Thursday, 28 May 2015

Menulis Random: Sebuah Tantangan

- No comments

Saya buka link yang di-share akun @nulisbuku di Twitter. Isinya, penulis mengajak (menantang!!)  kita semua untuk menulis apapun tanpa takut apapun. Setiap hari. Sedikit atau banyak. Tanpa takut dicap ini dan itu.


Darah saya naik ke ubun-ubun. Saya putuskan saya akan berpartisipasi. 


Saya buat aturan untuk diri saya sendiri. Saya baru selesai mengimport postingan dari blog lama yang akan saya sunting dan diposting di blog ini. Hasil suntingan ini tidak masuk hitungan. Harus benar-benar fresh and new writting.


Semoga saya mampu mengalahkan writer's block kali ini. Cukup satu bulan untuk bertahan, mulai 1 juni sampai 30 juni. Semoga.



Gusti Pangeran dan Sepercik Kemesraan

- No comments


Aku terlahir dan tumbuh di sebuah desa. Yang kuingat dua puluh lima tahun silam, ketika mulai kumasuki masa-masa remaja, adalah embun yang membutir di atas dedaunan bunga-bunga di depan rumah, rumput jepang yang memaku telapak kaki telanjang, puncak gunung dan perbukitan yang berselimut awan salju, suara eyang bungkuk mengumandangkan tilawah pagi.
 
Ketika fajar menyingsing aku harus sudah membersihkan halaman, membuang dedaunan yang gugur diterpa angin malam atau rontok karena sambaran kelelawar, mematikan lampu dian yang hitam menjelaga.
 
Sedangkan di jalan yang lama tak ditambal jua anak-anak, yang entah karena kesadarannya atau takut pada cambuk orangtuanya, pulang belajar membaca huruf-huruf bangsa Semitik, tak takut pada anjing yang pulang berburu anak ayam atau kelinci, tak bergeming oleh dingin yang menyergap bersama kabut.
 
Lalu aku pergi dan kini kumerindukannya.
 
Aku ingat pula ketika musim panen sebagian dari kami bermain layang-layang di sawah dengan leluasa, mencari jamur di tumpukan damen yang basah dan lembab, atau membakarnya begitu saja hingga asapnya yang kuning tebal tak memberi celah untuk melihat siapa di seberang sana. 
 
Dan desaku terus tumbuh. Ekonomi terus tumbuh. Seperti yang dinyanyikan Iwan Fals, desa adalah kekuatan ekonomi. Padi, kopi, kakau, cabe, sawi, tomat, dan hasil bumi lainnya menghidupi warga. Ketika Rajaban atau Maulidan, yang tersaji di atas piring adalah makanan-makan hasil bumi sendiri, hasil tangan sendiri, yang berbeda nada berbeda suara (baca: beda bentuk beda rasa).
 
Aku seperti sekarang ini adalah buah dari ketelatenan orangtua menyisihkan uang untuk belajar. Begitu juga dengan teman-teman sebayaku yang pergi meninggalkan kampung halaman, menuntut ilmu dengan iringan doa para tetua. Ketika satu persatu para pengembara itu kembali, aku tetap belum berani menampakkan diri.
 
Mereka sangat berani dengan keyakinan yang tinggi. Menjunjung ilmu pengetahuan sebagai cahya dari ilahi takkan menjadikannya mati terkapar lagi kelaparan di muka bumi. Anugerah-Nya akan menetes dari awan yang ada di atas kepalanya, terjatuh di atas tanah tepat di depan kakinya berpijak. Ketulusan yang semakin tersamarkan belakangan ini.
 
Aku paham nilai-nilai itu. Derma dan anugerah memang datang beriringan tapi tak selalu harus bersatu. Bekerja dan menghasilkan uang sering datang bersamaan tapi tak selalu harus datang beriringan. Belajar dan kepintaran memang sering datang berdampingan tapi tak selalu harus datang bergandengan.
 
Aku terlalu sering melihat orang-orang modernis, orang-orang kapitalis, orang-orang borjuis yang dalam keberuntungannya yang melimpah lalu beranggapan bahwa tiada yang lebih berarti dari rupiah. Perlahan menjalar ke setiap urat saraf para pelajar.
 
Aku rindu kampungku. Aku rindu kemesraan dan kepolosannya seperti waktu itu.
 
Atau mungkin karena aku masih terlalu lugu.

April 2014

SHADA DAN GEMERICIK DALAM MASJID

- No comments


ALAM mensabdakan hujan. Seperti dalam kesempatan yang berbeda ia mensabdakan kemarau, senja, dan terkadang duka. Gemericik air dari talang rumah, atau kodok yang kegirangan di pinggir sungai, dalam sekejap mampu membawa kenangan yang telah lama terpendam. Yang entah karena kesibukan atau karena suasana baru secara mengherankan ia terlupakan. Lalu untuk membangkitkannya ternyata hanya membutuhkan bunyi gemericik air hujan. 

Siapapun boleh menafsirkan air hujan yang menggelitik atap rumahmu.

Seperti Shada yang diberhentikan oleh hujan lebat singgah ke rumah ibadah yang di dinding-dindingnya tertulis nama Allah. Ia singgah karena memang benar-benar singgah, bukan karena terpanggil untuk menjalankan ibadah. Ia sudah lama meninggalkannya yang mungkin orang-orang di sekitarnya mengatainya bahwa kekayaan telah membuatnya buta. Tapi setidaknya, hujan ini seperti sedang menghantarkannya pada rumah yang telah lama hilang.

Tepatnya kemarin sore, di tengah perjalan pulang langit menghitam di sepanjang jalan. Tak ada jaminan hujan mampu menahan diri untuk tak turun sebelum Shada sampai rumah. Tak dapat pula ia menahan diri untuk keadaan yang tak pasti seperti ini. Tekad. Maka ia pun beranjak. Di pucuk bukit matahari benar-benar telah disekap. Awan hitam di atasnya hanya menyisakan cahaya temaram. Dan sesekali seperti ada yang marah di balik awan hitam itu karena gemuruh membuat siapapun menjadi ngeri. Orang-orang dibuat kerdil oleh kilatan perak yang kemerahan. Tapi mana mungkin ia berhenti di sini?

Mungkin saja. Hujan telah menghentikan Shada dan ia tak mampu berbuat apa-apa. Hujan tak hanya mendinginkan mesin motor yang di parkir di depan masjid. Asap putih menyembul dari bagian mesin kendaraan—Itu uap dari air hujan menyirami knalpot. Juga sepatu pantopel hitam yang sudah penuh menampung hujan. Shada masih tak bisa berbuat banyak. Sama halnya dengan knopi teras yang besi-besi penyanggahnya mulai keropos. Ia tak lagi mampu menahan hujan menggerayangi muka tubuhnya lalu mengalir melalui serat-serat yang mulai bersela dan menetes tepat di kepalaku.

Setelah hampir setengah jam riuh hujan yang berjatuhan di atas knopi mulai menunjukkan tanda-tanda mereda. Seiring bunyi rintik yang mensunyi dari dalam masjid terdengar riuh lainnya. O, itu bukan riuh tapi koor anak-anak yang duduk memangku turutan baca Alquran.

Di masjid itu, puluhan anak belum baligh ikut berjamaah, lebih banyak dari orang dewasa yang ikut berjamaah. Usai imam shalat membaca doa, anak-anak itu menyalami jamaah lainnya lalu menuju serambi masjid. Anak laki-laki duduk di sebelah selatan dan anak perempuan duduk di sebelah utara. Mereka menyandang kitab tuntunan baca Alquran, ada pula yang membuka Alquran.

Belum ada guru ngaji yang duduk di antara mereka, tapi mereka sudah memulai majlis mereka dengan membaca Al-Fatihah dan beberapa surat pendek lainnya. Shada masih mengamati mereka dari dalam. Melihat mereka yang tadarrus sendiri-sendiri untuk melancarkan bacaan sebelum menghadap guru ngaji.

Shada merasa takjub. Di saat anak-anak lainnya di luar sana berasik ria menonton kartun atau bercengkrama dengan orang tua, justru belasan anak belum baligh itu terbata-bata mempelajari kitab agama. Saat anak-anak seumuran mereka bergulat dengan asiknya teknologi dan keramaian, mereka menyepi melawan keingin mereka sendiri untuk lebih memilih mendekatkan diri pada Ilahi.

Hujan masih rintik-rintik tapi Shada harus pulang sambil terus merenungkan mereka. Semoga mereka mampu bertahan, meskipun di luar sana semakin ramai, semakin riuh. Tapi keramaian dan keriuhan pasti akan menjemukan. Semoga mereka tetap bertahan, meskipun hujan kerap menjadi penghalang. Shada membatin dalam doa.

Oktober 2012

Wednesday, 27 May 2015

Tentang Saya

- No comments
Saya ingin menjadi penulis yang baik, yang mampu mengungkapkan ide dalam ungkapan-ungkapan yang renyah. Tetapi menjadi penulis yang baik ternyata tidak mudah. Stag dan titik jenuh adalah penghambat sekaligus tantangan yang saya hadapi selama ini.

Saya membaca Bumi Manusia. Pada saat itu, saya tidak yakin akan selesai membaca buku tebal itu. Tapi siapa sangka, saya dapat menyelesaikannya dengan cepat. Saya begitu terhanyut, menjadi saksi mata, seolah-olah tokoh Minke ada di depan mata. Begitu pula ketika membaca Ronggeng Dukuh Paruk, Saman, Supernova, dan novel-novel lainnya.

Saya sangat merasa iri. Mereka tentu sudah melalui proses-proses panjang, berjibaku dengan kemalasan, stag, rutinitas, dan atmosfir lainnya yang membunuh semangat berkarya. Mereka mampu melampuinya tapi saya tidak. Atau saya dipertanyakan: mampukan saya setangguh mereka.

Tak hanya karya sastra yang membuat saya ingin sekali menulis. Esai-esai Gus Dur, Gus Mus, Cak Nun, Gunawan Muhammad, dan penulis lainnya pun saya rasai sebagai penyemangat yang luar biasa. Rasa iri saya semakin menjadi-jadi.

Dulu saya merawat sebuah blog, maspaeng.blogspot.com, yang saya kelola dari tahun 2008. Karena beberapa hal saya mengimpor tulisan yang saya publish di saya ke blog ini. Beberapa saya sunting kembali. Ungkapan-ungkapan dan pikiran pokoknya juga. Sedangkan nasib blog itu sekarang saya hibernasi, didiamkan begitu saja.

Wednesday, 20 May 2015

Review: Exodus Gods and Kings

- No comments

Menarik sekali untuk menuangkan opini ini setelah menonton film Exodus: Gods and Kings. Tentu saja tulisan ini tidak up to date. Hanya saja film yang dibesut oleh Ridley Scott dengan menggaet Christian Bale dan Joel Edgerton untuk memerankan Moses dan Ramses saya rekomendasikan untuk ditonton. Selain karena keduanya yang berakting apik tetapi juga alur ceritanya yang sudah diketahui oleh khalayak karena bersumber dari kitab suci. Film ini, bagi beberapa orang, mungkin akan mengganggu keimanan. Bagi saya, film ini adalah hiburan yang lucu seru.

Exodus: Kings and Gods benar-benar menceritakan eksodus orang-orang Israel dari Mesir menuju ke Kenaan. Bermula dari ramalan dukun Fir’aun bahwa dalam pertempuran melawan bangsa Het sang penguasa akan diselamatkan dan penyelamatnya kelak akan menjadi pemimpin. Ketika pertempuran dengan bangsa Het terjadi, Ramses yang tersungkur dari kereta kudanya diselamatkan oleh Moses. Bisa dibayangkan kegelisahan Ramses melihat penyelamatan itu.

Exoduse Gods and Kings
Moses bukanlah siapa-siapa hingga ia mengunjungi Phitom di mana ratusan ribu orang Israel diperbudak. Di sana ia melihat kesemena-menaan, penindasan terhadap budak, dan keserakahan dari wakil raja di Phitom dan pertemuan tak terduga dengan seorang tetua bernama Nun yang menunjukkan jati dirinya sebagai seorang keturuan Israel. Sebagaiamana kebanyakan orang yang tak mudah menerima fakta yang bertentangan dengan keyakinannya sebelumnya, Moses menolak kebenaran bahwa ia terlahir dari seorang budak yang dititipkan kepada saudarinya, Miriam, untuk dihanyutkan di sungai Nil. Lalu ditemukan oleh Bithia, Puteri Firaun Paramesse, dan diasuhnya.
Alur dalam Exodus: Gods and Kings ini tidak banyak yang menggangu saya, kecuali satu adegan dipenghujung film. Ketika The Messanger berpisah dengan Moses yang ditandu menuju Kenaan. Ia tampak sudah lelah dan tua, jangka waktu yang tidak memakan usia segitu lama dalam eksodus dari Phitom ke Kenaan.

Saya pun bertanya-tanya, setua apa umur Moses saat bertemu Khidir (berdasarkan perspektif ajaran Islam)? Atau ketika ia mengalami konflik dengan ummatnya tentang sapi yang bersiul dan tentang empat puluh hari yang ditinggalkan? Mungkin sebaiknya, Moses tidak perlu didandani setua dan selelah itu saat ditandu.

Nabi Musa dalam Islam
Alquran banyak berkisah tentang nabi Musa karena banyak yang bisa dipelajari dari kisah-kisahnya. Yang paling tersohor adalah kisah pertemuannya dengan Khidir, sosok misterius yang banyak disebut tapi sedikit sekali referensi yang menunjukkan jati dirinya.

Nabi Musa ditemani oleh Nun menyisir pantai untuk bertemu dengan Khidir. Dalam pertemuan itu, Khidir mau mengangkat Musa sebagai murid dengan satu syarat: Musa tidak boleh bertanya apapun. Lalu mereka berjalan menyusuri pantai. Cerita selanjutnya sudah kita ketahui bersama.
Begitu juga kisah nabi Musa yang pusing bukan main melihat orang-orang Israel yang mudah sekali berpaling dari keimanan. Ditinggal hanya empat puluh hari saja mereka sudah kembali berdusta, berpaling keimanan mereka, oleh sapi emas yang dapat bersiul.

Ada pula kisah tentang nabi Musa yang beradu sakti dengan dukun-dukun kepercayaan Ramses. Mereka melemparkan tali ke lapangan yang sekonyong-konyong berubah menjadi ular berbisa. Tidak hanya nabi Musa yang keder, para budak dan penonton lainnya pun ikut merasakan ngeri. Lalu nabi Musa melemparkan tongkatnya yang juga dengan sekonyong-konyong berubah menjadi ular yang lebih besar dan memakan ular-ular jelmaan penyihir Ramses.

Tetapi kisah-kisah itu hanya segelintir perjalanan nabi Musa. Sisanya adalah kisah-kisah israiliyat. Kisah-kisah dalam Alquran adalah kisah-kisah yang inspiratif yang darinya kita menyerap banyak hikmah dan pelajaran.

Tentu saja, kalau kita menilai film Exodus ini berdasarkan ajaran Alquran tentu saja yang tertinggal di dalam hati adalah kegelisahan dan cibiran karena banyak sekali yang tak seperti dalam kitab suci. Sekali lagi, di sinilah asyiknya menonton film-film seperti ini. Selain untuk hiburan, juga untuk menguji nyali keimanan kita.

Mungkin perlu membaca kritik tentang film ini di sini.

Gajah Mada dalam Guratan Prosa

- No comments
Langit Kresna Hariadi (LKH) sangat piawai dalam memberikan gambaran sejarah fiksi. Momentum sejarah Indonesia yang luar biasa kembali dikemas dalam tutur sastra. Sehingga muncul pertanyaan tentang objektivitas dan validitas data yang terdapat di buku ini.

Memang, ini adalah fiksi. Deskripsi yang terdapat di dalamnya tidak bisa ditelan mentah-mentah begitu saja, diharuskan untuk membandingkan kenyataan sejarah, sebagaimana yang terdapat dalam pengantar bukunya yang ke-2, LKH mengakui adanya beberapa kesalahan fakta sejarah. Bagi penikmat fiksi -bukan bagi penikmat sastra, sejarawan, dan kritikus- yang hanya mencari hiburan, apakah kesalahan ini dimaklumi?

Bagi saya, itu tidak bisa. Karena disadari atau tidak, fiksi sejarah yang ditulis dengan mengesampingkan fakta sejarah akan mengubah histori itu dan -ditakutkan- bahwa kebenaran sejarah tersebut terletak pada novel fiksi itu.

Sejarah -bagi beberapa orang- memang tergantung pada siapa yang menulis sejarah tersebut, yang ingin mencari enaknya sendiri untuk kepentingan pribadi. Namun bagi saya, LKH kok kayaknya tidak punya ambisi itu ya?

Keperkasaan yang luar biasa yang dimiliki Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara di dalam novel ini akan menumbuhkan mitos baru dan mengukuhkan mitos lama tentang kedigayaan seorang Gajah Mada yang hanya seorang Bekel dan meningkat karirnya menjadi seorang Mahapatih Majapahit. Mitos dan pengelu-eluan itu terlihat pada pasukan khusus tentara kita yang juga diberi nama sama dengan Bhayangkara.

Lalu bagaimana sikap pembaca?
Tentu saja setiap pembaca memiliki penilaian masing-masing dalam mengapresiasi karya sastra. Bagi saya sendiri, Gajah Mada dan juga buku-buku yang selanjutnya adalah buku yang dipenuhi dengan pelajaran yang menarik untuk diambil contoh dalam mempertahankan keyakinan, ketelitian, perhitungan langkah, dan piuritas ambisi.

Awalnya saya benci buku ini, tapi nyatanya saya telah membeli seri berikutnya. Mampus deh gue.**

Tuesday, 19 May 2015

RUSMINI

- No comments

Karena dorongan yang sangat -berasal dari kegelisahan dan harapan- Rusmini berpamitan. Anggrek, mawar, bunga sepatu, dan bunga-bunga lainnya yang tumbuh di pot-pot harus bersiap diri merindukan sentuhan Surmini. Siapapun yang akhirnya menyiram, memupuk, memotong tunas pengganggu, tentu akan dirasa tak selembut tangan Surmini. Surmini -pada senja yang pilu- berucap pada bunga, saya akan kembali.

Kepergiannya tidaklah seberapa. Hanya sebuah pencarian untuk memenuhi jiwanya yang momplong.

Maka ketika Rusmini ditawari untuk menjaga kasir sebuah warung internet ia mengiyakan. Dari sanalah ia bertemu Raden. Lelaki yang dirasa Rusmini bisa memengisi separuh jiwanya itu.

Rusmini mendambakan ketentraman. Di saat teman-teman sebayanya bisa memenuhi kehampaan seperti yang ia rasakan maka Rusmini pun memutuskan untuk mengakhirinya. Saya harus segera menikah. Gumam Rusmini. Keputusan menikah bukan keputusan sembarangan. Ia telah mendapat nasehat dan perenungan. Toh, teman-temannya -termasuk wejangan orangtuanya sendiri- mengiming-imingi.

Dan Rusmini yang tinggal di kamar kost seperti menerima jawaban doa-doanya ketika bertemu Raden. Apalagi Raden memiliki kematangan dan kedewasaan. Sehingga ketika Raden menyatakan cinta Rusmini pun mengiyakan.

Cinta terjalin rapi antara keduanya. Rusmini ingin dicintai, Raden sudi mencintai.

Tapi Raden terkesima, tak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Mas cari perempuan lain saja, saya urung menikah. Kata Rusmini.

Bagaimana bisa kau bilang begitu? Raden kalap. Bukankah sejak awal mereka sudah komit bahwa hubungan mereka akan berakhir pada labuhan pernikahan. Sepuluh kali Raden meminta penjelasan sepuluh kali pula Rusmini menjelaskan dengan diam... Dan tangis.

Maafkan aku mas. Sayangnya permintaan maaf itu hanya terucap di hati.

Ruang lebar, meskipun pepohonan tampak menjulang di sana sini namun cakrawala masih bisa ditangkap mata. Dan Masih tersisa banyak untuk dimasukkan semua ke dalam kornea. Namun tidak di sini, di kota, yang jangan angin sejuk, cakrawala pun sudah habis direnggut. Setiap ruang dipenuhi batu pondasi. Meskipun tidak kunjung selesasi yang penting sudah ada pondasi. Sehingga tidak ada lagi ruang sisa. Semuanya menyempit. Sialnya, Rusmini tinggal di sana.

Tetangganya tanpa diminta sering memberi pertunjukan. Sebuah kemasan. Sialnya lagi pas malam hari. Suara dampratan, makian, dan sesekali meludah. Rusmini tidak menolak untuk tidak mendengar itu. Suami macam apa dia ini. Tidakkah terenyuh mendengar isak tangis isterinya yang mencekik itu, atau tersentuh sedikit saja permohonan ampun dari bibir yang telah mamar itu.

Di situ Rusmini berdiri. Mendengar dan menyaksikan. Dan semua itu melahirkan kengerian di batinnya. Lalu bertanya-tanya. Apakah bapak pernah melakukan hal sama kepada ibu. Mungkin tidak, karena Rusmini selalu melihat ibunya bahagia. Setidaknya di depannya.

Kalau ibu mungkin pernah menjadi korban seperti itu berarti Rusmini pun punya peluang mendapat perlakuan yang sama.

Rusmini menjadi gamang.

Ketika ia harus mengucapkan perpisahan kepada Raden batinnya pun menjerit. Lebih baik menjerit sekarang dari pada perih nantinya.

Dan ia teringat pada bunga-bunganya. Indahnya melihat bunga. Indahnya menjadi bunga. Ya... Menjadi bunga kota.

2011
[full_width]

Dua Puisi

- No comments

kau pergilah sayang. tak usah sematkan lagi senyummu. seharusnya kau malu pada mentari.

bergetar hati membaca pesan singkatmu
aku takjub karena baru kali ini kau berhasil buat hatiku cemburu
ah, mentari tidak hanya datang menerangi dirimu saja kau
hanya kegeeran
kau hanya cari alasan saja kan
supaya aku menjauh dari dirimu supaya kau bisa mengukur rasa cinta dan rindumu

datanglah sayang.
tak usah kau cemberutkan lagi wajahmu yang ayu
mentari seharusnya yang malu karena selalu mengintip puisi-puisiku untukmu.
pesan terkirim

- - - -

sebelum fajar berpijar kuingin terangkan pagimu dengan sapaku.

semakin muak kubaca permainan katamu
aku hanya mendambakan kedatanganmu menjemputku mengarungi malam untuk mengeja bintang
bukan buaian kata yang maksudnya entah tersembunyi di mana
sudahlah sayang, kau bukukan saja gombalanmu itu lalu kirimkan royaltinya ke rekeningku aku jamin aku bahagia.

berhentilah berpuisi.
puisi-puisimu tak mampu menandingi diriku.
pesan terkirim.

Bandarlampung, 15 Januari 2011

Fikih Perempuan: Pendapat Husein Muhammad tentang Perempuan

- No comments
Judul: Fikih Perempuan
Penulis: K.H. Husein Muhammad
Penerbit: LKiS Jogjakarta
Tebal: 262


Karena zaman modern ini banyak orang mempermasalahkan tentang hak-hak perempuan, karena sekarang ini banyak yang berwacana hanya karena diduga banyak perempuan menderita di kalangan tradisionalis, karena sering kali Islam klasik versi Indonesia yang patriarki dianggap semena-mena terhada perempuan, dan karena adanya anggapan bahwa Islam memperkenankan sikap yang demikian itu maka K. H. Husein Muhammad berusaha memberikan jawaban.

Umumnya, kontroversial yang menyerang umat Islam adalah aurat, jilbab, hak kawin, dan yang mungkin jarang sekali kita dengar adalah khitan bagi perempuan. Sebelumnya, K.H. Husein Muhammad berangkat melalui pemahaman gender pada umumnya dan bagaimana Islam -melaui teks Alquran- memaknai gender.

Ia pun mengupas satu persatu permasalah di atas berdasarkan dalil-dalil dan sekaligus menganalisa tentang dalil yang digunakan dalam tersebut yang sering digunakan sebagai legitimasi atas tindakannya itu.

Seperti perihal jilbab dan juga aurat. Aurat menurut pengertian bahasa adalah celah, kekurangan, sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh manusia dan yang membuat malu bila dipandang. Dalam Alquran kata aurat diulang sebanyak empat kali, yaitu pada al-Ahzab [33]: 13, an-Nur [24]: 31 dan 58. Dalam al-Ahzab, kata aurat dianggap sebagai suatu celah yang dapat dimanfaatkan oleh musuh untuk menyerang. Sedangkan dalam an-Nur diartikan sebagai "sesuatu dari anggota tubuh manusia yang dianggap malu bila dipandang, atau dipandang buruk untuk diperlihatkan". [Lihat halaman 68].

Lebih lanjut ia juga membahas tentang perbedaan aurat antara perempuan merdeka dan perempuan budak, sekaligus mempertanyakan batas aurat masing masing. Karena Umar bin Khattab pernah memerintahkan seorang budang supaya tidak memakai pakaian tertutup layaknya perempuan merdeka. Ia memerintahkan supaya mengangkat lengan bajunya dan roknya dengan batas yang wajar.

Banyak lagi permasalahan perempuan yang selama ini disudutkan oleh banyak pihak dan dianggap mendapatkan legitimasi dari teks Alquran dan Hadits. Dari permasalahan individu perempuan untuk mendapatkan kebebasan, keluarga, nafkah lahir dan batin, peran sosial, ekonomi dan politik, dan lain sebagainya.

Dari buku ini, setidaknya pembaca mendapatkan wawasan baru tentang sikap dan tindakan Islam dalam mengatur hak-hak umat manusia, khususnya perempuan.**

2010

Rakyat yang Bergerak, Presiden yang Diuntungkan

- No comments
Comic Panji Koming

Siapa pun yang menjadi penguasa di negeri ini, baik karena dorongan yang baik-baik atau karena dorongan nafsu untuk menguasai, sesungguhnya ia menjadi pemimpin yang paling mujur karena dua hal. Pertama, ia menguasai negeri yang berlimpah ruah dengan segala kekayaannya dan kedua, rakyatnya yang tak peduli-peduli amat dengan siapa yang menjadi presiden.

Indonesia dengan segala penindasan yang pernah dialami adalah negara dengan nilai kekayaan yang luar biasa. Kekayaan hayatinya tak ada yang mampu menandingi. Dengan daerah kelautan yang terbentang dari Sabang sampai Marauke, Indonesia memiliki potensi ternak ikan laut terkaya di dunia. Segala ikan ada di sini. Dengan daerah tropis dan hutan hijau yang sangat luas, Indonesia menjadi paru-paru dunia. Kalau ada pajak hirup udara, maka hasil pajak yang terkumpul dari seluruh dunia itu akan dibagi menjadi dua, pertama untuk Brazil dan kedua untuk Indonesia.

Kekayaan buminya pun tak habis-habis dikeruk oleh cukong-cukong yang serakahnya bukan main. Semen, batu bara, minyak, tembaga, emas, perak, dan entah apa lagi yang tak pernah terekspos oleh publik.

Yang lebih menarik lagi adalah rakyat yang tak peduli dengan siapa presidennya. Toh, partai yang menjanjikan ini itu saat musiman lima tahunan itu hanya segelintir saja yang benar-benar mengajarkan politik pada masyarakat. Toh, para anggota legestalif itu hanya menampung sangat kecil dan sedikit manusia yang mau menepati janji kampanyenya. Dan presiden yang telah dipilih oleh rakyat itu entah memenuhi janji yang mana dan yang diucapkan entah untuk siapa.

Tapi rakyat tetap biasa. Tetap jam dua pagi sudah harus bangun, duduk menunggu colt angkutan membawanya dan barang dagangannya ke pasar tradisional. Subuh sudah harus menembus dingin untuk menggarap ladang dan sawah. Obrolan tentang presiden tak jauh beda dengan gosip murahan di televisi-televisi.

Dari dulu para petani sudah berdiri di atas kaki mereka sendiri. Bertumpu pada tumit yang bengkak dan pecah. Memanggul beban hidupnya yang lebih berat dari bongkahan-bongkahan belerang yang beracun itu. Sehingga ketika krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1997, rakyat tetap enjoy dengan susah payah yang sudah seperti menjadi pakaian kesehariannya. Mereka tak khawatir sedikitpun karena uang yang mereka hasilnya disimpan di bawah kasur. Hasil uang dari warung dan kaki lima dimasukkan ke dalam celengan bumbung padi.

Jadi, siapa presiden yang tak diuntungkan oleh rakyat ini yang ngurusi negara seperti bancakan korporasi-korporasi tapi rakyatnya tak bergeming?

Namun, keserakahanlah yang telah menjadikan negeri yang kaya raya ini menjadi tampak sangat miskin. Rakyatnya yang kuat perkasa tampak sangat memilukan dan perlu dikasihani. Sebuah negara yang miskin negarawan.

Sebenarnya, rakyat akan sangat berterimakasih kepada siapa saja yang mau membangun dan memperbaiki jalan di pedesaan sehingga hasil bumi bisa segera dikirim ke luar daerah. Irigasi, tanggul, dan talut diperbaiki sehingga air mengalir dengan mesra dari hulu ke hilir. Ajarilah kami tentang teknologi pertanian yang mutakhir yang ramah lingkungan, tekhnologi bahari untuk mensejahterakan para nelayan. Sekolah-sekolah yang ramah dengan pengetahuan dan pendidikan. Transportasi massal yang ramah dengan kesehatan, termasuk kesehatan jiwa penumpangnya.

Siapapun, baik presiden ataupun politisi, siapapun kalau ada yang membantu rakyat seperti itu, tentu mereka akan sangat berterimakasih. Kalau toh juga tak ada yang mau, rakyat Indonesia sudah terbiasa memikul beban mereka sendiri tanpa peduli siapa presidennya, karena obrolan tentang presiden tak jauh beda dengan gosip murahan di televisi-televisi.

September 2014

Qurban, Bukan Hanya Menyembelih Binantang

- No comments
Qurban Yuk! || Garmbar: nomor2.blogspot.com

Penyembelihan binatang qurban adalah salah satu ajaran Islam yang di dalamnya Allah ingin mendidik manusia mencapai kematangan spiritual tentang ketaatan, pengorbanan, keikhlasan atas –setidaknya- kehilangan harta benda. Selain untuk mencapai kematangan spiritual, qurban juga memberi hikmah tentang pendidikan hawa nafsu.

Qurban sering diibaratkan sebagai penyembelihan sifat-sifat kehewanan yang ada pada manusia. Ketika sifat-sifat kehewanan ini disembelih maka yang tertinggal dalam diri manusia adalah sifat-sifat kemalaikatan, yakni ketaatan menghamba pada Allah ta’ala.

Qurban bukanlah pakain jadi yang menghiasi manusia, yang kalau memakainya lantas terbebas dari sifat-sifat kebinatangannya. Atau semacam saklar yang digunakan untuk menyalakan cahya kemalaikatan dalam diri manusia. Tapi ia hanya jalan yang menuju ke cahya itu, dan karena ia hanya sebuah jalan maka wajarlah kalau di tengah perjalanan itu akan ditemui rambu-rambu dan rintangan-rintangan.

Jadi, seseorang mengurbankan seekor kambing sebagai bentuk ketaatan menjalankan sunnah Nabi. Tetapi menjalankan ketaatan itu tidaklah mudah. Bisa saja dalam proses pemilihan binatang qurban terjadi tawar menawar harga yang alot sehingga menimbulkan amarah. Itulah pengganggu pertama. Lalu dalam proses menunggu hari penyembelihan ia lalai merawat kambingnya hingga sesekali kelaparan. Itulah pengganggu kedua. Ketika membawa kambing qurbannya ke lapangan ia melihat temannya membawa binatang qurban yang lebih kecil dari miliknya sehingga ia merasa bangga diri melihat kambingnya lebih ‘bermutu’ daripada milik temannya. Itulah pengganggu ketiga. Dan mungkin akan ditemui pengganggu-pengganggu lainnya.

Seseorang membeli hewan qurban untuk merasakan kedekatannya pada Allah, atau seseorang itu telah merasakan kedekatannya kepada Allah sehingga untuk merasakan lebih akrab lagi maka ia berqurban di hari Ied Adha? Pertanyaan ini penting untuk disuapkan kepada diri kita yang akan berqurban. Karena siapa tahu dalam menjalani ibadah yang mulia ini justru sifat kehewanan itu tumbuh bersemi.

Sifat hewan yang melekat pada manusia bisa berbentuk keinginan untuk menang sendiri, kebanggaan membusungkan dada, meraup kepuasan untuk memenuhi hasrat dirinya sendiri. Padahal Islam mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa berbagi dan menolong satu sama lain, Islam mengajarkan kerendah hatian sehingga orang lain merasa nyaman berada di sisinya, dan islam tak henti-hentinya menasehati supaya keras dalam mendidik nafsu karena kecendrungan nafsu lebih pada hal-hal yang merusak dirinya.
 
Korban bukan qurban. Korban ada objek lemah dari sebuah peristiwa besar dan dalam kelemahannya itu seseorang mencoba menguatkan diri. Sedangkan qurban adalah aktifitas ‘melumpuhkan’ sesuatu dalam diri yang tadinya kuat lalu dipenggal dominasinya. Kekuatan itu kalau tumbuh justru akan menjauhkan. Sehingga pemenggalan itu adalah dalam rangka mendekat, tak hanya mendekatkan dirinya sebagai hamba kepada Allah ta’ala tetapi juga mendekatkan yang jauh. Mendekatkan rejeki melalui berbagi, mendekatkan kebahagiaan melalui nikmatnya hidangan, mendekatkan berkah melalui mengalah (ngalah karena hanya mendapatkan sedikit dari hewan qurbannya).

Qurban berasal dari bahasa arab qoruba yang berarti dekat. Ia intransitif. Orang yang dekat disebut qo:rib. Kedekatan satu sama lain disebut qorobah. Tetapi qurban bukan lagi bukan lagi intransitif. Ada pihak yang mendekati dan ada pihak yang didekati. Sehingga yang tadinya jauh berubah menjadi lebih dekat (aqrob). Yang tadinya dekat berubah menjadi lebih dekat lagi.

2014

Monday, 18 May 2015

Mugo Cepet Duwe Anak

- No comments
Sepulang kerja, Tanom mendapati istrinya, Sipon, murung di depan televisi. Matanya menatap layar tapi fikirannya melayang keangkasa. Tanom tak mau ambil pusing. Dia hanya men-dhehem.

“Ngapain dhehem-dhehem. Ra ngerti wong lagek jengkel ta?”

“Ini ada suami tercinta pulang kerja bukannya dikasih senyum malah dicemberutin.”

Dengar kata ‘suami tercinta’ Sipon kepingin ngikik. Kalau sudah seperti ini biasanya ada embel-embel karepan. Sipon tinggal nunggu apa yang dimaui Tanom sekarang.

“Suami tercinta, suami tercinta. Ra sah nggombal. Bilang aja maunya apa?”

“Ra sah endhel.”

Sipon melirik Tanom mengintip dari kaca meja tapi tak dapat melihat langsung wajah Tanom. Sandaran kursi yang ada di sampingnya menghalangi pandangannya.

“Kuwi tipi nek gak ditonton dipatheni ae. Ngabis-ngabisin listrik.”
Sipon gak nanggapin. Malah dia fokus ke kantong celana Tanom yang kelihatan jendol. “Kuwi opo?”

“Endhi?”

“Kuwi nang kantong celono. Kok jendol gitu?”

Sial, batin Tanom. Tapi lain di hati lain pula di mulut, “Halah, kantong celono po samping e kantong celono?”

“Yo Kantong celono. Cepet keluarin.”

“Di sini? Sekarang? Jendelo karo gorden e ditutup dulu, nanti kelihatan sama tetangga.” 

“Sampeyan ini ngomong opo tho? Awan iki awan. Kalau mau nanti malam aja. Sekarang, itu apa yang dikantong?”

Tanom menyerah. Amplop cokelat dikeluarkan dari dalam kantongnya terus diletakkan di meja depan Sipon.

“Kandel pak. Duwit dari mana?”

“Itu bonus dari pak bos. Katanya, banyak pelanggan yang puas dengan hasil kerja bapak. Bengkel jadi sedikit lebih rame sekarang.”

Sipon yang tadi sempat sumringah lihat uang segepok tiba-tiba kembali murung. Bukannya gak suka dengan duitnya, tapi karena bengkelnya. Mereka berdua pernah ribut besar gara-gara Tanom lebih rajin ngerjain bengkel. Sinom cemburu. Tapi kalau mau diusut-usut, bukan masalah pekerjaan yang bikin Sinom cemburu. Sinom dah ngebet pingin punya momongan.

“Lho, sampeyan nganggep aku…” Tanom gak sanggup meneruskan kalimatnya waktu itu. Rasa geramnya meluap luar biasa.

“Bukan gitu maksudku, pak. Apa gak sebaiknya kita pergi keluar? Kita ikhtiyar.”

“Sebenarnya masalahnya ada di saya atau sampeyan?”

“Maksud e??”

Ribut. Darah sudah terlanjur naik, mau diturunkan juga susah. Apalagi ini masalah harga diri. Lalu mereka saling diam. Turu ne singkur-singkuran. Sipon males buatin kopi, Tanom pilih nahan laper. Berangkat kerjanya pun lebih awal tapi pulangnya ditelat-telatin.

“Wes, ojo diterus-terusne daripada ribut maneh koyo mbiyen.”

“Opo ne sing ojo diterus-terusne?”

“Masalah bengkel.” Jawab Sipon.

Tanom nyeruput kopi. Sebenarnya perasannya agak gregetan tapi kopi panas buatan istrinya justru ngademake.

“Bu e, duwit kuwi rejeki seko Pengeran. Jangan diterima dengan kemarahan nanti berkahnya kabur menjauh. Disyukuri. Mugo-mugo dadi barokah terus ngerambat ke rejeki lainnya.” Tanom jadi mulai ceramah untuk ngademin hari Sinom. “Rejeki yang paling kita butuhkan dan inginkan.”

Kalau Tanom sudah ngomong seperti ini, tingkat kematangan hidupnya sedang ditunjukkan, dan itu jadi jurusnya untuk ngadem-ngadem Sipon. Buktinya, Sipon langsung mesem.

“Piye Bu? Sido ditutup tha gordenne?”

Senyum Sipon tambah sumringah.

2015

Tiga Sifat Generator yang Bernama Syahwat

- No comments

Manusia dibelaki tiga software dasar penyusun rohaniahnya. Kalau bisa mensinergiskan, mengendalikan, dan menjalankan sesuai dengan aplikasi yang benar, maka ia akan mencapai derajat kemanusiaannya. Kalau gagal, maka ia akan runtuh dan tidak ada lagi pembeda antara dirinya dan biantang. Ketiga software itu adalah syahwat, kalbu, dan akal.

Dalam nilai dan budaya kita sekarang ini syahwat sering diartikan dengan dorongan seksual belaka. Padahal,  dorongan seksual adalah salah satu output dari syahwat itu sendiri. Kalau dorongan seksual adalah sekedar output maka syahwat adalah sebuah generator yang mampu menghasilkan energi tak terbatas. Kebudayaan dan perkembangan teknologi kehidupan saat ini tidak lain adalah output dari generator yang bernama syahwat.

Salah satu unsur dari generator syahwat ini adalah egosentrisme (ananiyyah), yakni segala sesuatu yang sifatnya ke-aku-an. Bisa juga egosentrisme berarti menempatkan diri sendiri sebagai pusat. ‘Diri sendiri’ di sini bisa dimaknai sebagai perorangan, etnik, golongan, atau lainnya.

Minimal, syahwat memiliki tiga sifat. Pertama adalah penyerap. Ia akan menyerap apapun dari luar untuk dirinya sendiri, tak peduli yang diserap itu bernilai positif atau negatif. Tak peduli daya serapnya memiliki daya merusak atau tidak, yang terpenting kepentingan untuk dirinya sendiri terpenuhi. Semisal Kadir yang melihat seseorang yang sangat dihormati di lingkungannya. Ia melakukan telaah mengapa orang-orang menaruh hormat kepadanya. Ia perhatikan tutur bahasanya, sandang papannya, tingkah lakunya. Hingga akhirnya Kadir memiliki kesimpulannya sendiri bahwa untuk mendapat kehormatan orang lain maka ia harus memiliki kemampuan berbahasa yang begini, sandang papannya yang begitu, dan lainnya. Itulah salah satu bentuk syahwat yang memiliki sifat penyerap.

Kedua adalah menguasai. Menguasai dalam konteks apapun dan pada skala apapun, baik bermakna positif atau pun negatif. Syahwat tanpa sifat menguasai maka hardware-nya (manusia) akan menjadi lemah dan tak berkembang. Tetapi kalau tidak terkontrol maka ia akan menjadi kekuatan yang menghancurkan.

Sedangkan sifat terakhir dari syahwat adalah melampiaskan. Pelampiasan ini bisa dalam bentuk apapun dalam setiap ruang hidup manusia. Tidak hanya soal seksual, tapi segala sesuatu yang mengandung unsur pelampiasan dan kepuasan. Misalnya ketika si fulan sedang menjalankan puasa, seolah-olah ia ingin melahap apapun yang ada di meja: sirup, teh, daging, kolak, dan lainnya. Ketika saat berbuka puasa datang si fulan pun melahap semuanya seperti  yang ia janjikan pada dirinya sendiri sebelum berbuka hingga ia kekenyangan dan kesulitan untuk beranjak dan beraktifitas. Maka ia bukannya sedang sangat lapar tapi ia tidak mampu mengendalikan syahwatnya dalam memuaskan diri sendiri.

Keterangan di atas bukan ijtihad saya, tapi sedikit resume dari tulisan Prayogi R. Saputra tentang pemikiran dan perenungan Emha Ainun Najib yang dikemas dalam “Spiritual Journey”.

Buku ini merekam kegiatan Emha dalam pengajian rutin di Jogja yang diberi nama Pengajian Mocopat Syafaat (MS). Dalam MS jamaah Maiyah berinteraksi dan berdiskusi. Tidak hanya Emha yang menjadi penyaji, sesekali tokoh-tokoh nasional, penulis, sineas, habaib, seniman, aktris, atau siapapun diundang untuk memberi sumbangan pemikiran. Bahkan puteranya sendiri, Sabrang –vocalis Neo- menyuguhkan materi yang tak kalah luarbiasanya dengan Emha.

Spiritual Journey merekam kegiatan-kegiatan tersebut. Tidak semuanya dijadikan bahan dalam buku ini, hanya beberapa pertemuan dan tema saja yang ditulis. Tidak hanya tema-teman tasawuf yang jadi bahan perbincangan, tapi juga tentang keindonesiaan, tentang bangsa yang tidak akan tunduk pada kepedihan, tentang masyarakat yang tahan banting meskipun krisis melanda sepanjang tahun.

Seperti ketika penulis merekam obrolan Cak Nun dengan seorang wartawan yang terus-terusan mengejar pembenaran Cak Nun mengenai keterlibatannya dalam pengunduran diri Soeharto dan proses Reformasi. Begitu pula ketika Cak Nun melakukan dialog hangat dan berfilosofis kepada Sabrang sebagai kado pernikahan. Serta beberapa kegiatan Emha lainnya yang kiranya perlu untuk kita renungkan, untuk dijadikan bahan pelapangan hati, dan pengayaan spiritualitas kita dalam menjalani kehidupan.

2012

Mata Air dan Sekolah

- No comments

Orang bersenang-senang biasanya disalurkan dengan pesta dan bersuka ria. Sangat kecil kemungkinan orang sedang merasa senang dan ingin bersenang-senang dirayakan dengan cara menangis dan bermuram durja. Namun, 'senang' dan 'bersenang-senang' jelas sangat berbeda.

Begini, senang adalah sumber mataair sedangkan bersenang-senang adalah gemercik air ke arah hilir. Karena senang adalah mataair maka orang yang sedang senang justru membawa peringai yang tenang. Ah, senyumnya menawar seperti air jernih dari perut bumi.

Nah, bersenang-senang itu ya memang harus berisik. Kalau ada air sungai tidak memunculkan gemericik yang menggoda telinga, ya saya sarankan jangan nyemplung. Jiwa dan ragamu akan terancam. 


Ujian Nasional itu ibarat batu yang dilewati para pendidik dan terdidik, pendadar dan terdadar, para penempa dan yang ditempa. Kalau Ujian Nasional mengakibatkan gemericik kekisruhan dan prasangka ya wajar saja. Yang penting sumber air tidak ternodai. Pendidikan tetap mengucurkan air jernih yang akan menyirami sawah-sawah. Pendidikan akan tetap tenang dengan kejernihannya. Namanya air, seharusnya siap mengalir di mana saja.

Yang saya heran, kenapa sekarang jadi banyak kanal-kanal? Air diirigasikan kesana sini. Maksud saya banyak sekolah yang ingin mencetak generasi ini dan itu, mengirigasikan anak-anak ke bidang ini itu, tapi lupa menghidupi sumber mataairnya. Kalau kamu ke pegunungan dan ada sumber mata air yg jernih, coba lihat ke sekeliling pasti ada pepohonan rindang yang tumbuh di dekat sana. Kalau ada mataair tapi ditinggalkan pepohonan nan rindang, ah saya kira itu bukan mataair tetapi sumur bor yang tumpah.

Nah, sekarang coba lihat sekolah-sekolah yang ada di sekitarmu. Adakah pepohonan rindang yang menyerap air dari dalam perut bumi? Atau justru sumur bor yang mendatangkan air secara instan tetapi sebenarnya tengah membunuhi kehidupan? 

2014

[Tidak Bisa] Lain di Hati Lain di Bibir

- No comments


Usai menghabiskan malam bersama kekasihnya kawan saya mampir ke rumah kontrakan. Wajahnya sedikit lusuh, kehabisan tenaga seperti usai bertempur, dan nafasnya kembang kempis menahas galau di hatinya. Setelah meneguk segelas air yang ia ambil sendiri dari dispenser, mulailah ia mengeluh.

“Kok pacar saya seperti gak percaya kalau saya mencintainya ya?”

Hmm, saya membatin kalau-kalau kawan saya ini baru rehat dari pertempuran. Biarlah dia bercerita sendiri tanpa saya pancing-pancing, makanya saya jawab begini saja. Kalau begitu tinggal bilang kalau kamu mencintainya.

“Perhatian saya selama ini apa masih kurang cukup untuk menunjukkan kalau saya mencintainya?”

O, rupanya ini masalah ungkapan. Bukan ungkapan bahasa tubuh/gestur sebagaimana sering diteliti om Yasraf A. Piliang, tapi ungkapan lisan yang mencerminkan isi hati si pengucapnya.

Hati (Hampir) Berbanding Lurus dengan Bibir
Hati/kalbu seperti memiliki dimensi berfikir sendiri. Cobalah rasai sendiri perubahan berfikir hati/kalbu dari satu detik ke detik selanjutnya, dari satu menit ke menit berikutnya. Cepat sekali berubah. Berbeda dengan bibir yang merefleksikan segelintir kecil dari hasil berfikir hati/kalbu. Itu pun setelah melalui penyaringan dan penyerapan otak. Sehingga apa yang keluar dari bibir memang mewakili apa yang ada di hati. Dan perempuan senang bermain-main di sini.

Padahal, bibir tidak pernah mampu membahasakan bahasa hati/kalbu. Makanya sebagian sisanya dibahasakan oleh mata, tangan, kening, bahkan lenguhan nafas. Kalau perempuan, atau siapapun, senang dan mudah percaya dengan bahasa bibir berarti ia senang untuk dibohongi. Lah kok dibohongi? Iya, karena bahasanya masih menyembunyikan sisa lainnya dan artinya ia berbohong.

Oke lah kita perhalus bahasanya. Kalau bohong mengacu pada makna tidak menunjukkan fakta yang sebenarnya, maka ungkapan yang tepat adalah tidak sepenuhnya jujur. Misalnya teman saya mengatakan kalau dia mencintai teman perempuannya, tapi pada kenyataannya dia tidak mengungkapkan perasaan lainnya dan tetap disembunyikan di dalam hati. Mengapa tidak diungkapkan? Proses kuantum timbang menimbang antara hati dan fikiran memberi kesimpulan belum saatnya disampaikan.

Sehingga kita harus mawas diri terhadap ucapan orang lain. Ucapan yang tulus itu ya ucapan yang paling mampu meminimalisir kebohongan. Kita juga harus mawas diri terhadap ucapan diri sendiri. Jangan-jangan yang terucap itu sebenarnya untuk menutupi bahasa hati/kalbu.

Saya jadi teringat bahasa cinta Iwan Fals: kalau kita saling percaya // tak perlu nada tak perlu irama // karena cinta bukan hanya nada. Cinta lebih dari sekedar kata-kata.

Saya teringat masa SMP dulu, ketika di PAI membahas tentang niat shalat. Guru saya mengajarkan supaya lafadz niat shalat diucapkan oleh lisan. Tujuannya membimbing hati untuk menghadap ilahi. Nah, saya kira tidak hanya dalam hal niat shalat saja kita perlu berucap-ucap seperti ini. Masalah cinta pun begitu. Bukan untuk menggombal tapi untuk mengingatkan hati—yang banyak sekali urusannya dan mudah sekali berganti topik—tentang perasaan cintanya.

Di ujung curhat teman saya itu saya berucap begini, ya sudah katakan saja kalau kamu mencintainya. Pertama supaya pacarmu tidak ngomel lagi. Kedua supaya semakin yakin hatimu kalau kamu mencintainya.

2013

Wednesday, 13 May 2015

Liburan Sekolah

- 1 comment


(1)
Liburan sekolah telah tiba. Sepeda merahku melonjak gembira.
Sambil ngebut di jalan pulang ia meminta:
“Besok aku diajak piknik ya bang. Aku jenuh
tiap hari mengantarmu pergi pulang sekolah.
Aku ingin jalan-jalan ke bukit dan lembah.”

Kuremas gagang stangnya yang kenyal, kuberi ia sepotong janji:
“Tentu aku akan mengantarmu tamasya ke tempat
yang seindah mimpi. Tapi kau tak boleh nakal.
Tak boleh menabrak pantat orang.
Tak boleh nyelonong ke jurang. Dan kalau belok
harus pelan-pelan, jangan malah menambah kecepatan.”

Ah sepeda merahku. Rodanya yang tak pernah baru
kadang menggelinding juga ke halaman tidurku.


Kutepati janji. Di sebuah sore yang hangat dan menggemaskan,
di bawah matahari yang gondrong rambutnya,
aku dan sepedaku pergi melancong ke hutan.
Sepedaku dan aku menyusuri lembah dan bebukitan
seperti dua petualang yang tak peduli pada tujuan.

Memasuki senja, kami tersesat di sebuah lorong cahaya
yang menuju ke cakrawala. Di ujung lorong cahaya muncul
sebuah tangga cahaya. Di atas tangga cahaya tampak
seorang lelaki tua sedang bermain sulap. Oh ia sedang menyulap
segumpal awan menjadi selembar sapu tangan.
Ia melambai dan memanggil: “Ayo lekaslah ke sini, nak.
Mari kusulap sepeda bututmu menjadi sepeda baru.”

Aku mendekat. Ya ampun, wajah tukang sulap itu mirip
wajah kakekku yang hanya pernah kulihat fotonya.
Aku ingin sekali naik ke tangga itu, tapi sepedaku buru-buru
mencegahku: “Ayo pulang, bang. Aku sudah capek dan kedinginan.”

Sampai di rumah, kudapatkan nenek sedang menggigil
di depan tungku, ditemani kucingnya yang montok dan lucu.
Kuhampiri ia dan kuraba keningnya: “Nenek sedang demam ya?”
Dengan lirih dan agak gemetar ia menimpal: “Aku rindu kakekmu.”

(2)

Rencanaku menjenguk teman yang lagi sakit tertunda lagi.
Hujan mengamuk tak henti-henti, wabah flu menyebar
ke seluruh penjuru kampung. Di mana-mana kutemukan
orang berkerudung sarung, seakan-akan negara sedang berkabung.

Sampah hujan menumpuk di sudut halaman, berangsur-angsur
mengeras menjadi es batu. Aku membantu ayah memecah-mecah
bongkahan es hujan. Ayah memasukkan beberapa bongkah
ke dalam kulkas, katanya: “Es batu ini, nak, sangat bagus
untuk bikin es teh atau es jeruk. Bisa sekalian untuk obat.
Nanti kubikinkan ya? Ayah jamin kamu tak akan mudah
pusing, pilek dan demam bila kehujanan.”

Malam itu kulihat ayah banyak minum es hujan. Setelah puas,
ayah mengepalkan tangan dan mengacungkannya, serunya:
“Tubuhku sehat, badanku kuat, walau nasibku semakin gawat.”
Lalu tiba-tiba ayah sempoyongan seperti orang mabuk.
Sejurus kemudian ayah menggelosor dan tertidur di depan televisi.
Dari dalam televisi penyiar mengucapkan salam:
“Selamat tidur, penyair. Selamat mabuk es hujan.”

(3)

Malam-malam aku disuruh ibu membeli kerupuk di warung seberang.
Kerupuk, kata ibu, bisa membuat meja makan yang dingin dan nestapa
jadi cerah ceria. Ibu suka kerupuk yang renyah dan seru bunyinya.

Di jalan remang-remang menuju warung aku berpapasan
dengan seorang adik kelasku yang parasnya lebih dari lumayan.
Kami beradu mata dan saling mengucapkan hai.
Tatapannya telah mengobrak-abrik kesunyian mataku.
Sejenak kami berbasa-basi. Lalu malam membimbing kami
ke sebuah bangku di bawah pohon rambutan di dekat warung.
Kami berbincang hangat tentang seluk-beluk sekolah.
Tentang pelajaran matematika yang membosankan.
Tentang awalan ber- yang membingungkan. Juga tentang bu guru
yang selalu bilang astaga bila ada muridnya yang pecicilan.

Aku pulang sambil bersiul sepanjang jalan. Tidak dengan kerupuk,
tapi dengan beberapa biji buah rambutan yang dipetik adik kelasku itu
dan diberikannya kepadaku, katanya untuk kenang-kenangan.

Malam berikutnya aku pura-pura mau beli kerupuk lagi, siapa tahu
bisa bertemu kembali dengan si dia. Ah, terlambat. Kulihat ia
keluar dari warung bersama entah siapa. Mereka jalan bersama
dengan mesra sambil ketawa-ketawa. Aku bengong, terpana.
Ia menoleh ke aku, matanya melirik dengan cemerlang, tapi tatapannya
tak sanggup lagi menembus mataku, bahkan seyum manisnya
telah mengubah hatiku menjadi sebongkah bara. Lelaki sepantaran aku
di sampingnya juga menoleh, tersenyum, menganggukkan kepala,
tapi aku keburu balik kanan, pulang. Pulang dengan nelangsa.

Menjelang tiba di rumah, kutemukan sajak Chairil berceceran
di pinggir jalan. Kupungut dan kemasukkan ke saku celana.

Di atas meja belajarku ada gambar Chairil sedang merokok
dengan mata disipit-sipitkan. Gayanya tampak agak dibuat-buat,
tapi cukup keren juga. Aku segera mengambil kepingan-kepingan
sajaknya dari saku celanaku, membersihkannya,
kemudian merangkainya menjadi sebuah kalimat, bunyinya:
Ah hatiku yang tak mau memberi, mampus kau dikoyak-koyak sepi.


Dikutip dari http://jokopinurbo.com