanya ia tak bisa menjawab apapun. Kepalanya lupa tiba-tiba.

“Kelak di akhirat sana, semua yang kita miliki akan berbicara.” Ia mulai bicara lagi, “Saya takut nanti mereka tidak bisa jaga mulut, malah bikin saya susah. Buat apa memelihara binatang yang justru akan menggigit tuannya sendiri?”  Mbah Utis kembali terkekeh.

“Kalau disedekahin kan nanti mereka jadi ngomong yang baik-baik, mbah.”

Ia memutar. Tangannya masih mengayun pelan. Mulutnya seperti sedang mengucapkan sesuatu tapi tidak tertangkap oleh telinga. Ia berhenti lagi untuk menghisap utisnya yang tinggal seperempat. Ketika sudah cukup dekat mbah Utis tersenyum sumringah. Terlihat giginya yang tinggal beberapa biji.

“Hanya sapu ini yang bisa saya sedekahkan.” Lalu terkekeh lagi dan tiba-tiba terbatuk hebat.

Saya hendak beranjak menolongnya tapi tangannya memberi isyarat supaya saya tidak usah repot-repot menolongnya. Mbah Utis meludah mengeluarkan dahak dari tenggorokannya. Dari mulutnya menyembur lendir kuning pekat. Saya khawatir tapi mbah Utis tampak biasa-biasa saja. Ia pun melanjutkan mengayun sapu seperti sedang mengayuh dayung di tengah samudera. Saya kembali menangkap mulutnya mengucapkan sesuatu tapi tidak tertangkap telinga.

* * *

Tidak ada yang bisa menerka kematian. Bahkan seorang pembunuh sekalipun. Apalagi seseorang yang telah menempatkan kehidupannya di atas pengabdian seperti mbah Utis. Kematian itu seperti berangkat kembali meniti perjalanan berikutnya.

Ia pernah bilang kalau teman-temannya yang telah pergi bebarapa kali datang berbagi cerita. Perjalanannya sungguh sulit, bekal yang mereka siapkan hampir habis. Mereka menasehatinya supaya menyiapkan lebih banyak lagi. Mereka pun ingin sekali berterimakasih kepada orang-orang yang mendoakan mereka. Terutama anak dan isteri mereka. Doa-doa mereka seperti segelas air di padang pasir.

Dan setelah bercerita tentang teman-temannya itu, ia akan langsung menangis. “Siapa yang akan mendoakanku? Anak dan isteriku sudah tidak ada semua.”

Namun nyatanya, ketika tubuh mbah Utis terbujur di dalam keranda, semua orang menangis. Banyak sekali yang datang. Kebanyakan yang datang justru orang-orang dari luar desai. Mereka membaca tahlil dan shalawat, mengiringi kepergiannya dengan doa. Saya terheran-heran siapa meraka? Siapa mbah Utis sehingga mereka begitu kehilangan?

Sudah seminggu sejak pemakannya, tetap saja ada orang yang datang berziarah lalu mampir ke gubuk bambunya. Dan seseorang yang tidak pernah kulihat sebelumnya tiba-tiba datang menyalami. Dari wajahnya terpancar kegamuman. Kagum pada saya kah dia?

“Kau pasti Dulah?” tanyanya.

Saya mengangguk pelan.

“Kau pasti muridnya. Kau pasti penerusnya. Seperti yang diceritakan embah kepada kami.”
Lalu lelaki itu memapahku berdiri menuju bilik kamar mbah Utis. Ia menunjuk ke sudut kamarnya. Ditunjukkannya sapu lidi yang selama ini digunakan menyapu halaman balai desa, tergantung di sudut kesepian. Saya melangkah gamang. Ingin sekali bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ketika saya membalikkan badan orang itu telah pergi.[]  

Malang, 28 Maret 2011

RAUT SEDIH YANG SUDAH BERJALAN LAMA

- No comments

Setiap kali senja datang beriringan dengan gerimis, dan pohon rambutan di halaman rumah juga berbuah ranum, aku kembali teringat padamu. Sejujurnya aku benci mengingatnya kembali; saat kau dan ibu duduk di pelataran rumah ini.

Seharusnya memang kubuang jauh-jauh peristiwa itu, tetapi tetap saja ia menemukan celah jalannya untuk kembali ke kepalaku. Seperti angin malam yang selalu menemukan lubang dinding geribik dapurku. Adakah kau merasakan getir seperti yang kurasakan dari hari ke hari, sejak peristiwa itu.

Kusuguhkan secangkir teh untuk masing-masing; kau dan ibu. Lalu kusempatkan mencuri pandang, mencari tahu apa yang telah dibicarakan. Kutatap wajahmu sedikit lebih lama—butir keringat dikeningmu mengalir pelan seperti binatang melata yang kelaparan. Selama ini tak pernah kulihat keringat seperti itu mengalir di keningmu.

Dan ibu, wajahnya yang selalu terlihat ayu, tampak sayu. Letih pada tubuhnya tak pernah ia tampakkan lewat raut wajahnya. Bahkan kepedihan demi kepedihan yang kami lalui tak pernah tampak di mata. Wajahnya yang seperti saat ini pernah kutemui sekali ketika ayah meninggalkan kami untuk selamanya empat tahun yang lalu. Setelah sekian lama tersembunyi kini tiba-tiba tergurat kembali di wajah ibu, dan itu ia tampakkan padamu, bukan padaku.

Aku menahan diri tak segera undur diri. Di samping ibu aku duduk. Namun tak lama aku diusir.
“Ratih, tolong kau angkat jemuran. Awan di timur sepertinya mendung.”

Ibu tak pernah berkata apa adanya. Maka kupahami maknanya kalau aku tak pantas duduk di antara kalian berdua. Kau yang diam saja pun setuju dengan ibu.

/1/

“Tidak bisa ditunda lagi, Ratih.” Desakmu kala itu.

Kau jadi begitu lain dari yang kukenal selama ini. Tiba-tiba kau begitu keras, begitu memaksakan kehendak. Setan apa yang telah merasukimu. Meskipun matamu tak memerah tetapi ucapanmu lebih panas dari api.

“Apakah kau menghendaki lelaki lain?”

Aku kehilangan diriku sendiri dan juga tak mengenal siapa lelaki yang ada di depanku saat ini. Peringaimu sungguh berbeda. Kelembutan yang selama ini memanjakanku telah tercabut entah oleh apa. Atau begitulah sejati dirimu dan yang kau tunjukkan selama ini adalah kepura-puraan untuk meluluhkanku, dan juga ibu.

Kau berdiri tepat di depan wajahku. Kau tundukkan sendiri nafasmu dan kau kendurkan tulang pipimu. Sepertinya kau menyesalkan ucapanmu yang tadi.

“Tidak ada yang buruk dalam pernikahan. Perkara baik tidak seyogyanya ditunda-tunda.”
Perihal pernikahan yang kita rencanakan itu, bukannya aku tak ingin segera menjalaninya. Aku punya alasan yang membuatku harus menundanya. Tidakkah kau bisa mengerti seperti yang lalu-lalu. Aku mengkhawatirkan ibu. Beberapa hari ini ada orang datang ke rumah. Berbicara tentang masa lalu yang tak pernah kuketahui. Perihal tamu-tamu itu pun ibu selalu bungkam. Tetapi melihat gelisah nafasnya saat tidur, aku tahu ia ketakutan bahkan dalam mimpinya.

“Kalau begitu biar aku yang berbicara langsung dengan ibu, Ratih.”

Kukira kau sedang menanyakan pendapatku tapi nyatanya tidak. Kau sedang memberitahuku.

/2/

Ibu belum selesai menyampaikan semuanya ketika tiba-tiba Ratih datang dengan nampan plastik hitam bermotif kembang-kembang. Ia suguhkan dua cangkir hangat. Aromanya sedap sekali. Ia tahu aku menyukai teh tubruk seperti itu dan aku yakin takarannya pasti tepat seperti biasanya. Ingin kuseruput sedikit-sedikit untuk mengendurkan urat tubuhku yang menegang. Tapi entah mengapa semuanya terasa kaku untuk digerakkan.

Aku sudah utarakan maksud dan tujuanku datang kemari. Tekadku sudah bulat. Termasuk mendengar jawaban ibu yang sarat dengan isyarat-isyarat. Bahkan aku siap dengan hardikan halusnya karena menganggapku tidak sopan menyampaikan perihal seperti ini seorang diri.

Lain yang dipersiapkan lain pula yang dialami. Ibu tak banyak meminta, justru untuk kali ini ia ingin bercerita. Bagaimana ia mau bercerita, putri kembangnya tiba-tiba datang lalu duduk di dekatnya. Aku bersyukur mendung di langit timur memberi petanda, hingga ia pun bergegas meninggalkan kami berdua.

“Sudah bulat tekadmu untuk menikahi Ratih?”

Ibu mengulangi dari awal, “Iya, Bu.”

“Sebelumnya saya ingin mengisahkan satu cerita dari bapak sebelum ia meninggal empat tahun lalu. Bapak punya seorang teman yang waskita. Mengetahui yang halus dan yang kasar. Ia memiliki seorang putri pula, hanya seorang putri, sama seperti kami.”

Aku menyimak karena menurutku ini tentang sejarah keluarga. Pikirku bagaimana bisa aku memasuki sebuah keluarga baru tanpa mengetahui sejarah kehidupannya.

“Lima tahun lalu mereka bertemu. Entah apa yang mereka bicarakan. Lalu keduanya berjabat erat seperti sedang menukar janji, tidak hanya janji tetapi juga sebuah cendramata. Bapak menerima ini –ia menunjukkan cincin keemasan—dan saya tidak tahu apa yang diberikan bapak padanya.

Baru menjelang wafat bapak bercerita tentang pertemuan itu. Kepada saya bapak berpesan supaya kelak, lelaki yang akan menikahi Ratih, terlebih dahulu harus menemui teman bapak itu, Ki Buyung. Minta ia untuk menyerahkan cincin ini dan dari Ki Buyung ia akan menerima yang lain.
Hanya lelaki yang membawa cincin dari Ki Buyung lah yang boleh menikahi Ratih.”

“Tekadku sudah bulat, Bu. Mohon restumu untuk melawati ujian ini.”

Kemudian aku pergi ke Madiun setelah mendapatkan berkah dan restu dari ibu. Juga setelah berat hati harus berpamitan dengan Ratih. Dari Madiun kutelusuri jejak Ki Buyung ke Klaten lalu ke Magelang dan berakhir di Jepara. Di sana kulihat seorang perempuan yang begitu anggun. Aku begitu mengenalnya. Aku heran bagaiamana ia bisa datang lebih dulu di rumah Ki Buyung. Namun rasa heranku redup oleh cahaya emas cakrawala: Ratih sudah sampai di sini menungguku.

/3/

Malam belum begitu larut. Angin yang bertiup pelan menghantarkan lantunan al-Barzanji dari rumah di sebrang jalan. Ternyata tidak hanya lantunan syair-syair yang berkisah tentang sang Nabi yang datang. Seseorang telah dihantarkan oleh angin malam ke teras yang mengetuk pintu tak begitu keras. Aku musykil karena selama ini tak pernah ada tamu datang di malam hari.

Sejak kepergianmu empat puluh hari yang lalu, inilah tamu pertama yang datang. Sejujurnya aku mengagumi ketampanannya; rambut kelamnya, hidung besarnya yang mancung, dan gigi putihnya yang berjajar di balik bibir memagari setiap kata-katanya yang keluar. Ibu menjawab ramah salamnya. Meskipun angin cepat membawanya pergi aku, dan mungkin ibu, takkan pernah lupa ucapan salamnya yang pertama kali ini.

Tamu itu begitu serius dan juga gamang. Beberap kali kuperhatikan ia mencoba menerobos pandangan melalui gorden yang memisahkan ruang tamu denganku. Dan dengan ragu ia menanyakan keberadaan bapak.

“Bapak sudah pergi setahun lalu. Hanya ada kami berdua di rumah ini.” Jawab ibu.

Lelaki itu tampak terkejut, lalu mengucapkan belasungkawa dan beberapa rapal doa yang umumnya diucapkan.

“Lalu, adik ini siapa? Dari mana?”

“Saya Syahidan dari Jepara, mau mengantar ini.”

Ditunjukkannya sebuah kotak antik dari saku baju lusuhnya. Baju itu tentu melekat di badan untuk beberapa hari. Tiga hari, lima hari, atau mungkin satu minggu. Daki yang menempel di kerah bajunya dan juga lipatan-lipatan di ujung baju yang mengangkat menunjukkan pinggulnya yang kekar, tak mampu berbohong meskipun wajahnya bersih tersapu air. Mungkin ia membasuhnya di masjid sebrang jalan.

“Dari Ki Buyung?”

“Betul.”

Tiba-tibu ibu lemas. Tubuhnya yang terhempas ke sandaran kursi menarik perhatianku. Nama ‘Ki Buyung’ dan kotak antik di tangan ibu mencambuk kesadaranku. Ketika kutinggikan tubuhku, menjinjit untuk mengintip dari celah gorden, kulihat cincin keemasan terselip berdiri di dalam kota dalam genggaman ibu. Aku terhenyak. Kalau lelaki itu yang datang, lalu kau di mana?

/4/

Aku, di matamu, adalah lelaki durja. Kusembunyikan satu peristiwa. Aku berhutang budi pada seseorang. Ia telah menyelamatkan keluargaku dalam keterpurukan. Lama aku mencarinya selama sepuluh tahun, namun tak juga kutemui. Kami mengenalnya dengan nama haji Rahmat. Saat ku tiba di sini, di Jepara, mataku terbelalak. Tidak lain ki Buyung itu adalah haji Rahmat. Dalam keramahtamahannya ia meminta satu hal; ia ingin aku menanggung kehidupan putrinya. Dan inilah balas budiku yang harus kubayar.

Ratih, di sini, di langkah pertamaku di pelataran rumah Ki Buyung, kulihat dirimu. Aku yakin itu kamu. Tapi Ki Buyung menjelaskan berulangkali kalau itu, yang harus kutanggung kehidupannya itu, adalah perempuan yang lain. Mungkin benar kata orang, setiap insan diciptakan dengan tujuh kembaran. Dan entah setan apa yang merasukiku, aku melihatnya sebagai dirimu.

/5/

Senja hampir berlalu. Dan semoga kau pergi bersamanya untuk selamanya.


Bandar Lampung, 5 Februari 2014

Tuesday, 16 June 2015

Mengarungi Tubuh Sendiri

- No comments


[Refleksi atas “Di Sebuah Mandi”]

Sudah seharusnya saya –manusia yang hina ini- hidup dengan membuat lompatan-lompatan. Membuat trambolin dari ilmu pengetahuan dan bisikan alam untuk meninggalkan sesuatu dan mendatangi Sesuatu (sengaja dengan S kapital).

Karena Sesuatu itu lebih mulia dan berharga dari sesuatu yang lain, maka saya harus membersihkan dan mensucikan diri, mendandani yang luar dan yang dalam. Pensucian itu harus saya lakukan dengan membaca, merenungkan, kemudian mengamalkan. Guru spiritual saya membimbing saya dalam rangka pembersihan melalui pertaubatan. Sedangkan Joko Pinurbo –biasanya dikenal dengan Jokpin- meminjam sebuah kamar mandi untuk acara pensuciannya sendiri.

Dunia tidak lagi mampu menjawab rasa kering di dalam hati. Kserakahan tubuhku semakin menjadi-jadi. Ingin ini harus segera dituruti. Ingin itu harus segera ketemu. Bahkan seandainya yang diinginkan adalah mati tentu harus diladeni. Pantas saja Jokpin menganggapku makin montok saja.

Ah, peduli amat. Orang lain menganggapku bahagia karena seolah-olah kugenggam dunia. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya aku makin ciut saja. Sebab hasrat-hasrat itu lebih liar dari ilalang, dan akhirnya aku tak kebagian lahan di tubuhku sendiri.

Siapapun orangnya –termasuk saya- pastilah pernah mengalami kesendirian yang dalam, merasa ada sebuah kehilangan yang besar, dan rasa ingin pulang entah kemana. Malan itu, aku merasakan hal itu untuk kesekian kali. Gejolak yang meledak untuk membawaku pulang meskipun sebenarnya saya tak punya lagi kampung halaman. Semua sudah direbut oleh glamor dan euforia dunia. Saya hanya bisa mengenang.

Suatu saat nanti, ketika tubuhku semakin kering, eufora dunia semakin bisu untuk memberi jawaban di mana letak telaga, semoga saya bisa menemukan sendiri sebuah mandi yang akan kuziarahi dan kudapatkan jejak-jejak cinta. Namun, apakah perjalanan pencarian itu akan terlalu lama sehingga kuhantarkan tubuhku ke waktu senja dan terlantar di simpang waktu? **

(2010)

Bodoh

- No comments


"Kamu gak usah marahin orang karena dia berbuat salah. Orang yang berbuat salah itu karena sikap dan jiwanya kurang matang." 

Nasehat orang tua seperti itu sudah luput dari telinga anak-anak mereka. Bahkan saya sendiri pun demikian. Rasa-rasanya males mau nasehatin anak terus menerus. Makanya saya selalu mengambil jalan pintas supaya anak saya kembali becus. Marah. Itulah jalan pintasnya. Anak mesti dimarahi supaya jiwa dan mentalnya kuat, karena di luar sana jauh lebih keras. Begitu pandangan saya. 

Saya punya lima anak. Artinya sudah hampir lima belas tahun saya marah-marah. Bayangkan, lima ribu tiga ratus empat puluh hari saya marah-marah ke anak saya. Perilaku lima belas tahun itu pun sudah menjadi watak. Dan ketika saya menjadi bos seperti sekarang ini, kebiasaan memarahi bawahan pun tidak bisa terhindarkan. Apa lagi saya punya alasan kuat buat marahin mereka. Saya bos mereka bawahan. 

Padahal setelah marah-marah saya selalu sedikit menyesal. Apa lagi kalo ingat nasehat teman saya yang punya ribuan buku literatur itu. "Mereka itu durung ngerti. Jiwanya sedang luput karena kurang berkembang sebagai manusia sempurna." Untuk mengimbangi hubungan kemanusiaan saya pun selalu mengakhiri acara marah-marah saya dengan berapologi sedikit. Saya minta maaf seribu maaf. saya harus melakukan ini karena saya ditugaskan untuk begini. Tau kan siapa yang menugasi saya harus begini. Saya juga bernasib sama dengan anda. Tapi bukan berarti anda menjadi pelampiasan saya. Semua ini karena memang anda harus ditegur. Harus diluruskan. Harus diingatkan kembali kepada jalur kereta yang kita lewati saat ini. Mohon anda bisa mengerti. 

Setelah lima belas tahun ditambah beberapa tahun ini saya menjadi atasan, menjadi orang yang harus dilapori, saya merasa makin lama makin bodoh. Saya hanya pintar berucap dari pada bertindak. Mereka yang saya marah-marah justru menunjukkan perkembangan yang lebih baik. Atau mereka yang kemudian memutuskan untuk keluar juga mendapatkan prestasi yang gemilang. Bos saya memuji saya karena saya berhasil membina dan membimbing mereka. Itu sepengetahuan saya. Padahal nol besar. Saya hanya marah-marah. Seperti halnya orang bodoh. 

Orang bodoh itu orang yang sukanya menuruti hawa nafsu, yang bertindak untuk keuntungan pribadi. Dan saya memang bodoh. Sesuai definisi itu.

September 2012

Tempat Pergi Tempat Kembali

- No comments



apa kabar catatan harianku?
akhir-akhir ini aku begitu rakus: rakus waktu, rakus kesenangan 
dan tak kusisakan sedikitpun untukmu 

kau lelah menunggu?
rupanya kau tetap setulus dulu: menungguku menghampirimu
kau tahu, bukan, kuhampiri kau ketika aku lelah
dan jawabanmu selalu sama: ketulusan akan membuahkan akhir yang indah

kau jawab itu supaya aku tak pergi atau kau memang ingin berkata demikian
karena bagaimanapun juga, nanti atau esok hari, aku pasti pergi
dan kau kembali pada penantianmu
kalau aku ingat aku akan kembali
tapi bagaimana kau aku lupa
hah, memang benar, selama ini pada akhirnya aku kembali

jangan kau ajari aku tentang ketulusan seperti yang kau lakukan
jangan 
saya masih ingin membohongi diriku sendiri 
karena ini alasanku untuk selalu kembali

Friday, 5 June 2015

Air Mata adalah Air Mata

- No comments


Teman saya tidak pernah menangis
Dia selalu mengolok-olok rekan-rekannya yang sedikit-dikit meneteskan air mata. "Menangis itu pelarian. Kalau kita menangis terus itu artinya kita selalu mencoba untuk lari. Bagaimana orang yang mempunyai tanggung jawab besar di muka bumi ini selalu mencari pelarian untuk setiap masalahnya." Begitulah teman saya berkilah. Memang, saya sebagai rekan karibnya tidak pernah melihat sama sekali dia menangis. Bahkan mengeluh. 

Kalau dia merasa kesulitan menghadapi permasalahannya, ia akan berkonsultasi -dia tidak mau menggunakan istilah curhat. Entah mengapa?- dengan teman-temannya yang cerdas. "Ketika Napoleon dibuang di sebuah pulau, dia menghadapi 'deportasinya' dengan membangun koalisi dan diskusi dengan temannya. Kehebatan Napoleon bukanlah un sich dirinya, tapi juga temannya. Saya bla.. bla.. bla... Bagaimana menurut kamu?" Begitulah cara dia berdiskusi dan berkonsultasi dengan temannya. 

Suatu hari saya menginap di rumah teman saya itu. Sebelum tidak ia tampak baik-baik saja. Dia tidur di samping saya. Di tengah malam saya terbangun. Saya merasa kalau spring-bed ini menopang beban yang lebih ringan dari pada ketika hendak tidur. Lalu tangan saya meraba ke sekitar. Ternyata saya tidur sendiri. Teman saya tidak ada di kamar bersama saya. 

Saya bangun dan keluar mencari-cari di ruang tengah. TV tetap mati. Kamar mandi juga kosong. Tapi, lamat-lamat saya mendengar isak tangis dari ruang kecil dekat ruang tamu. Saya memberanikan diri mengintip. Ternyata yang menangis itu teman saya. Jadi teman saya memang tidak pernah menangis (di depan temannya).

Air mata bukan air mata buaya
So, biar tidak dituduh cengeng, air mata buaya, manja, dan predikat lainnya, pilih-pilihlah kalau ingin menangis. Menangis itu ada tempatnya:
  1. Anak perempuanmu yang selama 20-an tahun sudah kamu suapin tiba-tiba harus dibawa pergi suaminya. Wajarlah kalau kamu menangis.
  2. Seminggu yang lalu kamu memaki-maki ayah ibumu karena tidak diterima merit dengan doi pilihanmu. Belum sempat kamu meminta maaf eh ortumu kecelakaan dalam perjalanan pulang dari masjid dan langsung koit.
  3. Nah, karena kamu sadar kalau kita ini hanya manusia biasa yang tidak punya kekuatan apapun, enggak ada salahnya kalau kita meminta pada-Nya yang maha kuasa. Enggak harus tengah malam koq, siang hari juga bisa. Kalau malu seperti teman saya itu, ya bangun tengah malam kan tidak ada salahnya. Dari pada nonton mid-night sesekali mid-night di atas sajadah ok juga kan?!** 

Tuesday, 2 June 2015

Alasan Tetap Menikmati Waktu Luang

- No comments

Sudah banyak orang berbagi pengalaman atau nasehat tentang memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Dari nasihat kecil-kecil sampai semboyan-semboyan klise. Kali ini, saya tidak akan berbagi pengalaman tentang memanfaatkan waktu, justru sebaliknya. Saya ingin berbagi pengalaman tentang membuang waktu.

Banyak orang tidak suka melihat orang lain membuang waktu sia-sia tanpa kegiatan berarti tanpa mau menilik ke dalam. Yuk, kita lihat ke dalam, siapa tahu justru kita lebih menyia-nyiakan waktu daripada orang yang dibenci itu.

Ada banyak alasan mengapa waktu yang berharga dibiarkan begitu saja berlalu. Setidaknya poin-poin berikut dapat mewakili.

Pertama, time is not really a money. Bagaimana bisa menganggap waktu adalah uang toh dengan berlehai-lehai gaji tetap masuk ke nomor rekening pribadi. Teman-teman saya yang jadi pegawai sering berselorok begini: gak usah ngoyo toh gak jadi duit.

Memang benar, di lingkungan dia bekerja, gaji antara yang ngoyo dan yang letoy tidak jauh berbeda. Lebih dekat dari jangkauan kilan jari. Sama-sama dapat gaji pokok, tunjangan kesehatan, dan tunjangan kehadiran.

Falsafah "bekerja untuk mengabdi pada kehidupan" sepertinya mulai usang. Mulai luntur seperti tinta yang tersiram air. Memudar seperti cetakan tinta di atas kertas ATM. Kalau falsafah yang begitu saja sudah dibiarkan memudah, apalagi memaknai kata bekerja (Jawa: kerjo) dan berkarya (Jawa: makaryo). Lihat saja dua kata itu, sangat dekat antara kerjo dan makaryo tapi ikatan keduanya sudah dilepas.

Kedua, keajaiban deadline. Berapa banyak teman kita, atau mungkin kita sendiri, yang menjadi mister deadline. Yang jadi pertanyaan saya mengapa suka menjadi mister deadline. Perlahan saya mulai mendapatkan jawaban: karena pertolongan tuhan hadir di detik-detik terakhir.

Nah, lihat saja kisah para nabi dan rasul, hikayat para wali dan orang-orang suci betapa pertolongan tuhan selalu menghampiri mereka ketika daya dan upaya manusiawinya tak lagi membantu. Tangan tuhanlah yang selanjutnya bekerja. Para mister deadline sangat meyakini ini.

Ketiga, kegemaran memacu adrenalin. Saat menggiring bola kaki, mata, tangan, dan seluruh tubuh berpacu kepada satu tujuan, gawang lawan. Saat bercengkrama dengan pasangan, bibir, mata, tangan, dan seluruh tubuh berpacu pada satu tujuan pula, gawang lawan. Dan semua penyemangat itu sebenarnya berasal dari bahan bakar bernama adrenalin.

Saat mengerjakan tugas yang berjangka lama, anggota tubuh tidak bisa bekerja dengan maksimal. Kalau toh dapat bekerja, ia tetap tidak maksimal. Silahkan dicoba sendiri. Tetapi ketika ada adrenalin dalam tubuh berhasil dipicu, dalam sesaat performa meningkat.

Mungkin, hidup ini memang tidak sepenuhnya diikat oleh waktu. Kata Sapardi "Yang fana adalah waktu || Kita abadi: Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga || Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa."

Ditulis untuk menjawab tantang #NulisRandom2015 -- Hari kedua.

Monday, 1 June 2015

Ujian Hari Pertama Bikin Sesak Hati

- No comments

Saya kira sudah banyak sekolah yang memanfaatlan e-learning system untuk melaksanakan asesmen atau evaluasi belajar. Sistem ini sangat membantu guru dalam pelaksanaan penilaian. Kalau ada yang belum mau memanfaatkannya mungkin karena ingin menyibukkan diri dengan kegiatan tambahan: mengoreksi lembar jawaban. 

Sialnya, kalau sedang ujian seperti hari ini, tiba-tiba PLN melakukan pemadamana listrik. Bubar! Panitia harus putar otak supaya ujian tetap berjalan dengan baik. Tapi putar otaknya juga tidak bisa lama-lama, karena yang di dalam kelas sudah gusar pingin cepet keluar. 

Jalin Hubungan yang Harmonis
Saya tidak tahu pasti apakah PLN sudah melakukan sosialiasi untuk jadwal pemadaman hari ini. Atau ini hanya insiden sesaat yang harus dimaafkan. Meskipun begitu, insiden mau terencana, badan milik negara ini harus rajin melakukan sosialisasi dan gaul dengan masyarakat. Terutama tentang jadwal pemadaman. 

PLN perlu membuat sistem yang ramah. Misalnya, membangun sistem sms gateway yang akan menginformasikan segera kepada masyarakat dua jam sebelum pemadaman. Kalau terlalu banyak yang harus dikirimi pesan singkat, setidaknya institusi/badan usaha penting yang ada di lingkungan yang bersangkutan segera dikabari: sekolah, industri besar/kecil, masjid, dan radio.

Saya masih heran bagaimana bisa PLN merugi? Padahal masyarakat rajin membayar bulanan. Apalagi sekarang, meteran KwH sudah menggunakan elektrik atau prabayar. Pendapatan PLN lebih akuntabel. PLN harus segera berbenah ke arah yang lebih baik. 
Semoga.

Hari Pertama
#MenulisRandom2015

Body Lotion

- No comments

“Sedih deh gue, kayaknya bakal kehilangan temen, nih.”

Demikian BBM yang saya terima pada saat mendengarkan celoteh klien di sebuah ruang rapat. Kemudian, saya membalas dengan menanyakan, bagaimana itu bisa terjadi. Dan selanjutnya, anda pasti tahu, kalau saya tenggelam dalam keasyikkan mengirim dan menerima pesan itu, dan membuat konsentrasi di ruang rapat yang awalnya seratus persen menjadi setengahnya.

Kulit kering

Soal kehilangan, saya jadi teringat saat ibu dan ayah sedang menghadapi ajal.

Saya menulis kata ibu sebelum kata ayah karena ibu game over terlebih dahulu. Tetapi, untuk kejadian yang berbeda waktunya itu, benang merahnya sama. Saya berdoa merayu-rayu Tuhan supaya mereka bisa sembuh dan tidak “pulang ke rumah” terlalu dini. Alhasil, doa dijawab dengan jawaban yang tidak berkenan untuk saya. Tuhan bisa saja menyembuhkan, tetapi saya harus dinaikkan kelas supaya bisa lebih pandai dengan mengerti arti kehilangan. Karena saya ini terlalu biasa kalau sakit selalu minta sembuh. Kalau sembuh, mulutnya cepat mengatakan, Tuhan baik. Saya tak pernah mengatakan, Tuhan itu baik kalau saya tidak sembuh dan kehilangan. Kehilangan itu membebaskan saya dari berpikir egois. Contohnya begini. Saya ingin orangtua tetap saya miliki, tetapi lupa kalau mereka hidup, itu adalah hidup dengan sesak napas setiap saat, mata yang sudah tak melihat, dan telinga yang susah mendengar, sehingga sering kali malah berantem karenanya.

Saya ingin meraka ada, tetapi saya tak mau menempatkan sebagai yang sesak napas, budek, dan tidak bisa melihat. Saya punya teman yang memiliki kepribadian sangat negatif. Awalnya tak masalah, saya sangat menyadari kami ini sama-sama manusia dengan sejuta kelamahan. Tetapi, makin hari, kekuatan aura negatifnya semakin kuat dan sudah mengeringkan saya, dan saya nyaris KO. Kalau dimisalkan kondisi kulit, maka pada awal pertemanan kami, kondisi kulit saya indah karena kelembabannya terjaga. Tetapi, lama-lama menjadi kering dan pecah-pecah seperti tanah gembur yang berubah menjadi kering kerontang. Dan sebelum saya menjadi KO dan benar-benar pecah, saya mengundurkan diri. Pengunduran diri itu menyedihkan, tetapi sekaligus mengembalikan kelembaban kulit saya.

Tiga Folder Melalui peristiwa itu, saya belajar sesuatu bahwa kehilangan teman, orang tua, atau siapa pun itu adalah sebuah perjalanan yang membuat hidup itu lengkap. Kehilangan tak negatif malah menjadi pintu masuknya sebuah pengalaman baru yang mengembalikan kegemburan tanah dari keretakan yang ditimbulkan pihak kedua, ketiga, dan kesejuta. Kehilangan itu bisa mengubah anda menjadi the better you. Anda dan saya perlu berteman, artinya menerapkan dengan nyata makna manusia adalah mahluk sosial. Tetapi, di dalam perjalanan menjadi mahluk sosial selalu saja ada kerikilnya. Sama saja seperti naik kapal terbang ada saja turbulensinya. Maka, setelah hidup nyaris lima puluh tahun, saya mengambil langkah-langkah berteman.

Ini saran saya saja. Pertama, dengan menggunakan dada yang lapang saya menerima siapa saja. Kedua, saya bersosialisasi sehingga paling tidak saya makin tahun teman-teman pada butir satu sesungguhnya. Langkah kedua ini membutuhkan waktu cukup panjang untuk mengetahui seberapa besar atau kecilnya kerikil, atau turbulensi, ketika bersama mereka. Ini berguna saat saya melangkah ke step berikutnya. Ketiga, sebagai langkah terakhir, saya menyeleksi teman-teman yang sejuta banyaknya itu. Seleksi ini berguna agar tanah saya yang gembur tak menjadi kering kerontang. Penyeleksian itu harus dilakukan dengan akal dan nurani. Nah, menurut pengalaman saya, semakin saya dekat dengan Sang Pencipta, semakin peka saya dibuatnya. Kepekaan itu yang memampukan untuk menempatkan teman-teman pada folder-nya masing-masing. Saya memiliki tiga folder.

Ada folder untuk teman yang akan saya simpan seumur hidup, ada yang hanya untuk dah-nek dah-nek atau cipika-cipiki, dan terakhir folder untuk teman yang harus saya tinggalkan. Kalau Anda merasa saya meperlakukan folder terakhir sebagai tong sampah, anda keliru besar. Mereka bukan sampah, mereka hanya membuat saya tidak gembur lagi. Bisa jadi untuk orang lain mereka bak body lotion yang melembabkan.

Oleh karena itu, saya takakan memusuhi, mereka bukan musuh saya. Kalau mereka kemudian berpikir demikian, itu hak mereka. Maka kalau Anda masuk ke dalam folder yang ketiga, sehingga Anda mengalami peristiwa di mana teman Anda pura-pura tidak melihat kalau berpapasan di mal, saya sarankan sesuatu. Daripada Anda berasumsi yang tidak-tidak, mengapa Anda tidak berpikir sederhana saja dengan menyodorkan sebuah pertanyaan untuk diri anda sendiri. Begini. Mengapa saya sampai masuk ke folder yang patut ditinggalkan? Daripada Anda kemudian menyebar cerita kemana-mana bahwa seseorang itu jahatnya setengah mati, padahal yang harus membenahi diri adalah diri Anda sendiri. Maka, cobalah berusaha menjadi body lotion yang melembabkan kulit kering mulai sekarang.

Anda siapa? Ready, set, go.

** Samuel Mutia dalam Kompas, Minggu, 25 September 2011