Sepulang kerja, Tanom mendapati istrinya, Sipon, murung di depan televisi. Matanya menatap layar tapi fikirannya melayang keangkasa. Tanom tak mau ambil pusing. Dia hanya men-dhehem.
“Ngapain dhehem-dhehem. Ra ngerti wong lagek jengkel ta?”
“Ini ada suami tercinta pulang kerja bukannya dikasih senyum malah dicemberutin.”
Dengar kata ‘suami tercinta’ Sipon kepingin ngikik. Kalau sudah seperti ini biasanya ada embel-embel karepan. Sipon tinggal nunggu apa yang dimaui Tanom sekarang.
“Suami tercinta, suami tercinta. Ra sah nggombal. Bilang aja maunya apa?”
“Ra sah endhel.”
Sipon melirik Tanom mengintip dari kaca meja tapi tak dapat melihat langsung wajah Tanom. Sandaran kursi yang ada di sampingnya menghalangi pandangannya.
“Kuwi tipi nek gak ditonton dipatheni ae. Ngabis-ngabisin listrik.”
Sipon gak nanggapin. Malah dia fokus ke kantong celana Tanom yang kelihatan jendol. “Kuwi opo?”
“Endhi?”
“Kuwi nang kantong celono. Kok jendol gitu?”
Sial, batin Tanom. Tapi lain di hati lain pula di mulut, “Halah, kantong celono po samping e kantong celono?”
“Yo Kantong celono. Cepet keluarin.”
“Di sini? Sekarang? Jendelo karo gorden e ditutup dulu, nanti kelihatan sama tetangga.”
“Sampeyan ini ngomong opo tho? Awan iki awan. Kalau mau nanti malam aja. Sekarang, itu apa yang dikantong?”
Tanom menyerah. Amplop cokelat dikeluarkan dari dalam kantongnya terus diletakkan di meja depan Sipon.
“Kandel pak. Duwit dari mana?”
“Itu bonus dari pak bos. Katanya, banyak pelanggan yang puas dengan hasil kerja bapak. Bengkel jadi sedikit lebih rame sekarang.”
Sipon yang tadi sempat sumringah lihat uang segepok tiba-tiba kembali murung. Bukannya gak suka dengan duitnya, tapi karena bengkelnya. Mereka berdua pernah ribut besar gara-gara Tanom lebih rajin ngerjain bengkel. Sinom cemburu. Tapi kalau mau diusut-usut, bukan masalah pekerjaan yang bikin Sinom cemburu. Sinom dah ngebet pingin punya momongan.
“Lho, sampeyan nganggep aku…” Tanom gak sanggup meneruskan kalimatnya waktu itu. Rasa geramnya meluap luar biasa.
“Bukan gitu maksudku, pak. Apa gak sebaiknya kita pergi keluar? Kita ikhtiyar.”
“Sebenarnya masalahnya ada di saya atau sampeyan?”
“Maksud e??”
Ribut. Darah sudah terlanjur naik, mau diturunkan juga susah. Apalagi ini masalah harga diri. Lalu mereka saling diam. Turu ne singkur-singkuran. Sipon males buatin kopi, Tanom pilih nahan laper. Berangkat kerjanya pun lebih awal tapi pulangnya ditelat-telatin.
“Wes, ojo diterus-terusne daripada ribut maneh koyo mbiyen.”
“Opo ne sing ojo diterus-terusne?”
“Masalah bengkel.” Jawab Sipon.
Tanom nyeruput kopi. Sebenarnya perasannya agak gregetan tapi kopi panas buatan istrinya justru ngademake.
“Bu e, duwit kuwi rejeki seko Pengeran. Jangan diterima dengan kemarahan nanti berkahnya kabur menjauh. Disyukuri. Mugo-mugo dadi barokah terus ngerambat ke rejeki lainnya.” Tanom jadi mulai ceramah untuk ngademin hari Sinom. “Rejeki yang paling kita butuhkan dan inginkan.”
Kalau Tanom sudah ngomong seperti ini, tingkat kematangan hidupnya sedang ditunjukkan, dan itu jadi jurusnya untuk ngadem-ngadem Sipon. Buktinya, Sipon langsung mesem.
“Piye Bu? Sido ditutup tha gordenne?”
Senyum Sipon tambah sumringah.
2015