Tepat di sebelah saya mereka duduk dan berbincang. Awalnya saya tidak ingin peduli dan memilih asyik dengan buku yang saya baca tetapi suara obrolan mereka lebih kencang dari nada-nada tulisan di buku yang saya pegang. Lalu untuk menit-menit selanjutnya telinga saya justru lebih banyak bekerja daripada mata saya.
Mereka berdua sedang membicarakan seseorang, entah teman sekelas entah seorang bajingan karena yang satu terdengar cadas dan keras, suara dan diksi katanya setajam matanya. Sedangkan yang satunya lagi—yang awalnya saya kira akan menenangkan dengan mengangguk-angguk saja—juga tidak kalah pedas dalam memberi komentar.
Saya menyunggingkan sudut bibir saya—yang sebenarnya tidak perlu saya lakukan, ada sinisme, ada prasangka—yang seharusnya juga tidak perlu tumbuh hanya karena mereka berdua memakai jilbab tetapi masih suka menggunjing. Sekali lagi, seharusnya attitude ini bisa saya singkirkan jauh-jauh dari diri saya karena jangan-jangan secara diam-diam dan tak saya sadari, justru kelakuan saya jauh lebih buruk dari kedua mahasiswi yang ada di samping saya.
Permasalahan sosial bangsa kita, lingkungan dan masyarakat kita, semakin kompleks hingga muncul hipotesa bahwa keruwetan yang belakangan muncul—dari kekerasan dalam rumahtangga, penyimpangan seksual, birokrasi yang korup, adalah output dari pendidikan etika moral (pendidikan karakter) yang kurang berhasil. Semakin permasalahan ini disadari semakin tumbuh pula kesadaran untuk memperbaiki. Dan perbaikan pendidikan karakter ini dapat dimulai dari pendidikan agama.
Hanya saja, kesadaran ini tumbuh bersamaan dengan kesadaran lain: kesadaran untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf ekonomi. Sekarang, apapun yang ada di depan mata dan kebetulan banyak orang yang membutuhkan maka itu akan dimanipulasi menjadi sebuah komoditi bernilai ekonomis yang menguntungkan, termasuk agama.
Jual beli asesoris agama adalah ladang yang bernilai ekonomis. Kalau mau menekuni tentu akan meraup keuntungan yang luar biasa, apalagi di musim sekarang ini.
Dulu, agama berada di ranah pembetukan moral—sebuah opini yang idealis, meskipun tidak dipungkiri ada yang memperjual-belikan agama tapi tidak sesemarak sekarang ini. Lalu perlahan ranah ini bergeser. Karena kebutuhan terhadap perbaikan etika moral (nilai-nilai karakter) meningkat maka kebutuhan terhadap (pendidikan) agama pun meningkat. Gejala dalam masyarakat kita, ketika kebutuhan sebuah barang meningkat secara drastis maka ada saja orang yang memanfaatkannya dengan menerbitkan versi KW. Maksud saya, kualitas pendidikan agama setara dengan barang KW karena ada motif lain dalam penyebarannya, yaitu uang.
Apa kaitannya dengan jilbab?
Saya sangat tidak ingin menyalahkan kedua mahasiswi di atas tadi karena bisa jadi mereka adalah korban komoditi, korban mode. Globalisasi dalam perekonomian telah merambah sampai ranah agama. Dan saat ini, apalagi di bulan Ramadan, agama menjadi komoditi yang laku dijual. Ketika jaman sedang berucap ‘money talks’ maka ‘value silents’. Sehingga, ketika ada yang mengatasnamakan dakwah tetapi jalan yang ditempuh adalah televisi melalui ajang mehek-mehek maka saya—dengan gegabah—berkesimpulan ‘halah mung dodolan’.
Yang shalat tidak serta merta baik, begitu pula yang berjilbab
Ada seorang yang rajin melaksanakan shalat tetapi tidak luput untuk melakukan kemaksiatan di luar sana. Padahal dalam Alquran disebutkan bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Jawabannya adalah karena shalat masih sebagai kata benda (isim), bukan kata kerja (fi’il). Sebagai kata benda, shalat dilakukan untuk memenuhi kewajiban dan perintah dari Allah. Sebagai kata kerja, shalat adalah sarana mi’raj untuk menemui Allah.
Begitu pula dengan jilbab, sebagai kata benda, jilbab adalah selembar kain yang menutup kepala sampai—untung-untung—dadanya. Sebagai kata kerja, jilbab adalah menutup dunia luar untuk tidak dipandang karena yang dipandang hanyalah Allah ta’ala.
Melaksanakan shalat itu menawa-nawa dapat membawanya untuk meninggalkan perbuatan yang keji dan yang berunsur kemungkaran. Bagi perempuan, memakai jilbab itu untuk menutupi tubuhnya supaya, menawa-nawa, tidak memunculkan sreng di dada laki-laki.
Kok sulit amat? Ya jelas sulit. Kemulyaan memang ditandai dengan mudah dan susah cara mencapainya. Oleh karena itu, kita yang berada di luar proses ubudiyyah seseorang, yang satu hasta dari proses seseorang dalam menjalankan perintah agama, jangan mengait-ngaitkan antara shalat dengan prilaku sesudahnya, antara puasa dengan hubungan sosialnya dengan lingkungannya, jilbab dengan ketajaman ucapannya. Biarlah shalat, puasa, dan jilbab berada pada ranah ubudiyyah dan prilaku-prilaku lainnya sebagai upaya yang lain dalam mendekati Tuhannya.